ADA APA DENGAN DEMOKRASI? - Tinta Media

Selasa, 13 September 2022

ADA APA DENGAN DEMOKRASI?

Tinta Media - Saya sering mendapat pesan-pesan lewat BBM, WA, dan media sosial lainnya, untuk berhati-hati mewaspadai naiknya kembali sosok Islam fobia menjadi presiden Indonesia, yang saat ini sedang dipersiapkan oleh komplotan oligarki. Saya sendiri punya pendapat lain tentang hal itu. Sebetulnya, naiknya sosok Islam phobia berhasil menjadi presiden Indonesia. 

Bukanlah persoalan karena kebodohan kaum muslimin Indonesia yang pada level hitung-hitungan suara tidak perduli dengan pilihannya yang harus memilih orang peduli Islam sebagai pimpinan mereka (ini kalau menggunakan logika demokrasi). Tetapi sejatinya, sosok Islam phobia, berhasil menjadi presiden lantaran diterapkannya sistem demokrasi sebagai sistem kufur yang memberikan akses bagi komplotan yang mengusung sosok Islam phobia, untuk menguasai masyarakat muslim Indonesia. Saya banyak menghadapi berbagai diskusi dan pernyataan untuk mewaspadai jangan sampai sosok Islam phobia kembali menjadi pemimpin kaum muslimin dimasa akan datang yaitu pemilu 2024. 

Kita harus mendudukkan persoalan itu, secara proporsional, melalui perspektif syariah. Jadi sebetulnya, opini yang harus dilakukan untuk menghadapi gelombang dahsyat kemungkinan peluang sosok Islam phobia, menjadi pemimpin kaum muslimin di Indonesia, adalah dengan menyerang habis-habisan sistem politiknya yang destruktif dan jahat, yaitu sistem demokrasi sebagai biang keroknya. Sebab persoalan naiknya sosok Islam phobia menjadi presiden bukan karena persoalan pilihan suara. Namun yang menjadi sebab musababnya sekali lagi yaitu karena diterapkannya sistem demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang diadopsi dari tsaqofah barat sekuler yang memberikan peluang pintu masuk sosok Islam phobia untuk menguasai muslim di Indonesia.

Atas dasar itulah, yang perlu dilakukan secara fundamental untuk menutup pintu masuk bagi sosok Islam phobia menguasai kamu muslimin, bukanlah dengan cara menakut-nakuti kaum muslimin atau melalui cara membodoh-bodohi kaum muslimin karena telah melakukan pilihan suara yang salah sehingga mengakibatkan sosok Islam phobia menguasai kaum muslimin. Apalagi sampai menuding kaum muslimin Indonesia sebagai orang bodoh dan picik tidak menggunakan hak suaranya untuk memilih sosok pemimpin yang kapabel berkepribadian saleh melalui mekanisme pemilihan umum yang telah disiapkan oleh sistem demokrasi saat ini.

Yang paling fundamental untuk dilakukan adalah memperkuat opini melalui edukasi politik kepada umat Islam di Indonesia bahwa sistem demokrasilah yang merupakan sistem politik yang buruk dan kufur menjadi penyebab kesengsaraan politik yang melanda kaum muslimin saat ini. Maka dalam konteks aqidah Islam, sistem demokrasi inilah yang wajib hukumnya kita buang jauh-jauh dari bumi Indonesia, yang sejatinya memang kita tidak perlu mempertahankannya.

Jadi sesungguhnya yang paling rasional menurut kacamata syariah, sistem demokrasilah yang menjadi biang kerok penyebab pintu masuk bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum muslimin Indonesia.

Sebagai ilustrasi, barangkali dapat menjadi ibrah bagi kita semua. Yaitu pada kasus ketika Megawati Soekarno Putri menjadi presiden wanita pertama di Indonesia yang mayoritas penduduknya Islam. Dalam salah satu hadits Nabi Muhammad saw, beliau bersabda bahwa tidak beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh wanita. Dipimpin yang dimaksud dalam konteks hadits ini adalah wanita menjadi pemimpin politik serta memegang kendali pemerintahan negara, sehingga menjadi keharaman bagi wanita menjadi kepala negara atau yang semacamnya. Hadits ini jelas indikasinya merujuk keharaman wanita menjadi pemimpin. Yang menjadi pertanyaan kenapa sampai Megawati yang nota bene seorang perempuan berhasil menjadi pemimpin padahal kita sangat paham kalau pengendali politik di parlemen Indonesia serta yang memegang akses strategis politik di pusat-pusat kekuasaan adalah mayoritas kaum muslimin? Saya kira semua orang Islam Indonesia saat itu sangat paham betul hadits nabi tentang keharaman perempuan menjadi kepala negara.

Atas dasar itulah, analisis yang paling tepat untuk menjawab kenapa Megawati seorang perempuan bisa menjadi kepala negara di Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim? Jawabannya adalah karena diterapkannya sistem demokrasi dalam tatanan kenegaraan kita. Sebab logika politik yang digunakan dalam sistem demokrasi bukanlah standar halal dan haram menurut ukuran syariah, tetapi yang menjadi standar adalah kepentingan politik atau keserakahan politik. Sehingga dalam sistem demokrasi yang salah bisa menjadi benar ataupun sebaliknya, sangat tergantung dari arus kepentingan politik siapa. Bisa itu adalah kepentingan para pemilik modal, kepentingan para ketua partai politik ataupun kepentingan-kepentingan lainnya seperti kepentingan pihak asing dan aseng.

