Tinta Media - Ironis, belakangan ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan spekulasi harga mie instan yang disebut-sebut bisa naik 3 kali lipat. Hal itu dikatakan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, sebab harga gandum saat ini tengah naik dan pasokan pun sulit. Sebelumnya, Presiden Jokowi pun sempat menyinggung hal tersebut.
Belum selesai dengan climate change, kita pun dihadapkan pada perang Ukraina-Rusia. Dalam kondisi tersebut, ada 180 juta ton gandum tidak bisa keluar. Hal ini tentu berimbas pada kondisi di Indonesia.
Dalam konteks pemenuhan kebutuhan pangan rakyat, tentu kita tidak bisa sekadar beralih konsumsi pada bahan pangan lainnya, terlebih Indonesia adalah negara agraris. Sudah bertahun-tahun lamanya kebutuhan gandum kita selalu bergantung pada hasil impor. Hal ini menunjukkan bahwa negeri yang kaya akan SDA ini masih jauh dari predikat negara mandiri dan berswasembada pangan.
Bukankah ini menjadi tantangan untuk mewujudkan swasembada pangan? Bagaimana seharusnya kita menyikapi hal tersebut? Bagaimana seharusnya negara menyikapi kenaikan harga pangan?
Ironis Negara Agraris
Sebagaimana pemberitaan, Menjelang HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-77, Indonesia mendapat penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) sebagai pengakuan atas sistem pertanian-pangan yang tangguh dan swasembada beras periode tahun 2019-2021, melalui penggunaan teknologi inovasi padi.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih menilai, semestinya kebijakan yang diklaim oleh pemerintah bisa menggenjot produksi beras, dapat diimplementasikan untuk komoditas pangan yang lain, seperti kacang kedelai, gula, daging sapi, atau bahkan terigu.
Di samping itu, jika pemerintah memahami besarnya ketergantungan Indonesia terhadap gandum, bukankah seharusnya pemerintah membuat langkah yang nyata untuk mewujudkan swasembada bahan pangan lainnya selain beras?
Sebagai negara agraris, kondisi Indonesia sesungguhnya begitu ironis. Hal ini karena Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri secara total. Kondisi ini diperparah dengan ketidakseriusan pemerintah untuk membangun pertanian. Padahal, pertanian itu menyangkut hidup dan mati umat manusia.
Di samping itu, aspek pertanian yang tidak terurus telah menambah angka kemiskinan masyarakat Indonesia. Jika swasembada beras dapat terwujud dengan adanya dukungan pemerintah melalui pembangunan irigasi pertanian, mengapa hal itu tidak dilakukan untuk bahan pangan lainnya? Bukankah kebutuhan rakyat terhadap gandum, gula, terigu, dan sejenisnya pun sangat penting?
Merunut Masalah
Aspek pertanian tidak bisa terpisah dari sektor lain yang mendukung berlangsungnya kehidupan manusia, mulai dari kebijakan pemerintah di sektor pertanian, pengelolaan tanah, penemuan inovasi, dan juga dukungan sektor industri yang menopang sektor pertanian. Aksi industrialisasi dan pengembangan wilayah yang massif makin berdampak pada kian menyempitnya lahan pertanian.
Kasus alih fungsi lahan banyak terjadi. Meskipun berbagai kebijakan hadir untuk mengerem laju alih fungsi lahan, tetapi kenyataan berkata lain. Tumpang tindih kebijakan sudah menciptakan hukum rimba di tengah masyarakat. Begitu banyak masyarakat yang harus merelakan lahan milik mereka demi mengejar target pembangunan yang kapitalistik.
Alhasil, konversi lahan pertanian menjadi pabrik atau bisnis perumahan makin massif. Kalaupun masih ada lahan tersisa, kualitasnya makin jauh berkurang karena sudah tercemar limbah pabrik dan rumah tangga.
