Mampukah Pajak Menyejahterakan Rakyat? - Tinta Media

Rabu, 10 Agustus 2022

Mampukah Pajak Menyejahterakan Rakyat?

Tinta Media - Beban kebutuhan rakyat saat ini makin meningkat. Minimnya mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan tersebut menjadi salah satu kendala tidak terjaminnya kesejahteraan hidup. Belum lagi dengan berbagai macam bentuk tagihan yang menyulitkan rakyat, mulai dari bahan pangan, kendaraan, dan juga tempat tinggal.

Lemahnya pengurusan negara atas jaminan hidup masyarakat menjadikan beban rakyat makin menumpuk. Alih-alih memikirkan terpenuhinya beban pungutan yang ditetapkan negara, bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan makan dan pendidikan saja cukup kesulitan. 

Ketika mendambakan kehidupan yang lebih layak, mereka harus bekerja keras demi memenuhi hal tersebut. Namun, tak banyak yang mampu mencapainya akibat tidak adanya kemudahan yang didapatkan masyarakat untuk mencukupi kehidupan mereka.

Maka suatu hal yang wajar ketika masyarakat mulai komplain terkait beratnya beban yang mereka tanggung. Salah satunya terkait dengan pajak, seperti yang diberitakan oleh detik.com tentang tagar stop bayar pajak yang ramai diperbincangkan di media sosial.

Munculnya tagar tersebut membuat Mentri Keuangan Sri Mulyani juga ikut merespon dengan ungkapan bahwa yang tidak ingin bayar pajak berarti tidak ingin melihat indonesia maju.

Hal ini diperkuat dengan apa yang dikutip dari Bisnis.com bahwa pemerintah resmi meluncurkan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berlaku mulai 14 Juli 2022. Penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut akan ditransisikan sampai dengan 2023, dan berlaku 1 Januari 2024 secara penuh.

Merespon dari kutipan di atas, kita mampu melihat bahwa pajak merupakan hal pokok yang dipegang oleh negara sebagai salah satu sarana yang memenuhi pemasukan negara. Sehingga, pajak menjadi suatu keharusan bagi negara untuk ditetapkan kepada rakyat walaupun tanggungan tersebut cukup membuat masyarakat kewalahan.

Dalam sistem ekonomi kapitalis, pajak dan utang memang merupakan sumber pemasukan negara. Maka, ketika pajak diberhentikan, perekonomian negara akan terhambat dan dikhawatirkan akan berakhir pada kesengsaraan rakyat.

Sistem ini ibarat buah simalakama. Ketika tetap dijalankan, akan berdampak besar bagi rakyat yang bahkan mampu menelan korban akibat besarnya tanggungan, sedangkan ketika dihentikan, maka negara akan mengalami krisis yang tajam karena tak memiliki pemasukan lain. 

Bagaikan hidup di lingkaran setan, tidak ada kenyamanan dan kesejahteraan yang dapat dirasakan selama kita masih menggunakan sistem ekonomi kapitalis ini. Hal ini karena asasnya hanya berpacu pada untung dan manfaat belaka, tanpa memandang apakah hal tersebut mampu menyejahterakan rakyat ataukah tidak. 

Masyarakat dalam sistem ini hanya akan menjumpai bahwa orang yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Ini adalah fenomena yang lumrah yang ditumbuhsuburkan oleh sistem kapitalisme.

Hal ini akan jauh berbeda ketika kita diatur oleh aturan Islam dalam menyelesaikan persoalan rakyat, termasuk masalah perekonomian. Ini karena sejatinya Islam dalam menerapkan sistem ekonominya memiliki pos-pos pemasukan yang jelas, tidak memandang sebatas untung dan manfaat belaka, melainkan akan memeberikan kesejahteraan dan pelayanan total kepada masyarakat berdasarkan aturan Islam, termasuk dalam hal ekonomi.

Adapun pos pemasukan dalam sistem ekonomi Islam tidak berdasarkan pada pajak dan utang. 

Pertama, pemasukannya berasal dari kepemilikan umum yang mencakup sumber daya alam secara keseluruhan yang akan dikelola oleh negara secara langsung dan hasilnya akan diperuntukkan demi kemaslahatan hidup masyarakat. 

Tidak seperti saat ini, kekayaan alam di negeri ini tidaklah dikelola langsung oleh negara, melainkan diserahkan kepada pihak swasta yang nantinya hasil dari pengelolaan itu tidak akan mengalir kepada rakyat, melainkan kembali ke kantong pribadi. 

Lemahnya pengelolaan negara atas aset tersebut menjadikan negeri ini bergantung kepada pihak asing dan tak mampu memberikan pelayanan yang terbaik kepada rakyat.

Kedua, pemasukannya berasal dari kepemilikan negara yang mencakup harta fai, jizyah, kharaj dan sebagainya yang berasal dari harta nonmuslim dan didapatkan secara damai tanpa melalui peperangan. Dari harta ini, negara akan memperuntukkannya demi kemaslahatan bersama. Harta tersebut tidak dipergunakan untuk urusan kepentingan segelintir elit belaka.

Ketiga, pemasukannya berasal dari harta zakat yang nanti akan terkumpul pada baitul mal yang merupakan tempat terkumpulnya harta kaum muslimin. Peruntukkannya pada pemenuhan kebutuhan masyarakat yang tercakup dalam delapan asnaf.

Inilah salah satu peran negara didalam Islam untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat dengan pelayanan langsung. Dengan begitu, rakyat tak akan merasakan beban kehidupan yang memusingkan. Negara harusnya tidak menjadi kaki tangan atau fasilitator langgengnya privatisasi asing atas seluruh kekayaan negeri yang tidak berujung pada pelayanan atas masyarakat. 

Inilah cara Islam untuk menuntaskan masalah perekonomian yang menjadi polemik di negeri ini. Namun, hal tersebut tidak akan bisa kita rasakan selama kita masih bergantung pada sistem kapitalis sekuler yang senantiasa menjauhkan urusan agama dalam kehidupan. Sejatinya, Islam bukan hanya sekadar agama warisan belaka, tetapi juga merupakan pandangan hidup yang nantinya akan membimbing individu, masyarakat, dan negara untuk tetap berada pada koridor yang di tetapkan oleh Allah Swt.

Wallahua'lam bissawab.

Oleh: Erna Nuri Widiastuti, S.Pd.
Sahabat Tinta Media

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :