Tinta Media - Publik Indonesia kembali geger lantaran sebuah akun hacker bernama Bjorka mengaku telah meretas jutaan data pribadi warga Indonesia lalu menjualnya kepihak tidak bertanggungjawab. Tidak tanggung-tanggung Bjorka juga mengaku sukses meretas sejumlah data rahasia milik lembaga negara termasuk berhasil menerobos dokumen presiden dengan Badan Intelijen Negara (BIN). Banyak warga net penasaran siapa sesungguhnya dibalik Bjorka yang masih misterius hingga kini. Bahkan beberapa pejabat tinggi Indonesia dibuat ketar-ketir ulah Bjorka. Konon salah seorang menteri harus mengganti nomor dengan akses nomor Amerika (+1).
Ulah Bjorka yang membuat khawatir warga Indonesia sebab akun data pribadi warga sudah tidak aman. Dampaknya, privasi warga dipreteli secara tidak bertanggungjawab oleh oknum tertentu. Sukses Bjorka meretas data menunjukkan kerapuhan sistem pengamanan big data berbasis internet di Indonesia. Ini sebuah kelalaian. Negara mestinya bertanggungjawab, sebab persoalan kebocoran data pribadi berbasis internet bukan persoalan kewaspadaan individual. Ini persoalan publik yang terkait dengan pengamanan server yang seharusnya negara punya domain otoritas pengendali semua sistem server di negara ini. Sehingga sangat mustahil negara berlepas diri dari tanggungjawab mengontrol perangkat server yang ada. Aneh jika kementerian informasi dan komunikasi sebagai representasi negara, tidak bisa berbuat banyak. Apalagi ahli IT sudah berjibun di Indonesia. Tak masuk akal, tidak berdaya menghadapi hacker semacam Bjorka yang barangkali cuma level kaleng-kaleng.
Isu kebocoran data pribadi oleh ulah Bjorka pada perspektif lain merupakan bukti abainya pemerintah terhadap pelayanan publik di negara ini. Sengkarut kapitalisme sekulerisme yang mengkerat, menjadikan pelayanan publik bertumpu pada asas manfaat dengan mewniscayakan negara berjual beli dengan rakyatnya. Negara sejatinya hanya tersudut kepentingan pasar bebas bukan demi kepentingan pelayanan publik. Akibatnya, sudah bisa ditebak, semua pelayanan termasuk perlindungan segala tumpah darah bangsa Indonesia, tidak akan dianggap jika tidak ada nilai ke-ekonomian. Mungkin perspektif pemerintah, perlindungan data pribadi warga berbasis internet, tidak begitu penting, sebab tidak ada untungnya.
Sebetulnya bukan persoalan tidak ada untung yang didapat, namun mestinya pemerintah berpikir bahwa perlindungan data pribadi rakyat apalagi menyangkut dokumen rahasia negara adalah super penting. Ini adalah soal pertahanan dan keamanan negara. Pihak luar (asing) yang mencoba meruntuhkan NKRI akan dapat memanfaatkan sejumlah data pribadi rakyat yang diretas guna melakukan infiltrasi. Disinilah bahayanya.
Pada perspektif lain, fenomena Bjorka boleh jadi merupakan salah satu bentuk aksi protes terhadap kebijakan pemerintah Indonesia yang selama ini abai dalam pelayanan publik, seperti masalah pendidikan, kesehatan, maraknya praktik korupsi para penyelenggara negara, yang paling anyar adalah kenaikan harga dasar listrik, gas elpiji, dan BBM. Masyarakat saat ini sedang frustasi dengan kelakuan pemerintah yang tidak peka dengan nasib ekonomi rakyatnya. Bjorka boleh jadi juga merupakan luapan bentuk kekecewaan warga masyarakat terhadap sengkarut ekonomi yang mencekik apalagi dibarengi gelagat pemerintah yang semakin represif yang membungkam kebebasan rakyat menyampaikan pendapat ditambah dengan aparat penegak hukum yang drastis turun kepercayaan masyarakat akibat praktik mafia peradilan, putusan pengadilan yang tidak berpihak keadilan rakyat. Deretan ketidakpercayaan masyarakat itu semakin diperpanjang dengan kasus polisi bunuh polisi.
Kalau mau jujur sebetulnya, hanya sistem kehidupan Islam dalam tatanan politik pemerintahan berbasis syariah Islam, yang mampu memberikan perlindungan lebih baik bagi warganya, sebab baginda Rasulullah telah membebankan kewajiban bagi para pemimpin umat tidak hanya untuk kepentingan pelayanan kesejahteraan rakyat tetapi menjaga marwah warganya. Sebuah kisah masyhur menunjukkan kepedulian Khalifah Al Mu’tashim kepada kehormatan seorang muslimah. Peristiwa itu tercatat dalam kisah Penaklukan Kota Ammuriah di tahun 223 Hijriah. Di tahun 837 Masehi, seorang budak muslimah dilecehkan orang Romawi. Dia adalah keturunan Bani Hasyim, yang saat kejadian sedang berbelanja di pasar. Bagian bawah pakaiannya dikaitkan ke paku, sehingga terlihat sebagian auratnya ketika ia berdiri. Dia lalu berteriak-teriak, “Waa Mu’tashimaah!”, yang artinya “Di mana engkau wahai Mu’tashim (Tolonglah aku)”. Berita ini sampai kepada Khalifah. Dikisahkan saat itu ia sedang memegang gelas, ketika didengarnya kabar tentang seorang wanita yang dilecehkan dan meminta tolong dengan menyebut namanya. Beliau segera menerjunkan pasukannya. Tidak tanggung-tanggung, ia menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu Ammuriah (yang berada di wilayah Turki saat ini). Pertempuran itu berhasil membebaskan kota Ammuriah dari kuasa Romawi. Tiga puluh ribu tentara Romawi terbunuh, sementara tiga puluh ribu lainnya ditawan.
Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H.
Indonesia Justice Monitor