TAIWAN TUMBAL AS UNTUK HADAPI CHINA? - Tinta Media

Minggu, 14 Agustus 2022

TAIWAN TUMBAL AS UNTUK HADAPI CHINA?

Tinta Media - Meski kunjungan resmi ketua House of Representative Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi di Taiwan telah berakhir, militer China masih melanjutkan latihan di laut dan udara sekitar Taiwan. Pada Senin (8/8/2022) Komando Teater Timur China mengatakan, akan menggelar latihan gabungan yang fokus pada operasi anti-kapal selam dan serangan laut.

Pengumuman ini mengkonfirmasi kekhawatiran pengamat keamanan dan diplomat bahwa Beijing akan melanjutkan tekanannya pada pertahanan Taiwan. Kunjungan Pelosi membuat China yang mengklaim Taiwan bagian dari wilayahnya menjadi geram.

Beijing sempat merespons kunjungan Pelosi dengan meluncurkan rudal balistik di Taiwan untuk pertama kalinya. China juga memutuskan sejumlah saluran dialog dengan Washington.

Kementerian Pertahanan Taiwan mendeteksi 66 pesawat Angkatan Udara dan 14 kapal Angkatan Laut China. Sebelumnya dilaporkan stasiun televisi pemerintah China mengatakan mulai saat ini militer China akan menggelar latihan "rutin" di bagian timur garis tengah Selat Taiwan. Laporan itu mengutip seorang komentator.

AS dan juga media-media Barat turut mewarnai framing media global dengan terus mem-blow up narasi-narasi invasi China yang akan datang ke Taiwan. Narasi ini juga digunakan untuk membenarkan penjualan senjata AS kepada militer Taiwan termasuk kesepakatan senjata baru-baru ini senilai beberapa miliar dolar AS.

Hal ini sebagaimana dimuat dalam Business Insider dalam artikelnya berjudul, “Invasi China ke Taiwan tidak akan mudah, dan 400 rudal anti-kapal yang direncanakan AS untuk dijual ke Taiwan akan membuatnya semakin sulit.”

Kurang dari seminggu setelah resmi menjual senjata senilai $ 1,8 miliar ke Taiwan, Departemen Luar Negeri AS memberikan laporan kepada Kongres tentang kemungkinan Penjualan Militer Asing ke Taiwan sebesar $ 2,4 miliar yang mencakup ratusan rudal dan peluncur anti-kapal Harpoon.

Penjualan besar tersebut, jika disetujui oleh Kongres, akan memberi Taiwan 100 Harpoon Coastal Defense Systems (HCDS) dan 400 RGM-84L-4 Harpoon Block II Surface-Launched Missiles, senjata yang sangat mumpuni untuk segala cuaca yang dapat mencari dan mengambil kapal sejauh setengah jalan melintasi Selat Taiwan. Penjualan rudal tambahan tersebut nantinya akan disetujui.

Selain jaringan “soft power” AS di kawasan, Taiwan sekarang berfungsi sebagai pangkalannya, mengingat AS masih kekurangan sarana untuk menghadapi atau menahan pengaruh China – baik dalam hal Taiwan dan wilayah yang lebih luas.

Kebutuhan akan “invasi China” atas wilayah yang telah diakui sebagai bagian dari China oleh PBB dinilai tidak masuk akal, terutama pada level yang paling jelas secara ekonomi di mana China daratan sekarang berdiri sebagai mitra dagang dan investor terbesar Taiwan.

China Daratan telah menjadi kunci pertumbuhan ekonomi Taiwan selama beberapa tahun terakhir dan telah membantu meredakan ketegangan lintas Selat.

Karena hubungan ekonomi Taiwan dengan China daratan, upaya terbaru AS untuk memperkenalkan kembali perpecahan di antara keduanya telah merugikan ekonomi Taiwan. Pemerintah yang memenuhi keinginan Washington untuk membatasi investasi daratan dan menentang keputusan Beijing mengenai wilayah China telah memutus aliran masuk ekonomi Taiwan – dan bahkan Barat yang lebih luas – tidak dapat mengkompensasinya.

Peninjauan terhadap investasi dan perdagangan asing Taiwan selama dua dekade terakhir menunjukkan tren yang jelas dan tidak dapat dihindari terkait masa depan Taiwan. Yaitu adanya tren yang ditandai dengan menyusutnya peran Barat dalam bidang ekonomi Taiwan dan digantikan oleh peningkatan tren China daratan, yang secara nyata berdampak pada Taiwan secara geopolitik.

