Tinta Media - Muslimah Media Center (MMC) membantah narasi yang mengatakan khilafah sudah tidak relevan lagi diterapkan (basi) dan menegaskan bahwa khilafah adalah bagian dari hukum Islam.
"Pembahasan ini, yaitu Khilafah basi atau tidak, sebenarnya terkait dengan masalah keyakinan pada hukum Islam. Khilafah adalah bagian dari hukum Islam," tuturnya dalam rubrik All About Khilafah: Benarkah Khilafah Sudah Basi? Rabu (14/9/2022) di kanal YouTube Muslimah Media Center.
Narator MMC menjelaskan, para ulama sepakat bahwa mencela Allah, ayat dan hukumnya, jika dinyatakan oleh seorang muslim dan lahir dari keyakinan, hukumnya kafir dan murtad. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
“Jika kamu bertanya kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab ‘sungguh kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja’ katakanlah ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?’ Tidak usah kalian minta maaf karena kalian kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah: 65-66).
"Apabila mengatakan Khilafah sudah basi artinya sama dengan mengatakan hukum Islam atau hukum Allah ini basi,” geramnya.
Menurutnya, siapapun yang mengatakan hukum Islam basi sama dengan mengatakan seolah-olah Allah zat yang Maha Tahu dan Maha Adil itu bodoh. "Nauzubillah,” katanya.
Kafir
Narator juga menyampaikan bahwa Imam Ishaq bin Rahawih rahimahullah menyatakan “Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang mencela Allah ‘Azza wa Jalla, atau mencela Rasulullah saw, atau menolak apa yang diturunkan oleh Allah atau membunuh salah seorang nabi Allah, meski dia masih mengakui apa yang Allah turunkan, maka dia kafir,” ungkapnya.
Narator menilai jika ada yang mengatakan bukankah Islam itu bersifat fleksibel (elastis) dan berjalan sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi atau politik pada setiap waktu dan tempat? “Mereka berpendapat Islam berkembang agar implementasi hukum-hukumnya sejalan dengan kejadian, kondisi dan tuntutan manusia yang telah menjadi tradisi dewasa ini,” nilainya.
"Mereka berdalih anggapan itu didasarkan pada suatu kaidah yang menurut mereka merupakan kaidah Syariah. Kaidah itu berbunyi ‘tidak bisa ditolak adanya perubahan hukum karena perubahan zaman’,” tambahnya.
Menurutnya, berdasarkan kaidah yang keliru inilah, dilakukan aktivitas berdasarkan realita yang ada. “Mereka bertindak sesuai dengan tuntutan keadaan. Jika mereka diingatkan dengan hukum-hukum syariat, mereka mengatakan bahwa hukum-hukum itu hanya khusus untuk waktu tertentu. Sedangkan Islam mengharuskan umatnya untuk terus menyesuaikan diri dengan zaman dan melakukan hal-hal yang sesuai dengan zaman dan tempat. Akibatnya, mereka membolehkan adanya bank-bank yang menjalankan sistem riba dan perseroan terbatas (PT),” jelasnya.
Narator menyesalkan ungkapan saat ini yang mengatakan bahwa sistem demokrasi lebih relevan. “Mereka juga mengatakan hukum poligami kini tidak relevan lagi karena tidak lagi bisa diterima pada zaman ini. hukum potong tangan atau rajam tidak perlu lagi dibahas dan dipelajari, hukum-hukum itu sudah kadaluarsa dan tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman,” ungkapnya.
Menurutnya, kaidah-kaidah ini terus didengungkan di tengah-tengah umat Islam. "Ketika mereka mulai berpaling dari Islam, merobohkan pondasi dan sendi-sendinya serta melenyapkan peraturan-peraturan dan simbol-simbolnya. Ide-ide seperti ini mulai muncul pada akhir abad ke-19,” jelasnya.
Ia memaparkan bahwa pada saat pemikiran umat ini anjlok dari puncak kejayaannya, kaum Imperialis seperti mendapatkan santapan yang lezat hingga akhirnya pemahaman kaum Muslimin sampai ke tingkat seperti ini. “Padahal syariat Islam adalah tata aturan dari Allah SWT untuk memecahkan problem kehidupan umat manusia,” paparnya.
Narator menjelaskan bahwa hukum-hukum itu telah diberikan oleh As-Syari' melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah.
“Keduanya merupakan sumber hukum syariah dalam Islam. Karena itu, hukum syariah didefinisikan sebagai seruan Asyari yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian hukum syariat harus digali dan dipastikan bersumber dari nash yang tidak lain adalah Al-Qur'an dan as-Sunnah atau sumber yang telah disahkan oleh keduanya, seperti ijmak sahabat dan qiyas,” jelasnya.
“Karena itulah sumber hukum syariat Islam hanya ada dua kitabullah dan Sunah rasulnya,” lanjutnya.
Dijelaskannya dari kedua sumber ini kemudian digali berbagai pemecahan atas berbagai problem yang dihadapi oleh manusia serta mengatasi berbagai perselisihan diantara sesama mereka.
“Lantas, Apakah zaman dan tempat itu bisa menjadi sumber hukum layaknya Al-Kitab atau As-Sunnah? atas dasar apa seseorang dapat mengatur problemnya sendiri atau masyarakat bisa mengatur dirinya sendiri?” tanyanya.
"Allah SWT telah mewajibkan mereka untuk mengambil solusi permasalahan kehidupan mereka dari hukum-hukum yang digali dari kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Sesungguhnya syariah Islam diturunkan untuk menyelesaikan problem manusia,” terangnya.
Menurutnya, syariah mengharuskan manusia untuk mempelajari fakta problem tersebut kemudian mencari hukum Allah yang berkaitan dengan masalah tersebut dengan cara menggalinya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah atau dari sumber yang telah disahkan oleh keduanya. “Kemudian setiap individu muslim harus melakukan perubahan secara mendasar berdasarkan ideologi Islam tanpa memperhatikan lagi standar yang lainnya baik situasi ataupun kondisi yang menyimpang dari Islam,” paparnya.
Narator mengingatkan bahwa masyarakat hendaknya selalu terikat dengan perintah dan larangan Allah. “Kaum Muslim tidak boleh menyesuaikan tindakannya, tidak ada waktu dan tempat tetapi harus selalu berujung pada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya,” tandasnya. [] Raras