Tinta Media - Pemerintah resmi menaikan tiga jenis Bahan Bakar Minyak (BBM), yaitu Pertalite dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter, Pertamax Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500 per liter dan Solar dari Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter.
Menurut perhitungan Lembaga ECO Macro Blast, kenaikan harga ketiga jenis BBM tersebut akan memicu naiknya inflasi. Ini menunjukkan bahwa kenaikan harga Pertalite 30,72 persen dan Pertamax sebesar 16,00 persen tersebut, secara total akan menyumbang inflasi sebesar 1,35 ppt. Sementara, untuk kenaikan harga Solar sebesar 32,04 persen akan berkontribusi sebesar 0,17 ppt pada tingkat inflasi.
"Hitungan ini sudah memperhitungkan first round impact atau dampak kenaikan harga ketiga jenis BBM tersebut secara langsung, dan second round impact atau dampak lanjutan pada inflasi seperti naiknya harga jasa transportasi, distribusi, hingga kenaikan sebagian harga barang dan jasa lainnya pula," tulis lembaga keterangan resmi, Jakarta, Minggu (4/9).
Presiden Jokowi mengakui, bahwa keputusan penyesuaian harga BBM bersubsidi adalah hal yang berat. Namun, menurut dia apa daya, saat ini kondisi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dirasa sudah tidak lagi mampu menanggung subsidi tersebut.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, selama ini pemerintah telah menaikkan anggaran kompensasi dan subsidi tiga kali lipat dari yang dianggarkan dalam APBN 2022, yang semula hanya Rp152,2 triliun, kini menjadi Rp502,4 triliun. Angka ini pun masih berpotensi naik hingga diatas Rp600 triliun, jika harga minyak mentah dunia masih tinggi.
Sri Mulyani berdalih, meski belakangan harga ICP mengalami tren penurunan, tetapi dalam perhitungan rata-rata harganya masih sekitaran USD 97 per barel. Dari angka tersebut, alokasi pemerintah yang Rp502,4 triliun itu pun masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sampai akhir tahun.
Kenaikan BBM ini sangat menyakiti hati rakyat, karena berdampak pada daya beli masyarakat. Dengan naiknya harga BBM, otomatis harga-harga komoditas lain pun akan ikut naik. Sebelum BBM naik, harga-harga bahan pokok sudah naik, apalagi setelah BBM naik. Yang lebih miris lagi adalah ketika Menteri Sri Mulyani mengatakan, jika subsidi untuk BBM sudah terlalu tinggi dan membebani negara, sementara untuk pembangunan infrastruktur seperti IKN dan pembangunan kereta api cepat, pemerintah justru mengambil anggaran dari APBN dan merasa kalau itu tidak membebani negara.
Efek domino akibat kenaikan harga BBM ini bagi masyarakat akan semakin menambah berat beban kehidupan mereka, yang tidak dapat ditutupi dengan bantuan sosial (BLT BBM) yang dijanjikan oleh pemerintah, senilai total Rp600.000, dalam dua kali penyaluran di bulan September dan Desember 2022. Selain itu, BLT ini pun hanya diperuntukkan bagi individu tertentu di dalam masyarakat, yang juga sering tidak tepat sasaran, tidak bagi semua rakyat, sementara efek kenaikan BBM terkena kepada semua rakyat, tanpa kecuali. Maka BLT tidak akan mampu mengatasi dampak kenaikan BBM.
Padahal, BBM merupakan salah satu kebutuhan rakyat yang sangat penting. Namun, dalam sistem kapitalisme ini, rakyat harus dibebani harga yang tinggi untuk memperolehnya. Hal ini disebabkan karena kesalahan dalam pengelolaan barang tambang, termasuk minyak bumi, sebagai bahan dasar BBM, yaitu liberalisasi.
Penguasa memberikan kebebasan pengelolaan SDA kepada korporasi, dengan dalih investasi, baik lokal maupun asing, berorientasi pada bisnis, sehingga hanya berhitung untung-rugi. Wajar jika alasan kenaikan BBM ini hanya didasarkan pada ketidakinginan para pengelola mengalami kerugian, sehingga harganya harus dinaikkan, sekalipun akan memberatkan rakyat. Inilah hakikat sistem kapitalisme, diterapkan hanya untuk memenuhi kepentingan para kapital.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Allah SWT telah mengatur tata kelola sumber daya alam yang merupakan kepemilikan umum, dan menjadi hajat hidup publik. Salah satunya adalah minyak bumi, sebagai bahan dasar dari BBM.
Syariat Islam menetapkan bahwa yang wajib mengelolanya adalah negara secara mandiri, yang akan didistribusikan kepada seluruh rakyat, baik berupa produk yang siap dikonsumsi oleh rakyat, ataupun hasil dalam bentuk lain yang akan menjadi pemasukan bagi Baitul Mal, untuk memenuhi kemaslahatan rakyat tersebut, dalam bentuk sarana-pra sarana pendidikan, pelayanan kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain.
Khalifah sebagai kepala negara berfungsi sebagai pelindung dan pelayan masyarakat. Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai dimana orang-orang berlindung di belakangnya." (HR. Al Bukhari Muslim Ahmad dan Abu Dawud).
Oleh karena itu, Khalifah haram menyerahkan pengelolaan SDA sebagai kepemilikan umum, kepada pihak swasta, baik domestik maupun asing.
Wallahu'alam bishshawab.
Oleh: Sumiati
Sahabat Tinta Media