Upaya AS untuk membangun gerakan kemerdekaan Taiwan dimaksudkan untuk dengan sengaja mengganggu tren ini – dan hal itu dilakukan bukan dengan memberi Taiwan alternatif ekonomi tetapi malah memancing wilayah itu ke dalam pertikaian politik dan bahkan militer dengan China daratan dan sekutu regionalnya. Ini dilakukan secara khusus dengan mengorbankan hubungan ekonomi Taiwan dengan keduanya.

Sama seperti Australia dan lainnya yang ditarik ke dalam kebijakan luar negeri anti-China Washington – sikap seperti itu tidak berkelanjutan. Selama ini China dapat menghindari provokasi dan konflik dan terus menawarkan manfaat kemakmuran ekonomi dan perdamaian sebagai alternatif dari strategi ketegangan Washington. Sementara gaya hegemoni Indo-Pasifik Washington terus melemah dan berdampak pada kepentingan negara-negara pendukungnya di kawasan. Hal ini tentu akan menjadi pintu masuk bagi negara-negara lain yang tertarik pada arsitektur kawasan yang lebih konstruktif.

China saat ini bukanlah ancaman langsung bagi Amerika saat ini. Tetapi Amerika tidak dapat mentolerir kebangkitan negara yang mungkin menjadi ancaman bagi China di masa depan. Oleh karena itu AS berkomitmen penuh saat ini untuk menahan kebangkitan China. Amerika, menggunakan berbagai tipudaya politik untuk menipu China agar sibuk dengan urusan internal dan regionalnya agar selaras mengikuti kebijakan Amerika.

Realitas ini membuat Cina terlalu fokus pada wilayah regional dan tidak memiliki ambisi untuk lebih dari itu. Hal ini akan berubah apabila Cina mengubah ambisi regionalnya menuju ambisi global. Tanpa adanya perubahan ambisi, maka Cina tidak akan menjadi kekuatan global. Dengan pandangan regional yang sempit, Cina tidak akan mampu menandingi AS. Apa yang dilakukan Cina di Afrika sebenarnya tidak untuk menantang AS tapi sekedar usaha mendapatkan akses kepada energi minyak, dimana Cina akan semakin tergantung kepadanya. Di sinilah Cina menghadapi isu penting yang akan menentukan status masa depannya.

China juga menghadapi berbagai masalah yang memerlukan solusi, dan tanpa ideologi yang jelas maka China tidak akan menyelesaikan masalahnya secara konsisten pula. Tanpa ideologi, China akan terus didikte isu sebagai akibat tidak terselesaikannya isu yang lain. Pembangunan ekonomi China yang semakin tergantung kepada pasokan minyak membuat Cina harus membangun kerjasama yang koheren yang memiliki minyak. Tanpa ideologi, China sudah menghadapi masalah integrasi Tibet dan Xinjiang. Pertanyaannya, tanpa ideologi, bagaimana China akan mengintegrasikan Tibet dan Xinjiang, dan dengan ideologi apa penduduk tersebut akan diintegrasikan?

Secara domestik China memang diperintah oleh Komunisme, karena memang China masih dipimpin oleh sistem 1 partai. Akan tetapi China mulai beranjak ke sistem pasar bebas. Di saat yang sama, China juga bersikap nasionalistik yang memancing seruan disintegrasi dari beberapa wilayah, dimana AS berperan dalam memberikan dukungan diam-diam secara terus menerus. Sampai pada satu titik Cina memutuskan apa jati dirinya, negeri ini akan terus ditarik ulur ke arah yang berbeda-beda dan China pun tidak akan mampu bangkit untuk menandingi adidaya manapun.

Dan kita berharap semoga dunia muslim segera bangkit dan dan akan kembali bersatu di atas sistem yang mengadopsi manhaj Nabi (Saw) yang akan menyatukan semua negeri Muslim, membebaskan wilayah pendudukannya, menerapkan syariah Islam, memulihkan cara hidup Islam dan membawa cahaya Islam ke seluruh dunia, menjadi barisan kekuatan besar, dan bergerak untuk membawa keamanan dan stabilitas ke urusan dunia dengan menghadapi, menahan dan menenangkan intrik kekuatan besar dari Amerika Serikat, Inggris, Eropa, China dan lainnya dan mengembalikan dunia ke keadaan damai dan kemakmuran serta menjadi kekuatan nomor satu dunia.

Umar Syarifudin
Pengamat Politik Internasional
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :