Tinta Media - Sekjen Aliansi Buruh Indonesia (ABI) Imam Ghozali menilai pemerintah tidak mendengar (tuli) terhadap aspirasi buruh dengan menaikkan harga BBM.
“Pemerintah yang kita rasakan sudah tuli, tidak mendengar aspirasi buruh dengan menaikkan harga BBM,” tuturnya dalam Program Kabar Petang: Buruh Bergerak, Selasa (13/9/2022) dikanal Youtube Khilafah News.
Menurutnya, pemerintah tuli sejak Omnibus Law dan sekarang dengan kenaikan BBM lagi. Respons pemerintah tetap sama.
“Omnibus Law itu sudah suatu peristiwa yang mengerikan bagi para buruh, kita teriak paling nyaring bahkan mengajukan ke MK dan sebagainya. Kenyataannya sampai saat ini undang-undang itu tetap berlaku dan sekarang BBM juga demikian” ujarnya.
Hal ini menandakan bahwa pemerintah sekarang perlu diperiksa pendengarannya.
“Pemeriksaannya pun tidak cukup orang biasa, tidak cukup satu orang agar telinganya kembali normal,” kritiknya.
Ia mengingatkan dampak kenaikan BBM itu pasti menghasilkan inflasi, sekalipun pemerintah gembar-gembor akan menggunakan dana budget pemerintah daerah untuk menggelontorkan dana mengatasi dampak inflasi dan sebagainya.
“Tapi kenyataan di lapangan inflasi pasti terjadi. Kita rasakan sekarang ini beli barang itu sudah mulai naik,” bebernya.
Bagi para buruh kenaikan BBM sangat terasa memberi dampak inflasi karena pendapatannya tetap, sementara harga-harga di sekitar menjadi naik. “Dengan kenaikan BBM, para buruh tidak mungkin meminta kenaikan upah di bulan ini (ketika terjadi kenaikan BBM), kan tidak bisa,” ucapnya.
Imam menjelaskan kebijakan liberal pemerintah dalam impor pun berpengaruh pada para buruh yang terlibat di dalam penyediaan bahan baku dan produksi bahan setengah jadi.
“Pemerintah dengan kebijakan liberal bisa mendatangkan barang-barang impor, tidak disadari ketika masuk barang-barang impor itu maka bahan-bahan baku ataupun setengah jadi yang mungkin selama ini diproduksi di dalam negeri menjadi tidak laku,” jelasnya.
Selain itu, ia melanjutkan, kenaikan BBM ini pasti berpeluang terjadi banyak PHK (pemutusan hubungan kerja). Perusahaan-perusahaan dengan karyawan banyak pada akhirnya akan melakukan cost down dengan melirik biaya tenaga kerja yang perlu dipangkas.
“Karena sebentar lagi pasti para pengusaha juga tidak akan sanggup menahan beban biaya bahan yang naik, ongkos transportasi logistik yang naik. Sementara untuk menaikkan harga jual maka harus memperhitungkan costumer yang membeli,” lanjutnya.
Ia mengungkapkan dana bantuan langsung tunai (BLT) yang dikeluarkan pemerintah untuk para buruh di bawah upah Rp3,5 juta sebesar Rp600.000 tidak mencukupi untuk memback up inflasi yang ada.
“Saya tidak yakin karena tidak ada jaminan ketika BBM pertalite itu tetap Rp10.000, selama itu juga berlaku BLT untuk buruh. Biasanya berlaku hanya enam bulan, ketika rakyat sudah beradaptasi maka BLT ditiadakan. Lalu rakyat disuruh beradaptasi lagi,” ungkapnya.
Hal demikian menurut Imam terjadi disebabkan pemerintah tidak protektif. Sehingga buruh hanya berharap pada Allah semata.
“Karena penguasa atau pemerintah yang seharusnya protektif ternyata tidak demikian. Yang harus kita sadari, buruh sekarang hanya berharap pada Allah semata saja,” tuturnya.
Ia pun mengakhirinya dengan menghimbau masyarakat menolak kenaikan harga BBM.
“Ini membuka kesadaran kita semua bahwa apa yang terjadi sesungguhnya patut disesalkan dan kenaikan BBM harus ditolak,” pungkasnya. [] Ageng Kartika