Tinta Media - Bicara tentang makna kemerdekaan, Direktur Siyasah Institut, Ustadz Iwan Januar menuturkan ada tiga cara pandang terhadap kemerdekaan.
"Ada tiga cara pandang terhadap kemerdekaan ini," tuturnya sebagaimana rilis yang diterima Tinta Media, Kamis (18/8/2022).
Pertama, cara pandang dangkal (fikr al-suthiy). "Mereka yang berpandangan dan berpikiran dangkal, imbuhnya, beranggapan merdeka adalah kalau kebutuhan pribadinya tercukupi. Meskipun sebenarnya mereka hanya kebagian seuprit, dan bagian besarnya diboyong bangsa asing," ungkapnya.
Ustadz Iwan, sapaan akrabnya juga menyampaikan cerita atau kisah jaman penjajahan Belanda tentang kaum ekstremis.
"Di jaman penjajahan Belanda ada orang yang merasa merdeka dan bahagia, bahkan ikut membantu penjajah membasmi sesama pribumi yang disebut kaum ekstrimis inlander, yang oleh Belanda disebut sebagai pengacau keamanan dan mengganggu stabilitas," paparnya.
Warga pribumi yang membantu Belanda ini, kata Iwan, disebut sebagai ‘londo ireng’. Ikut bersekutu dengan Belanda padahal pribumi yang kulitnya ireng. Buat mereka, merasa sudah ‘merdeka’ ketika negerinya dijajah.
Kedua, ia menjelaskan tentang kemerdekaan berdasarkan cara pandang yang mendalam.
"Kemerdekaan versi mereka yang pemikirannya lebih mendalam. Menurut mereka, merdeka itu mutlak bebas secara fisik dari injakan bangsa penjajah. Bukan namanya kemerdekaan kalau moncong bedil tentara asing masih mengarah ke kepala," terangnya.
Walaupun para penjajah memberi fasilitas pendidikan, lanjutnya, lowongan kerja, seperti taktik politik etis alias balas budi milik Belanda, tetap itu namanya penjajahan.
Ia kembali menerangkan tentang makna kemerdekaan versi pemikiran mendalam.
"Namun pemilik pemikiran kemerdekaan level ini masih menggelar karpet merah untuk kedatangan negara asing, bisa dengan nama bantuan (aid), investasi, utang luar negeri, konsultasi, fakta perjanjian ekonomi, pasar bebas, dan sebagainya," bebernya.
Ia juga mengatakan bahwa mereka yang memiliki pemikiran mendalam berbagai investasi dan utang luar negeri merupakan konsekuensi hubungan internasional.
"Mereka sebut itu adalah konsekuensi hubungan internasional dan persahabatan, agar tidak dikucilkan di pergaulan tingkat dunia," ujarnya.
Menurutnya wujud kerjasama dan bantuan luar negeri merupakan jerat penjajahan gaya baru.
"Padahal, banyak bentuk hubungan yang mereka sebut ‘kerjasama’ atau ‘bantuan’ sekalipun adalah jerat penjajahan baru," katanya.
Kesepakatan pasar bebas misalnya, ujar Iwan, sudah dikritik banyak orang menguntungkan negara-negara besar yang lebih siap dengan beragam komoditi perdagangan. Negara-negara berkembang siap-siap diserbu dan industri dalam negeri alami sekaratul maut.
Ia juga menilai banyak pemimpin negara dan pejabat berperan sebagai sakes perusahaan transnasional.
"Banyak pemimpin negara dan pejabatnya yang berperan sebagai sales perusahaan transnasional atau multi national coorporate (MNC). Basa-basinya mereka membangun negeri dengan mengundang investor asing padahal keuntungan terbesar bukan milik negeri, melainkan diangkut perusahaan-perusahaan asing itu," bebernya.
Orang-orang yang berpikir kemerdekaan di level ini, kata Iwan, juga beropini dan menyebarkan opininya bahwa utang itu hal biasa, meski bunganya berlipat-lipat. Presiden Jokowi dalam pidatonya menyatakan akan tarik utang baru Rp 696 T dan bayar bunga utang Rp 441 triliun di tahun 2023.
Ia juga menjelaskan arti kemerdekaan bagi mereka yang berpikir mendalam adalah terlepas dari tekanan atau paksaan ajaran agama. Jika memaksa dianggap intoleran atau penjajahan.
"Untuk mereka, merdeka juga berarti harus lepas dari ‘tekanan’ dan ‘paksaan’ ajaran agama. Maka tak boleh ada yang memaksa ataupun sekedar menyarankan jilbab pada siswi di sekolah. Itu namanya penjajahan dan intoleran," jelasnya
Manusia-manusia seperti ini lanjutnya, tak sadar kalau sebenarnya mereka masih berada di alam penjajahan. Tapi secara subyektif mereka tetap yakin kalau diri mereka adalah manusia merdeka.
Ketiga, Ustaz Iwan menjelaskan mengenai konsep pemikiran yang cemerlang terhadap arti kemerdekaan. "Orang-orang yang seperti ini baru percaya, diri mereka merdeka ketika bebas dari penghambaan sesama mahluk," ujarnya.
Bukan saja merdeka dari todongan bedil atau bayonet, imbuhnya, tapi juga merdeka dari paksaan pemikiran dan ideologi buatan manusia.
Ia juga menegaskan bahwasanya tidak dikatakan merdeka jika kebijakan masih dikendalikan oleh bangsa lain. "Bukan namanya merdeka kalau kebijakan kita dikendalikan asing, aset bangsa dikeruk orang lain, bahkan kita jadi kuli di negeri sendiri saja semakin sulit," jelasnya.
Terakhir, Ustaz Iwan menegaskan kembali bahwa kemerdekaan hakiki akan terwujud Jika manusia tunduk hanya kepada Allah Swt semata.
Kemerdekaan seperti ini baru terwujud ketika manusia tunduk hanya pada Allah SWT Yang Maha Pencipta manusia," pungkasnya.[] Nur Salamah