Tinta Media - Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan menegaskan, politik demokrasi memiliki konsekuensi politik berbiaya tinggi.
“Sistem politik demokrasi liberal yang dianut memiliki konsekuensi politik berbiaya tinggi,” ungkapnya di Kabar Petang: Biaya Politik Demokrasi Melonjak, Korupsi Merebak? Senin (1/8/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.
Menurutnya, mahalnya biaya politik ini setidaknya tercermin dalam dua hal.
Pertama, nomination buying atau mahar partai politik. "Seorang legislator yang ingin masuk ke partai politik tertentu, biasanya harus melobi dengan uang untuk bisa menjadi calon legislator dari partai tersebut. Atau seorang calon kepala daerah, harus melobi beberapa partai untuk memenuhi ambang batas tertentu agar bisa diusung,” jelasnya.
Kedua, lanjutnya, biaya jual beli suara, termasuk money politic atau serangan fajar menjelang hari pemilihan. “Hal ini hampir ditemukan di seluruh wilayah,” bebernya.
Menurutnya, kondisi ini secara normatif melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi liberal karena bukan memilih orang yang kompeten, melainkan memilih yang membayar sejumlah uang.
“Hanya saja, secara fakta, hal ini belum bisa mendelegitimasi sistem demokrasi karena sistem ini bertemu dengan kondisi rendahnya taraf kesadaran poltik rakyat. Dalam hal ini, rakyat akan memilih yang memberikan benefit jangka pendek baginya, bukan karena visi, misi, dan program kerja yang ditawarkan,” paparnya.
Terlebih, sambung Fajar, partai politik juga tampak menikmati kondisi ini, bahkan terjadi pembiaran karena cara ini dipandang mudah mencapai kekuasaan.
“Belum lagi, calon-calon legislator dari partai politik ini bertemu dengan investor politik yang memberikan sejumlah investasi untuk mendapatkan keuntungan di kemudian hari. Investor politik ini pun bermain di dua kaki sepanjang menguntungkan baginya,” analisisnya.
Oleh karena itu, Fajar menilai, wajar ketika calon legislator, kepala daerah, atau kepala negara yang mengeluarkan biaya tinggi untuk kontestasi sulit mengembalikan biaya tersebut, tanpa intervensi investor politik.
“Dari sinilah memunculkan peluang abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) dan korupsi politik. Akibatnya, perilaku partai politik dan para politikus menjadi oportunistik, tidak betul-betul memikirkan kemaslahatan umat. Yang dipikirkan adalah cara agar kekuasaan yang dipegangnya bisa dipertahankan, kalau bisa selama-lamanya,” ungkapnya.
Bahkan, ia menyatakan, partai politik saat ini ibarat mesin pengumpul uang. “Mereka menawarkan kepada publik yang memiliki modal besar untuk bergabung. Maka, tidak heran dijumpai kader-kader politik yang instan dan menghasilkan penguasa yang menjadi pengusaha dan pengusaha yang menjadi penguasa. Paradigma yang ada, 'saya mendapatkan apa?' sehingga parpol berubah menjadi lembaga bisnis dan tidak mencerminkan kehendak rakyat, menghasilkan politik kartel dan 'lingkaran setan' korupsi,” tegasnya.
Sistem Politik Islam
Fajar menilai, yang paling rasional untuk mengganti sistem politik demokrasi adalah sistem politik Islam karena meletakkan kontrol dalam tiga tingkatan. “Pertama, kontrol individu dengan memberikan amanah kepada individu yang saleh untuk mengurus urusan rakyat. Kedua, kontrol masyarakat. Ketiga, kontrol negara,” urainya.
Fajar menegaskan, sistem Islam meletakkan orientasinya pada pelayanan terbaik, bukan kekuasaan an sich.
“Tanpa sistem Islam, saya pesimis politik kartel dan 'lingkaran setan' korupsi bisa diputus. Ini karena sistem selain Islam merupakan sistem buatan manusia yang memiliki limitasi-limitasi yang tidak bisa diatasi. Sedangkan, sistem politik Islam adalah sistem yang berasal dari Zat Yang Mahasuci yang bisa menyelesaikan sengkarut politik yang ada saat ini,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun