Tinta Media - Pada awal periode pemerintahan, hati rakyat pernah dibuat berbunga-bunga dengan berbagai harapan dan janji manis. Rakyat diyakinkan bahwa perekonomian negara ini akan melonjak. Tentu hingga hari ini masih terngiang di benak rakyat. Namun, pada kenyataannya, janji hanya terucap saja. Bukannya membaik, justru negara tidak terlepas dari utang yang kian menggunung.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, utang Indonesia sekitar 7.000 triliyun. Namun, beliau menganggap bahwa negara masih aman dan mampu untuk membayarnya. Ini terbukti dengan pembangunan infrastruktur yang ada sebagai jaminan. Kemampuan itu dijadikan andalan untuk berbangga dalam menahan nilai tukar rupiah berkisar di Rp14.000 terhadap dolar Amerika Serikat (Kompas.com, 06/08/2022).
Sebenarnya beban kian berat, tetapi rakyat hanya bisa mengeluh dengan kondisi yang ada. Ingin menyalahkan pemerintah, tetapi apa daya, mulut terbungkam. Alhasil, rakyat pasrah saja dan mengikuti apa pun kebijakan pemerintah, meskipun hari demi hari dihadapkan pada kehidupan yang sulit. Pemerintah seolah memalingkan muka dan mengatakan semua baik-baik saja.
Bagaimana tidak? Luhut melontarkan pernyataan yang membuat tercengang. Masalah utang dianggap prestasi. Lebih mengejutkan lagi, menurutnya, utang Indonesia terbilang kecil dibanding negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Arab Saudi, Kanada, Hongkong, Malaisya, Singapura, Filiphina. Bahkan utang bagi pemerintah adalah investasi proyek yang mendorong perekonomian negara ke arah lebih maju (finance.detik.com, 08/08/2022).
Benarkah utang luar negeri yang dibanggakan tidak menjadi masalah bangsa? Akankah menjamin rakyat sejahtera? Bukannya untung, malah buntung. Perlu dipahami bahwa utang akan mendatangkan bahaya bagi kedaulatan, kemandirian pembangunan, dan ketimpangan ekonomi bangsa. Rakyat pun ikut menanggung resikonya.
Upaya menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat hanya setengah hati. Bukannya rakyat terbantu, malah pemerintah bergantung pada rakyat. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyak pungutan pajak yang dilimpahkan pada rakyat.
Di sinilah timbul kekecewaan dan ketidakpercayaan yang mendalam dari rakyat. Pemerintah sibuk mencapai kestabilan ekonomi, tetapi di sisi lain mengabaikan tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat.
Padahal, sebenarnya negara memiliki kekayaan alam yang melimpah. Harusnya, kekayaan itu bisa menjadi sumber pemasukan negara, sehingga APBN akan surplus, bukan cenderung defisit. Faktanya, kekayaan itu hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja.
Beginilah kondisi negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Masyarakat kecil kesulitan menyambung hidup. Hal ini karena negara salah dalam mengelola sumber daya alam. SDA yang seharusnya dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat, nyatanya saat ini hanya dikuasai oleh segelintir orang. Akhirnya menimbulkan kesenjangan besar antara si kaya dan si miskin, karena orientasinya untuk meraih kepuasan duniawi sebesar-besarnya.
Sudah terbukti jika utang luar negeri hanya digunakan asing sebagai alat penjajahan ekonomi. Negara-negara kapitalis maupun asing senantiasa menyuntikkan utang ke negeri-negeri berkembang dengan dalih investasi. Akibatnya, perlahan negara yang diutangi berada di bawah kendali mereka. Kebijakan yang dibuat hanyalah pesanan mereka sehingga tidak ada yang berpihak pada rakyat.
Maka, Islam mengharuskan negara mengelola kekayaan alam secara mandiri dan tidak menyerahkannya kepada negara lain untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat secara merata. Kekayaan alam merupakan bagian dari kepemilikan umum yang haram hukumnya dikelola oleh individu, swasta, apalagi asing.
Berdasarkan rujukan dari sabda Rasulullah saw. yang artinya:
"Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal, yaitu air, rumput, dan api (HR. Ibnu Majah).
Rasulullah saw. juga bersabda, "Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli yaitu air, rumput, dan api (HR. Ibnu Majah).
Dengan begitu, sistem ekonomi Islam yang dijalankan akan menjadikan kemandirian negara dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Negara menerapkan mekanisme dan kebijakan APBN untuk menjamin kesejahteraan umat. Perjalanan panjang sejarah kaum muslimin membuktikan bahwa solusi Islam benar-benar terealisasi, yaitu ketika kaum muslimin hidup di bawah kepemimpinan Daulah Islam yang menerapkan Islam kaffah.
Islam akan melahirkan penguasa amanah dalam meningkatkan pendapatan negara, melalui upaya yang sesuai hukum-hukum syariah. Islam membolehkan utang jika kondisi baitul mal kosong di waktu mendesak. Boleh juga menariki pajak kepada yang mampu hingga baitul mal tercukupi. Setelah itu penguasa akan menyetopnya.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, bahwa pajak yang boleh ditarik dalam khilafah harus memenuhi empat syarat. Di antaranya:
Pertama, pajak diambil dalam rangka membiayai kewajiban bersama antara negara dan umat.
Kedua, pajak hanya diambil dari kaum muslimin saja.
Ketiga, pajak hanya diambil dari muslim yang mampu (kaya), yaitu yang mempunyai kelebihan setelah tercukupinya kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) secara sempurna.
Keempat, pajak hanya diambil pada saat tidak ada dana di Baitul Mal. (Muqaddimah Ad-Dustur, 2/108-110; Nidzam Iqtishadi fi al-islam, hlm. 242).
Khalifah Umar bin Khaththab juga pernah mencontohkan bagaimana penerapan politik ekonomi Islam yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer umat. Beliau pun menikahkan kaum muslimin yang tidak mampu, membayar utang-utang mereka dan memberikan biaya kepada para petani agar bisa mengelola tanahnya.
Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Rakyat secara menyeluruh sudah sampai pada taraf hidup tidak memerlukan bantuan harta lagi. Akhirnya, di tahun selanjutnya, Sultan mendapati kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari Gubernur Irak. Kemudian beliau mengirim surat kepada gubernur tersebut.
"Telitilah. Lihat siapa saja yang masih mempunyai tanggungan utang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, bayarilah utangnya."
Dalam kesempatan lain, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk menanyakan pada masyarakat, adakah di antara mereka yang miskin, siapa yang ingin menikah, dan adakah anak-anak yatim. Baik muslim maupun nonmuslim mempunyai hak yang sama. Ternyata tidak ada seorang pun yang membutuhkannya.
Demikianlah gambaran sistem ekonomi Islam secara kaffah dalam Daulah Islam. Sistem ini terbukti mampu menyelesaikan problematika umat, termasuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh umat manusia, sehingga Islam kembali menjadi rahmatan lil 'alamin.
Wallahu 'alam
Oleh: Yeni Purnamasari, S.T.
Muslimah Peduli Generasi