Tuduhan Paksa Jilbab, Influencer Dakwah: Itu Permainan Bahasa Media - Tinta Media

Senin, 29 Agustus 2022

Tuduhan Paksa Jilbab, Influencer Dakwah: Itu Permainan Bahasa Media

Tinta Media - Terkait isu tentang tuduhan pemaksaan jilbab terhadap seorang siswi SMA di Yogyakarta, Influencer Dakwah Doni Riwayanto menyampaikam bahwa itu permainan bahasa yang dilakukan oleh media massa.

"Ini kan permainan bahasa. Permainan bahasa yang dilakukan oleh media terutama CNN," tuturnya dalam acara Perspektif PKAD: Gorengan Dugaan Paksa Jilbab, Islamofobia Merebak? di kanal Youtube Pusat Kajian dan Analisis Data, Selasa (9/8/2022).

Menurutnya, kalau dalam konteks sekolah, seorang guru atau sebuah institusi, kalau kita mengatakan kepala sekolah dan beberapa guru, itu kan artinya mewakili institusi itu, kemudian mengajarkan kepada siswa-siswinya untuk melakukan sesuatu, itu kan konteksnya mendidik, konteksnya itu adalah pendidikan. 

Ia mencontohkan ketika zaman sekolah dulu, harus memakai kaos kaki hitam setiap hari senin, harus memakai dasi, harus memakai topi. Kalau tidak memakai topi, bahkan ada hukumannya, misalnya dijemur di tengah lapangan. 

"Saya pikir semua sudah paham dari dulu seperti itu, dan ada  enggak sih teman-teman yang protes  ketika diperintahkan untuk menggunakan topi, menggunakan kaos kaki hitam, sepatu hitam? Ada enggak yang protes ini melanggar HAM karena memaksa menggunakan topi? Enggak ada yang protes seperti itu," tegasnya.

Kenapa? susul Doni, "Karena mereka paham bahwa itu bagian dari pendidikan disiplin," tandasnya.

Doni menjelaskan, sebenarnya perintah sekolah kepada khusus siswi untuk menggunakan jilbab, kalau di dalam konteks sekolah itu adalah konteks pendidikan. Kemudian yang diperintahkan untuk menggunakan jilbab itu siswi muslimah.
"Enggak ada masalah, kan?" imbuhnya.

Sekolah, lanjut Doni, melakukan perannya sebagai pendidik di mana kita tahu sekolah itu tidak hanya transfer ilmu eksak, ilmu formal. Tetapi mendidik, membangun karakter.

"Nah, sekarang karakter dia sebagai muslimah itu, seperti apa yang dididik oleh guru dan kepala sekolah, dan itu sesuatu yang wajar," ujarnya.

Menjadi tidak wajar, sambung Doni, ketika diberitakan oleh media massa yang tentu saja islamofobi tadi menjadi sesuatu yang seolah-olah menakutkan. 

"Nah, menakutkannya dimana? Lha wong cuma dididik untuk menggunakan jilbab, kok menakutkan, menakutkannya di mana?", imbuhnya.

Doni juga menyesalkan tindakan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang telah menonaktifkan kepala sekolah dan guru SMA Bangun Tapan.

Menurutnya, respon Gubernur DIY itu terlalu gegabah. Tiba-tiba saja menonaktifkan guru dan kepala sekolahnya. 

"Ini sesuatu respon yang gegabah yang hanya berdasar apa? Opini publik. Opini publik yang dibangun oleh suatu media yang disana kita tahu medianya itu tidak berimbang ketika memberitakan. Terus kemudian ada keputusan formal dari gubernur sebagai representasi dari pemerintah," pungkasnya.
[]'Aziimatul Azka
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :