Tinta Media - Pemerintah memberlakukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada 14 Juli 2022 lalu untuk ditransisikan sampai tahun 2023 dan berlaku 1 Januari 2024 secara penuh. Staf khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prabowo menuturkan bahwa hal ini tidak lantas membuat setiap yang memiliki NIK wajib membayar pajak. Ini karena wajib pajak adalah orang Indonesia yang memiliki penghasilan sebesar 4,5 juta rupiah per bulan, jika kurang maka tak usah mendaftar jadi wajib pajak. Ia menegaskan bahwa peresmian NIK sebagai NPWP dimaksudkan untuk mempermudah administrasi antara masyarakat dan pemerintah.
Hal ini senada dengan pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani dalam acara sosialisasi UU Harmonisasi Perpajakan. Ia mengatakan bahwa pajak itu adalah prinsip keadilan, jadi jika belum punya income, tidak perlu bayar pajak.
Nyatanya, saat ini setiap orang dipaksa membayar pajak untuk pemenuhan kebutuhan hidup, baik memiliki penghasilan ataupun tidak. Semua barang dan layanan jasa saat ini telah dikenai pajak. Padahal, adanya kenaikan pungutan pajak membuat biaya hidup semakin tinggi di tengah impitan ekonomi.
Sontak hal ini menjadi pemicu aksi masyarakat membuat tagar stop bayar pajak yang viral di medsos. Saat rakyat menyuarakan ingin bebas dari pajak, pemerintah malah membuat aturan tidak boleh ada rakyat yang lolos dari pajak, melalui pengintegrasian identitas kependudukan menjadi kartu wajib pajak. Bahkan, Sri Mulyani memberikan komentar jika tidak mau bayar pajak berarti tidak mau Indonesia maju. Inilah bukti bahwa rezim saat ini bukan pengurus dan pemberi solusi bagi rakyat, tetapi 'rezim pemalak'.
Pajak dan utang memang menjadi pemasukan utama negeri yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis liberal seperti negeri kita ini. Ironi memang, karena kita hidup di negeri yang mendapat julukan gemah ripah loh jinawi, memiliki kekayaan alam yang sangat berlimpah ruah. Ternyata pemasukan negara dari sumber daya alam (SDA) sangatlah minim. Ini karena sistem saat ini melegalkan swastanisasi kekayaan alam, baik pada swasta lokal ataupun asing, bukan mengelola sendiri. Negara hanya memperoleh pemasukan dari pajak yang dikenai pada pengelolaan SDA tersebut sehingga pemasukannya tak seberapa.
Alhasil, rakyat menjadi objek penderita untuk menambah pendapatan kas negara dengan kewajiban membayar pajak walaupun mereka miskin. Mirisnya, rakyat tak banyak merasakan dampak positif dari pengelolaan pajak tersebut.
Hal ini jelas berbeda dengan sistem Islam atau khilafah yang mampu menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Khilafah mampu membiayai negara tanpa adanya pajak dan utang, yaitu dengan menerapkan sistem ekonomi Islam yang memiliki 12 pos pemasukan bagi negara yang disimpan di Baitul Mal. Di antaranya adalah dari pos fai dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos sedekah.
Negara akan menerapkan pembagian kepemilikan sesuai dengan syariat, yakni kepemilikan umum, negara, dan individu. Tambang merupakan kepemilikan umum sehingga tidak boleh diprivatisasi, apalagi diserahkan kepada asing. Ini akan menjadi pemasukan negara yang sangat berlimpah ruah.
Adapun salah satu pemasukan negara, yakni dharibah yang selalu disamakan dengan pajak, kenyataannya sangatlah berbeda. Dharibah hanya dipungut jika kas negara di Baitul Mal kosong atau tidak mencukupi, sementara ada pembiayaan wajib yang harus dipenuhi, jika tidak terpenuhi akan terjadi bahaya (dharar) pada kaum muslimin dan tidak boleh diwajibkan lebih dari kebutuhan untuk pembiayaan tersebut. Artinya, dharibah bersifat insidental dan hanya ditujukan kepada yang memenuhi dua syarat.
Pertama, hanya boleh diambil dari kaum muslim saja, tidak boleh dari kaum nonmuslim.
Kedua, hanya boleh diambil dari muslim yang kaya, yaitu yang mempunyai kelebihan harta setelah mencukupi kebutuhan pokok dan sekundernya secara sempurna, sesuai dengan standar hidup di wilayah tersebut. Jika tidak ada kelebihan harta, dharibah tidak akan dipungut darinya.
Dalam Islam, negara tidak menjadikan pajak sebagai alat untuk menekan pertumbuhan ekonomi. Bukan untuk menghalangi orang untuk kaya maupun untuk menambah pemasukan negara. Namun, pajak hanya dipungut untuk membiayai kebutuhan yang telah ditetapkan oleh Syariah Islam ketika tidak ada dana kas negara.
Negara tidak akan pernah memungut pajak tidak langsung seperti pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak jual beli, dan berbagai macam pajak apa pun seperti saat ini. Bahkan, tidak ada biaya apa pun dalam pelayanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan secara gratis dengan kualitas terbaik. Bahkan, tidak akan ada biaya administrasi seperti denda layanan listrik, PLN dan lainnya. Termasuk pembuatan SIM, KTP, KK dan surat menyurat.
Adanya pengaturan tersebut menjadikan negara yang menerapkan sistem Islam atau Khilafah berhasil mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat selama kurang lebih 13 abad masa pemerintahannya.
Wallahualam bi'shawab
Oleh: Thaqqiyuna Dewi, S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media