Tinta Media - Gorengan radikalisme dan terorisme semakin sedap dan tidak pernah usai diperbincangkan. Bahkan, hal itu sudah merambah pada dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Oleh karenanya, radikalisme terkesan menjadi pokok permasalahan dalam negeri ini.
Dikutip dari website humas.polri.go.id, Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono mengatakan bahwa di Indonesia data yang dimiliki oleh Densus 88 terkait aksi terorisme dan penangkapan terhadap pelakunya menunjukkan angka yang tinggi. Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari penyebaran paham dan gerakan radikalisme-terorisme yang utamanya menyasar kalangan pemuda, khususnya mahasiswa.
Jenderal bintang tiga ini menjelaskan, proses infiltrasi paham dan gerakan radikal dan ekstremisme masuk dengan berbagai cara, mulai dari menyusup di kegiatan-kegiatan keagamaan (CISForm, 2018), masjid-masjid kampus (INFID, 2018), dan persebaran buku-buku (PPIM, 2018). Pola penyebarannya pun tidak lagi dilakukan hanya melalui medium dakwah dan forum-forum halaqah, tetapi sudah merambah ke media sosial (cyber space) dan jalur-jalur pertemanan. (13/8/22)
Dari fakta di atas, semakin jelas bahwa radikalisme-terorisme disematkan kepada Islam. Hal itu terbukti dengan pernyataan yang menunjukkan bahwa penyebaran paham tersebut dilakukan melalui forum-forum dakwah dan halaqah. Bahkan, mahasiswa yang pro terhadap khilafah yang notabene adalah ajaran Islam, disebut radikal.
Sangat disayangkan saat para pemuda ingin lebih paham atas ajaran agamanya secara menyeluruh dan lurus, malah dituduh akan melahirkan paham kekerasan. Padahal, Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan, apalagi teror hingga menghilangkan nyawa orang tak bersalah. Justru Islam menolak keras berbagai bentuk kekerasan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: "... bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia ...." (Al-Maidah:32).
Sebenarnya, berbagai tuduhan yang menyerang para pemuda_ khususnya mahasiswa_ semacam radikalisme, intoleransi, ekstrimisme, terorisme, dan sebagainya hanyalah untuk membuat mereka takut menyuarakan kebenaran, enggan mengkritik kebijakan pemerintah yang zalim dan segan berdakwah demi tegaknya hukum-hukum Allah Ta'ala. Sungguh, radikalisme merupakan tipu daya dalam dunia pendidikan untuk membungkam dan membatasi gerak pemuda muslim. Padahal, di tangan merekalah tonggak perubahan menuju peradaban mulia ditentukan.
Kenyataannya, bukanlah radikalisme yang menjadi pokok masalah dunia pendidikan. Namun, sekularisme-lah yang menjadi biang persoalan. Bagaimana tidak? Asas dari K
kapitalisme ini mengharuskan aturan agama terpisah dari mengurus kehidupan dan negara. Aturan umum masyarakat seperti kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi, dsb menggunakan aturan manusia yang bersifat terbatas. Ketika manusia yang memiliki banyak keterbatasan membuat aturan untuk mengatur dirinya dan orang lain, alih-alih Menyejahterakan, malah melahirkan banyak persoalan baru yang lebih pelik dan menyengsarakan.
Tak dapat dimungkiri, sistem pendidikan berbasis sekularisme menciptakan generasi yang rapuh dan mudah goyah. Dalam sistem ini, pendidikan dirancang hanya untuk menghasilkan output pekerja. Mereka mengenyam pendidikan setinggi-tingginya supaya mudah dan berdaya saing dalam bursa kerja. Tak heran, visi misi pemuda dalam mengenyam pendidikan hanyalah agar mudah mendapatkan pekerjaan.
Dalam benak pemuda ditancapkan bahwa orientasi dalam hidup ini adalah keuntungan materi, sehingga banyak pemuda yang putus asa ketika merasa tak mampu menggapai materi tersebut. Akhirnya, ketika menghadapi berbagai tekanan dan permasalahan hidup akibat belum tercapainya materi yang diinginkan, mereka pun banyak yang mengambil jalan pintas, seperti bunuh diri.
Demikianlah salah satu contoh hasil pendidikan sekuler. Masih ada berbagai macam persoalan yang tak dapat dihitung dengan jari. Oleh karena itu, sudah selayaknya pemerintah segera mengambil langkah untuk mencampakkan paham sekuler kapitalis yang telah nyata merusak generasi muda dan menoleh pada sistem yang tepat daripada hanya meributkan radikalisme yang tak jelas arah tujuannya.
Lalu apakah sistem yang tepat itu?
Islam adalah ideologi yang di dalamnya terdapat aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Bukan hanya masalah ibadah kepada Allah Ta'ala, seperti salat, puasa, dan haji saja. Namun, Islam juga mengatur politik luar negeri, pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, dsb.
Dibuktikan, selain Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bertindak sebagai nabi dan rasul, beliau pun menjadi kepala negara yang memimpin dengan aturan Islam. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam melakukan tugas-tugas kenegaraan, seperti mengadakan berbagai perjanjian, memimpin pasukan perang, mengirim duta dan utusan, dsb (Abdullah Ad-Dumaiji, Al-Imâmah Al-'Uzhmâ 'inda Ahlis Sunnah wa-Al-Jamâ'ah, hlm. 52).
Setelah Rasulullah shalallahu'alaihi wa salam wafat, tugas sebagai rasul berakhir. Namun, tugas sebagai kepala negara berlanjut dan diteruskan oleh Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan khalifah-khalifah selanjutnya, hingga khalifah terakhir Sultan Abdul Majid II, saat Khilafah Utsmaniyyah hancur tahun 1924 di Turki akibat umat meninggalkan sebagian aturan Islam.
Pandangan Islam mewajibkan pemeluknya untuk menuntut ilmu. Kedudukan para pembelajar sangat tinggi di hadapan Allah Ta'ala. Negara bertanggung jawab dalam formalisasi pendidikan Islam serta pembiayaan agar segala fasilitas pendidikan bisa dirasakan oleh seluruh warga negara, baik muslim atau non-muslim secara mudah, murah, bahkan gratis, terjangkau, serta berpengaruh. Khalifah sebagai pemimpin negara wajib menetapkan kebijakan untuk menerapkan sistem pendidikan Islam dan menjamin pelaksanaannya.
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda, “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Tujuan dari pendidikan Islam adalah untuk membangun kepribadian Islam serta penguasaan ilmu kehidupan seperti matematika, sains, teknologi, dan rekayasa bagi peserta didik. Output pendidikan Islam akan menghasilkan peserta didik yang kokoh keimanannya dan mendalam pemikiran Islamnya (tafaqquh fiddin). Pengaruhnya adalah keterikatan peserta didik terhadap hukum Allah Ta'ala (bertakwa). Dampaknya adalah tegaknya amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat, tersebarnya dakwah, dan jihad ke seluruh penjuru dunia.
Para pembelajar Islam tidak dididik untuk kemaslahatan dirinya dan industri, seperti pendidikan sistem sekuler. Namun, mereka dididik agar menghasilkan karya yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Wallahu a'lam.
Oleh: Nana Ummu Abdi
Sahabat Tinta Media