Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa Dr. Ahmad Sastra menyatakan bahwa islamphobia adalah psiko-abnormal yang irasional.
“Islamofobia merupakan psikologi abnormal yang lahir dari rasa ketakutan dan kecemasan yang berlebihan (irasional),” tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (13/9/2022).
Menurutnya, Islamofobia ini terlahir dari impuls-impuls di masyarakat yang terus menerus tanpa memberikan kesempatan kepada pikiran rasional untuk mengkajinya.
“Kata Islam yang dijadikan sebuah obyek untuk menakut-nakuti masyarakat, Islam sebagai ajaran mulia dikonstruksi sedemikian rupa seolah-olah sesuatu yang menyeramkan, buruk, dan membahayakan,” urainya.
Ia menguraikan melalui modelling berdasarkan vicarious learning, dalam arti seseorang bisa mengalami gangguan kejiwaan berupa fobia terhadap obyek tertentu. Jika seorang tokoh cendekiawan atau pemimpin komunitas selalu menakut-nakuti anggotanya tentang Islam secara berulang kali maka akan muncul reaksi fobik pada komunitas sosial itu terhadap Islam.
“Akhirnya menimbulkan reaksi fobik padahal reaksi fobik itu bersifat emosional belaka bukan rasional. Akhirnya melalui upaya verbal tokoh tersebut menimbulkan gangguan kejiwaan jamaahnya berupa Islamofobia,” urainya.
Inilah yang terjadi saat ini, islamofobia banyak diidap orang-orang, yakni berupa ketakutan yang irasional terhadap Islam.
“Padahal Islam merupakan sebuah sistem dan ajaran mulia dan terbukti menyejahterakan seluruh manusia. Islam oleh Allah adalah rahmatan' lil alamiin,” ucapnya.
Ahmad menegaskan jika seseorang mengidap penyakit kejiwaan berupa Islamofobia maka Islam akan dianggap sebagai monster yang menakutkan.
“Islamnya tidak salah, namun penyakit phobianya yang harus disembuhkan,” tegasnya.
Fobia bisa berkembang salah satunya dari rangkaian pembelajaran yang berkaitan, bisa melalui classical conditioning.
“Yakni seseorang dapat belajar untuk takut pada suatu stimulus netral jika stimulus tersebut dipasangkan dengan kejadian yang secara intrinsik menyakitkan atau menakutkan,” ucapnya.
Ia menilai Islam dikondisikan menakutkan dalam perspektif classical conditioning.
“Islam dikondisikan sebagai kondisi yang menakutkan dengan cara dipasangkan dengan berbagai kejadian yang secara intrinsik menakutkan,” tuturnya.
Ia mengkritisi Islamofobia yang didengungkan dalam konsep Islam lebih khusus khilafah, lalu disandingkan dengan perilaku ISIS yang biadab dan mengaku mewakili Islam. Padahal Islam dan khilafah tidak ada hubungan sama sekali dengan ISIS yang justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
“Maka timbullah ketakutan irasional, padahal Islam dan khilafah itu mulia, dan perilaku ISIS adalah kondisi buatan mereka. ISIS bukan Islam tapi dikondisikan seolah berasal dari Islam,” kritiknya.
Efeknya menurut Ahmad Sastra, banyak masyarakat terjebak dengan psikoterorisme ala Barat. Inilah kondisi masyarakat mengalami Islamofobia.
“Sehingga masyarakat justru takut dan menghindar dari ajaran Islam. Lebih dari itu, kadang umat Islam sendiri justru membenci, memfitnah, memusuhi Islam dan para pejuangnya. Barat berhasil mengondisikan islamphobia melalui upaya monsterisasi Islam, syariah, dan khilafah,” tuturnya.
Selain itu ia pun mengatakan ketika istilah Islam juga disandingkan dengan istilah anti kebhinekaan, anti Pancasila, dan lainnya. Maka islamphobia telah terjadi lagi dan hal ini harus segera disembuhkan.
“Karena jika ada orang yang menolak Islam, maka orang tersebut mengalami gangguan kejiwaan (psiko-abnormal) berupa phobia yang harus segera disembuhkan. Islam adalah sebuah agama. Bagaimana bisa ada orang yang takut kepada agama yang baik bagi negeri ini, namanya juga phobia,” katanya.
Dalam perspektif rendahnya keterampilan sosial terkait islamphobia ditunjukkan masyarakat Barat yang menggambarkan Islam itu menakutkan.
“Ironi, orang Barat yang dikenal rasional, namun soal Islam, mereka justru mengalami gangguan kejiwaan yang irasional,” bebernya.
Lima Pendekatan Teori Psikologis Sembuhkan Islamphobia
Ia merangkum lima pendekatan terapi psikologi untuk menyembuhkan islamphobia, yakni:
Pertama, flooding yang dilakukan dengan cara exposure treatment yang ekstrim, “Yaitu penderita phobia dimasukkan ke dalam ruangan kajian atau seminar tentang Islam,” ujarnya.
Kedua, desentisasi sistematis, dilakukan dengan exposure treatment lebih ringan berupa rileksasi dan membayangkan berada di tempat yang sangat indah, nyaman, bahagia, dan sejahtera ketika Islam diterapkan.
“Ketiga, abreaksi yang dilakukan dengan cara penderita islamphobia dibiasakan untuk membaca tentang agama Islam melalui berbagai media,” ucapnya.
Keempat, Refreming, merupakan cara menyembuhkan islamphobia dengan membayangkan kembali menuju masa lalu di mana permulaannya si penderita ini mengalami phobia.
“Kelima, hypnotherapy, merupakan cara menyembuhkan islamphobia dengan memberikan sugesti-sugesti positif untuk menghilangkan islamphobia melalui berbagai training motivasi,” bebernya.
Ia menjelaskan bahwa ketidakpahaman tentang Islam dan dominasi perasaan emosilah yang menjadi faktor utama timbulnya gangguan kejiwaan berupa islamphobia. Maka dakwah dalam konsep Islam menjadi cara untuk mengajak manusia memahami dan menyadari dengan kemampuan berpikirnya berlandaskan akidah Islam.
“Melalui pendekatan dakwah aqidah fikriyah, Rasulullah Saw. telah mengantarkan masyarakat Jahiliyah menjadi masyrakat yang beriman dan berakal sekaligus. Dari transformasi masyarakat inilah kelak melahirkan peradaban Islam yang agung sepanjang masa sejak zaman Madinah hingga masa khilafah di Turki, hingga tahun 1924,” jelasnya.
Ia mengatakan ungkapan Sayyid Qutb, yakni dakwah Islam memerlukan keimanan dan pemahaman tentang realitas sebagai hakikat keimanan dan wilayahnya dalam sistem kehidupan.
“Keimanan dan tataran inilah yang menjadikan ketergantungan secara total kepada Allah, serta keyakinan bulat akan pertolongan-Nya kepada kebaikan serta perhitungan akan pahala di sisi-Nya, sekalipun jalannya sangat jauh,” katanya.
Ia mengingatkan seluruh kaum muslimin untuk merenungkan bahwa islamphobia yang melanda orang-orang Barat sesungguhnya merupakan gangguan kejiwaan yang bisa disembuhkan melalui dakwah pemikiran yang konsisten dan mendalam hingga menghilangkan dominasi perasaan menjadi manusia rasional dan ideologis.
“Berapa banyak orang Barat yang rasional dan jujur melihat Islam justru mereka berbondong-bondong masuk Islam,” ungkapnya.
Ahmad Sastra mengakhirinya dengan mengajak pengemban dakwah untuk terus berjuang mengemban dakwah Islam kafah sebagai upaya menyembuhkan islamphobia.
“Semoga dengan dakwah, masyarakat Barat segera sembuh dari gangguan kejiwaan mereka dan menjadi masyarakat rasional, masuk ke dalam Islam untuk ikut menjadi pejuang agama Allah,” pungkasnya. [] Ageng Kartika