Menurut pendapat saya, adalah terlalu dangkal alias sangat sembrono untuk menakut-nakuti kaum muslimin Indonesia hanya dengan isu naiknya Orang zhalim menjadi presiden Indonesia masa datang sehingga lantas pada saat yang sama kaum muslimin diarahkan untuk memanfaatkan mekanisme demokrasi lewat pemilu untuk menyalurkan suaranya agar tidak memilih Orang zhalim sebagai presiden. 

Pada perspektif yang lain, presiden adalah simbol kepala negara yang diusung negara dengan sistem demokrasi, maka sudah pasti presiden hasil pilihan demokrasi, didesain untuk tidak menerapkan hukum-hukum Allah swt yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw. Jadi dalam konteks kerangka pandang syariah, meskipun nantinya kelak ada seorang muslim menjadi presiden tentu tidak akan memberikan sumbangsih bagi diterapkannya hukum-hukum Allah swt secara totalitas. Perhatikanlah sosok presiden Indonesia, mulai Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, sampai Jokowi saat ini, adakah diantara mereka yang sangat konsen dalam menerapkan hukum-hukum Allah swt secara totalitas? Kalaupun ada diantara mereka yang menerapkan kebijakan telah menerapkan syariat Islam, maka itupun sifatnya sangat parsial tidak totalitas. 

Sekarang marilah kita timbang-timbang secara pragmatis dengan kemungkinan naiknya sosok Islam phobia sebagai presiden Indonesia masa akan datang. Kebanyakan orang sering beranggapan bahwa logika demokrasi adalah terletak kepada suara mayoritas, sehingga atas dasar ini selalu disimpulkan siapa saja yang berhasil mengumpulkan suara mayoritas maka dia pasti akan memegang kendali politik. Kalau kita mencermati, fakta-fakta politik yang ada maka pernyataan ini tidak sepenuhnya benar malah keliru. Sebab ada fakta politik dimana sebuah partai telah berhasil menang dalam pemilu dan menguasai suara mayoritas pada akhirnya dikudeta dengan segala macam cara dan taktik agar tidak memegang kekuasaan. 
Umat muslim yang seringkali mengalami hal ini. Contoh kasus, pada masa Presiden Soekarno dahulu ketika Dewan Konstituante dikuasai oleh mayoritas kaum muslimin yang hendak menerapkan syariat Islam secara totalitas yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Parta Masyumi. Soekarno saat itu sebagai presiden yang berkonspirasi dengan TNI AD mengeluarkan Dekrit 5 Juli untuk membubarkan dewan konstituante. Adnan Buyung Nasution, pengacara senior Indonesia, pernah menulis dengan kata-kata bahwa Dekrit 5 Juli sejatinya merupakan buah kebijakan yang tidak demokratis. 

Masih banyak bukti lagi, misalnya kemenangan partai Islam dalam pemilu di Al Jazair ataupun kemenangan partai Ikhwanul Muslimin dengan naiknya Presiden Mursi di Mesir, pada akhirnya kemenangan itu dikudeta paksa oleh militer atas pesanan barat karena dianggap kemenangan itu dapat berakibat buruk bagi kepentingan barat terlebih dengan kecurigaan barat dengan diterapkannya syariat Islam secara totalitas. Jadi sesungguhnya, kemenangan dalam sistem demokrasi tidak selamanya ditentukan oleh suara mayoritas tetapi sangat ditentukan oleh siapa yang paling berkepentingan.

Kita kembali kepada sosok Islam phobia, apakah ia nanti sejatinya dapat berhasil menjadi Presiden Indonesia? Menurut saya, adalah sangat tergantung dari kepentingan tangan-tangan para kapitalis di Indonesia, terutama dalam hal ini kepentingan barat Amerika dan konco-konconya. Kalau misalnya dalam kacamata barat Amerika naiknya seseorang yang menang dalam pemilu sebagai presiden dapat membahayakan fasilitas-fasilitas, perusahaan-perusahaan besar, dan modal milik kapitalis barat maka tentu saja yang bersangkutan akan dijegal 
untuk menjadi Presiden Indonesia. 

Untuk membuktikan fakta politik itu, marilah kita mengambil pelajaran pada keberadaan Timor Timur di Indonesia. Bergabung dan terlepasnya Timor Timur di Indonesia, adalah karena tangan-tangan permainan Amerika Serikat dengan memanfaatkan PBB. Jadi kalau misalnya, Amerika berkepentingan untuk memecah belah Indonesia menjadi beberapa negara bagian, sesuai skenario mereka dengan naiknya Orang zhalim sebagai presiden Indonesia. Maka kemungkinan besar Orang zhalim menjadi presiden melalui bantuan Amerika untuk memanipulasi pemilihan umum di Indonesia.

Jadi sejatinya, untuk membendung komplotan pengusung sosok Islam phobia, menguasai kaum muslimin Indonesia, yang paling tepat adalah membuang jauh-jauh sistem demokrasi dan menegakkan kembali sistem pemerintahan Islam yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya, yaitu Daulah Khilafah Islam. Sistem kenegaraan Daulah Khilafah ala Minhaj Nubuwwah, akan menutup pintu serapat-rapatnya bagi orang-orang kafir untuk menjadi pemimpin kaum muslimin. Sudah sangat jelas dalam nash Al-Qur’an bahwa haram hukumnya orang kafir menjadi pemimpin bagi kaum muslimin. Penerapan dalil ini hanya bisa dilakukan lewat ditegakkannya Daulah Khilafah Islam bukan melalui sistem demokrasi yang kufur.

Abu Muhammad Asyam Fathul ‘Ulum
Indonesia Justice Monitor


Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :