Tinta Media - Buntut panjang dari viralnya kasus “pemaksaan” penggunaan jilbab sebagai atribut sekolah di SMAN 1 Banguntapan, DI Yogyakarta, masih terus berjalan hingga kini. Menurut keterangan Sri Sultan HB X, sejauh ini kebijakan yang diambil oleh Pemda setempat adalah menonaktifkan kepsek, dua guru BK, dan satu wali kelas terkait dari jabatan hingga ada kepastian lebih lanjut (jogja.suara.com, 4/8/22).
Ketua ORI (Ombudsman Republik Indonesia) perwakilan DIY, Budhi Masturi, menyatakan bahwa dari hasil pemeriksaan yang dilakukan, ditemukan panduan yang disusun oleh sekolah terkait kebijakan penggunaan seragam dinilai berbeda penafsiran dengan regulasi yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 45 tahun 2014 tentang seragam sekolah. Budhi juga menegaskan jika memang ditemukan unsur kesengajaan untuk tak mematuhi Permendikbud tersebut, maka dapat dikenakan sanksi.
Sebagai negeri dengan mayoritas penduduk muslim, kasus ini dan mungkin juga kasus-kasus serupa memang terkesan paradoksial. Namun, inilah fakta pahit ketika kaum muslimin hidup di bawah naungan tata aturan yang tidak bersumber dari Rabbul alamin.
Sistem demokrasi-kapitalis dengan sekulerisme sebagai asasnya, meniscayakan kedaulatan membuat hukum dan menetapkan sanksi ada di tangan manusia. Benar salah, baik buruk diukur dengan standart akal dan ditimbang dengan takaran pendapat mayoritas.
Tak heran, jika tata kelola di bidang pendidikan pun merujuk kepada standart dan logika-logika manusia selaku pemilik kedaulan mutlak dalam sistem ini. Produk aturannya dinilai lebih sakral dan lebih layak untuk diagungkan. Lalu, atas dasar menghargai Hak Asasi Manusia (HAM), siapa pun yang berusaha menyuarakan kebaikan dan kebenaran yang bersumber dari Allah, ketika hal itu dianggap "menganggu" pihak lain, atau bertentangan dengan aturan yang mereka buat, maka harus dihentikan, dan jika perlu diberi sanksi.
Adanya kasus ini semakin menguatkan asumsi bahwa negeri muslim terbesar kita hari ini telah terjangkit virus islamophobia kronis. Kebanggaan umat terhadap simbol-simbol agama, termasuk penggunaan pakaian muslimah, mulai perlahan dikikis dengan pengarusutamaan opini yang terkesan menyudutkan Islam dan kaum muslimin.
Di sisi lain, gempuran budaya serba boleh, bahkan hingga muncul trend "my body my authority", semakin menunjukkan arah pendidikan hari ini. Jika bukan untuk menjadi alat penggerak roda perekonomian kapitalis melalui tenaga kerja murah maupun pangsa pasar, maka setidaknya mereka menjadi penjaga ideologi kapitalis sekaligus garda terdepan untuk menentang dakwah Islam kaffah.
Kontras dengan sistem pendidikan hari ini, dalam Islam tujuan pendidikan adalah untuk membentuk insan bertakwa yang memiliki kepribadian Islam, menguasai tsaqofah Islam, dan memiliki kecakapan terhadap sains dan teknologi.
Realisasi tujuan ini tentu saja butuh dukungan yang mumpuni dari seluruh elemen yang ada, mulai dari level keluarga yang memahami tarbiyah Islam, level masyarakat dengan suasana amar ma'ruf nahi munkar, serta level negara dari sisi kebijakan kurikulum hingga dukungan finansial yang kuat melalui regulasi politik ekonomi Islam.
Negara akan mengoptimalkan pengelolaan seluruh sumber daya alam demi kemaslahatan umat, termasuk untuk menyokong sektor pendidikan.
Tidakkah kita mengambil pelajaran wahai kaum muslimin, betapa musuh-musuh Allah dari dulu hingga hari ini senantiasa merongrong kita dari berbagai sisi, tak terkecuali sektor krusial sebuah peradaban bangsa, yakni pendidikan. Tidak pulakah kita rindu, masa tercetak generasi-generasi yang tidak hanya mahir berbicara dunia, tetapi juga takut kepada Rabbnya. Mereka mendedikasikan hidup dan keilmuannya demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin.
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah ..." (QS. Ali Imran : 110). Wallahu alam bishawab.
Oleh: Naning Prasdawati, S.Kep., Ns.
Sahabat Tinta Media