Selain itu, dukungan pemerintah dalam pengadaan pupuk dinilai masih sangat kurang. Harga pupuk nonsubsidi pun sangat mencekik para petani. Sementara itu, pemberian pupuk bersubsidi masih menimbulkan keluhan dari para petani. Hal ini karena selisih antara kebutuhan dan jumlah pupuk subsidi sangat jomplang.
Kebutuhan petani terhadap pupuk per 2021 sudah mencapai 24 juta ton/tahun. Sedangkan yang disalurkan pemerintah hanya 9 juta ton/tahun. Alokasi pupuk ini pun hanya ditujukan kepada para petani padi, sedangkan sektor lainnya tidak. Padahal, kebijakan ketahanan pangan itu meliputi seluruh kebutuhan pangan masyarakat.
Karut-marut kebijakan di bidang pertanian ini tidak lepas dari paradigma sistemis yang dijalankan pemerintah. Cita-cita mewujudkan ketahanan, bahkan kedaulatan pangan seolah jauh dari harapan para petani. Semrawutnya pengelolaan sektor pertanian seiring laju pembangunan yang kapitalistik, telah menciptakan stigma lekatnya kemiskinan terhadap para petani. Walhasil, negeri ini agraris, tetapi petaninya gigit jari. Rakyat pun harus menanggung kenaikan harga pangan karena bahan baku yang selalu bergantung dari hasil impor negara lain.
Tentu kita butuh satu paradigma khusus untuk mengukuhkan cita-cita kedaulatan pangan secara sistemis. Islam memiliki pandangan khusus untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang hakiki. Lalu bagaimana caranya?
Perspektif Islam
Untuk mewujudkan swasembada dan kedaulatan pangan di seluruh jenis pangan, negeri ini butuh politik pertanian yang visioner. Dalam Islam, politik pertanian kekhilafahan terdiri atas dua strategi penting.
Pertama, intensifikasi, yaitu peningkatan produktivitas pertanian yang meliputi pengadaan bibit unggul, pupuk berkualitas, inovasi berbasis teknik pertanian modern, dan dukungan sarana prasarana lainnya untuk mengembangkan sektor pertanian.
Kedua, ekstensifikasi pertanian, yaitu dengan menambah luas area yang akan ditanami. Dalam Islam, negara berhak mengambil tanah dari orang yang menelantarkan tanah selama tiga tahun berturut-turut. Tanah tersebut lalu pemerintah berikan kepada siapa saja yang mampu mengelolanya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Siapa saja yang memiliki sebidang tanah, maka hendaknya dia menanaminya atau hendaklah ia berikan kepada saudaranya. Apabila ia mengabaikannya, maka hendaklah tanahnya diambil.”
Atas hal ini, aspek produktivitas pertanian dapat terkontrol. Di sisi lain, pemerintah pun dapat mengerahkan para pegawai negeri, khususnya dari departemen pertanahan, untuk mengawasi tanah-tanah yang dimiliki rakyat. Jelas ini membutuhkan komunikasi lintas sektor demi terwujudnya kemaslahatan umat.
Melalui pengawasan tanah produktif ini, akan tercipta atmosfer kondusif dan semangat kerja yang produktif dari para petani. Jadi, aspek intensifikasi yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara, bersamaan dengan ekstensifikasi pertanian yang memadai akan mampu menopang terwujudnya swasembada pangan.
Di samping itu, kebijakan politik pertanian ini diiringi dengan politik industri yang menjadikan negara mandiri dalam menyediakan sarana dan prasarana, seperti alat maupun mesin pertanian. Dengan demikian, khilafah akan menjadi negara yang mandiri dan tidak bergantung pada negara lain.
Dampak dari seluruh strategi ini adalah bahan baku akan melimpah dan hasil pertanian pun meningkat. Etos kerja pertanian pun menjadi kondusif. Walhasil, cita-cita swasembada dan kedaulatan pangan bukanlah sekadar harapan. Ada langkah-langkah strategis untuk mewujudkan itu semua, dan Islam punya solusinya. Wallahu a'lam.
Oleh: Willy Waliah
Sahabat Tinta Media