Tinta Media - Utang dengan bunga besar tengah mengintai negeri tercinta ini. Dengan dalih untuk mewujudkan pembangunan fisik yang bermanfaat bagi masyarakat dan memberi keuntungan bagi negara, pembangunan fisik jor-joran pun dilaksanakan di tengah kondisi perekonomian nasional yang terengah-engah. Utang negara dianggap mampu diselesaikan tanpa perlu khawatir akan terpuruk di kemudian hari. Benarkah demikian?
Dilansir dari media kompas.com, Jumat (6/8/2022), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengakui bahwa Indonesia memiliki utang yang terbilang besar, yakni Rp7.000 triliun. Namun, menurutnya Indonesia mampu membayar utang tersebut karena dibayar dengan proyek-proyek yang bagus, yakni pembangunan. Luhut pun menyebutkan, tingkat utang pemerintah Indonesia saat ini jauh lebih aman dibandingkan negara-negara lain di dunia.
Berdasarkan penelusuran dari berbagai sumber, detikcom mencoba untuk membandingkan utang Indonesia dengan sejumlah negara ASEAN terlebih dahulu. Misalnya, Malaysia memiliki utang negara hingga Juni 2022 mencapai RM 1,045 triliun, setara dengan Rp3.490 triliun, Singapura dilaporkan hingga Maret 2022 mencapai US$ 645 miliar atau setara Rp9.684 triliun, Filipina hingga akhir April 2022 mencapai P12,76 triliun, setara dengan Rp3.423 triliun. Kemudian di negara lainnya, seperti Amerika Serikat, pada Juni 2022 utang publiknya mencapai US$ 30,57 triliun, setara 456.209 triliun, lalu di Arab Saudi, utang publiknya meningkat lebih dari 2 persen pada akhir kuartal pertama 2022 mencapai SR958 miliar setara Rp3.840 triliun, (detikfinance.com, 8/8/2022).
Sungguh, berapa pun besaran utang Indonesia, tetap harus dibayarkan. Membandingkannya dengan negara lain yang lebih besar utangnya sangatlah tidak bijaksana. Hal ini karena yang menjadi permasalahan adalah bagaimana pembayaran utang yang jumlahnya fantastis itu bisa terselesaikan.
Negara beralasan bahwa utang tersebut positif dapat terbayarkan karena ada banyak investasi proyek strategis yang akan balik modal dan memberikan keuntungan bagi negara. Namun, faktanya beberapa investasi proyek strategis yang digaungkan pemerintah justru mangkrak saat ini, tidak diteruskan, bahkan beralih fungsi menjadi sarana yang tidak sesuai dengan tujuan awal pembangunan investasi dilakukan.
Kondisi ini seakan memperlihatkan bahwa investasi tersebut hanya manipulatif untuk memenuhi janji terhadap para korporat dengan menggolkan proyek-proyek yang telah mereka rencanakan. Jadi, bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang infrastruktur. Pembangunannya dilakukan seperti kejar tayang, tetapi di tengah jalan berhenti begitu saja. Masyarakat pun tidak merasakan manfaatnya. Maka siapa yang diuntungkan?
Bisakah Utang Terbayarkan?
Jelas, kondisi perekonomian Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Saat ini negara-negara berkembang lain tengah bergulat dengan krisis pangan dan energi yang sedang melanda. Tidak mustahil Indonesia pun mengalami hal yang sama. Hal ini karena pijakan dalam melaksanakan kegiatan ekonominya sama, yakni kapitalisme demokrasi dengan turunannya liberalisme.
Kita ketahui, pendapatan negara itu bertumpu pada pajak dan utang. Setiap sektor kehidupan yang dapat dikenai pajak, maka peluang untuk mewajibkan pembayaran pajak akan dilaksanakan. Pajak ini mayoritas diperoleh dari masyarakat dengan golongan menengah ke bawah. Maka jelas, ini sangat memberatkan. Sudah tercekik dengan pendapatan dari hasil kerja keras yang tidak seberapa, ditambah harus membayar pajak yang telah ditetapkan.
Utang yang dimiliki negara juga ternyata digunakan sebagai pendapatan dalam mengatur rancangan pendapatan dan belanja negara (RAPBN). Sungguh, hal ini akan menambah beban dalam pelaksanaan APBN-nya. Hal ini karena utang tersebut benar-benar harus menghasilkan keuntungan bagi negara. Akan tetapi, yang terjadi malah sebaliknya. Beberapa proyek strategis yang dijanjikan tidak terealisasi. Maka, beban utang yang dibayarkan semakin membengkak. Bunga terus bertambah, sementara pemasukan yang dijanjikan tidak terwujud.
Dengan fakta demikian, maka tidak yakin pembayaran utang berjalan dengan baik karena yang jadi tumpuannya sangat rapuh. Padahal, bunga utang terus mengintai dan bisa berujung pada krisis pangan, krisis energi, dan krisis kedaulatan ketika utang tidak terbayarkan. Kejadian krisis dan kebangkrutan di negara-negara berkembang lain, seperti Sri Lanka, Zimbabwe, dan lainnya adalah bukti nyata yang mestinya menjadi pelajaran.
Kepentingan Kapitalis Bukan Prioritas
Merunut investasi proyek strategis, terpampang nyata bahwa kepentingan merealisasikan janji terhadap para korporat lebih utama dibandingkan pemenuhan kebutuhan esensial bagi masyarakat. Dengan keadaan saat ini yang serba mahal dan sulit, masyarakat membutuhkan solusi hakiki agar keluar dari kemelut dalam memenuhi kebutuhannya, baik pangan, sandang, dan papan. Seyogianya pemerintah bisa memprioritaskan kebutuhan masyarakat.
Jelas, dalih proyek-proyek strategis tersebut memberi keuntungan dan akan balik modal tidak tercapai. Hal ini karena sasaran dari pembangunan proyek-proyek tersebut hanya upaya mewujudkan janji saja. Sifat proyek yang dihasilkan pun hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat, tidak menyeluruh meliputi setiap lapisan masyarakat.
Contohnya, untuk pembangunan jalan tol, negara hanya bertindak sebagai regulator saja. Ketika tol selesai, keuntungan terbesar dinikmati para korporat sebagai pemiliknya. Penikmat tol pun hanyalah sebagian masyarakat saja. Balik modal terbesar tidak kembali pada negara, tetapi ke para korporat.
Proyek lainnya, pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung yang berujung pada kemandekan, tidak selesai hingga saat ini. Siapa yang diuntungkan? Pastinya bukan masyarakat karena belum bisa dinikmati hingga saat ini. Proyek-proyek strategis lainnya, semakin nyata menggambarkan keberpihakan kepada para korporat.
Pembangunan Fisik dalam Islam
Sistem pemerintahan Islam yang disebut Khilafah Islamiyah, dalam melaksanakan kebijakan pembangunan fisiknya bertumpu pada kebutuhan masyarakat secara umum. Pembangunan fisik ini tidak dapat dipisahkan dengan penerapan sistem ekonomi Islam. Mekanisme kepemilikan dan sistem pengelolaan yang tegas dalam Khilafah mampu mewujudkan ketahanan dan kedaulatan negara. Dalam sistem Islam, tidak akan ditemukan sistem pengalihan kelola dari negara ke investor swasta atau asing terkait pembangunan yang dilaksanakan.
Tujuan pembangunan fisik adalah untuk kemaslahatan publik. Pembangunan dijalankan sebagai sarana untuk memberikan pelayanan dan kemudahan aspek transportasi atau pun pelayanan lainnya yang memenuhi seluruh kepentingan dan kebutuhan aktivitas publik, meliputi kebutuhan ekonomi, kesehatan, pendidikan, keamanan, dan lain-lain. Yang paling penting, kebijakan pembangunan fisik dialokasikan sesuai pertimbangan urgenitas di suatu wilayah atau daerah tertentu, sehingga pembangunan merata.
Keuangan negara diatur oleh Baitul Mal dengan pos masing-masing. Demikian juga dengan pembangunan fisik, telah diatur dalam pos Baitul Mal tersebut. Adapun kesulitan yang terjadi dalam pemenuhannya, misalnya ketika di mana Baitul Mal mengalami defisit, negara tidak menyerahkan pengelolaan pembangunan kepada pihak lain (swasta/asing). Keuangan bisa dipenuhi dengan pinjaman utang yang tidak menjerat kedaulatan dan eksistensi negara, mengharamkan riba, dan bersegera mengembalikan di saat Baitul Mal kembali normal. Pinjaman ini bisa diperoleh dari umat yang aghniya (kaya) atau pun kepada pihak lain dengan perjanjian sesuai aturan syara’ dalam hal pinjaman.
Proses pembangunan fisik yang dibangun negara melibatkan masukan dari Majelis Umat atau Majelis Wilayah yang anggotanya berisi perwakilan orang-orang yang merupakan representasi umat. Mereka mewakili aspirasi warga muslim dan nonmuslim yang telah menjadi warga negara khilafah. Pendapat dari majelis ini bersifat mengikat bagi khalifah sebagai penyelenggara pemerintahan dan wajib dipenuhi kebutuhan tersebut dengan merujuk kepada pertimbangan para wali dan majelis wilayah tempat pelaksanaan pembangunan fisik. Sedangkan untuk tempat pembangunan, teknis, dan strategi pembangunan diserahkan kepada pendapat para ahli dan pakar di bidangnya.
Maka, pembangunan fisik yang jor-joran dalam Islam tidak akan terjadi. Semua benar-benar dipersiapkan dan dilaksanakan dalam pemenuhan kebutuhan publik, bukan selainnya. Kepentingan umatlah yang harus diutamakan dalam setiap kebijakan yang diterapkan oleh khalifah. Dengan begitu, negara terhindar dari jeratan yang dapat menggoyahkan eksistensi negara.
Ini semua dapat terwujud ketika negara menerapkan aturan Islam kaffah, menyeluruh dalam setiap sendi kehidupan sehingga terwujud kesejahteraan masyarakat di dalamnya, yaitu dalam bingkai khilafah Islamiyah. Wallahu'alam bishawab.
Oleh: Ageng Kartika, S. Farm.
Pemerhati Sosial