Tinta Media - Biaya pendidikan mahal adalah hal yang tidak asing bagi masyarakat. Bahkan, seolah masyarakat dipaksa untuk menerima kondisi ini. Kita bisa melihat bagaimana para orang tua rela bekerja keras membanting tulang untuk melihat anak mereka menempuh pendidikan setinggi mungkin.
Beberapa waktu yang lalu media sosial diramaikan dengan pemberitaan tentang tingginya biaya masuk universitas melalui seleksi mandiri. Salah satu akun di twitter mengunggah foto berisi persyaratan Jaminan Kemampuan Keuangan (JKK) bagi calon mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB). Diketahui bahwa JKK tersebut mencantumkan rekening orang tua atau wali dengan nominal minimum 100 juta rupiah. Meskipun di perguruan tinggi menyediakan beasiswa, tetapi jumlahnya tidak sebanyak jalur mandiri yang sebagian universitas mematok 50 persen kuota.
Hal ini pun diakui oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi, bahwa memang biaya kuliah di tanah air saat ini masih terbilang mahal. Dede Yusuf mengungkapkan, banyak orang tua tidak melanjutkan studi kuliah sang anak lantaran benturan biaya. Ia pun mengakui bahwa biaya mahal tersebut tidak cukup tertutupi dengan sejumlah program pemerintah, seperti beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP). Akhirnya, banyak orang tua yang enggan menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi.
Adapun penyebab mahalnya biaya masuk jalur mandiri di universitas disampaikan oleh Konsultan Pendidikan dan Karier Ina Liem, yaitu karena beberapa universitas negeri tengah didorong untuk berbadan hukum. Ia mengatakan sejak sebelum pandemi bahwa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memang didorong untuk berbadan hukum supaya bisa menerima dana dari masyarakat, agar bisa lebih berkembang.
Hal ini justru menjadikan beban pembiayaan PT semakin berat karena komersialisasi pendidikan. Pasalnya, dalam sistem kapitalisme neoliberal, pendidikan dianggap sebagai komoditas ekonomi. Hal ini sebagaimana tertuang dalam pasal 4 ayat (2) huruf d UU Perdagangan, bahwa jasa pendidikan menjadi salah satu komoditas yang dapat diperdagangkan, walaupun pengaturan jasa pendidikan ini tidak dapat dilepaskan dari UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, serta UU nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi atau UU PT. Namun demikian, potensi komersialisasi pendidikan sudah terbuka lebar.
Selain itu, salah satu konsekuensi tata kelola negara kapitalistik menjadikan negara melepaskan tanggung jawabnya dalam mengurusi urusan rakyat, termasuk dalam hal pembiayaan pendidikan tinggi. Paradigma good governance dan reinventing government mengharuskan negara lepas tangan dari kewajiban utamanya sebagai pelayan rakyat.
Ditambah lagi, di kehidupan kapitalistik saat ini beban pemenuhan kebutuhan hidup yang ditanggungkan pada penghasilan rakyat semakin besar. Seperti, pajak yang melangit. Harga bahan pokok, BBM, gas, dan listrik terus melonjak. Semua kondisi ini jelas akan mendorong pada semakin berkurangnya pandangan terhadap perguruan tinggi sebagai sumber ilmu dan penghasil para ilmuwan, bergeser menjadi pandangan materialistik.
Mahalnya biaya pendidikan bisa diselesaikan jika negara menerapkan aturan Islam secara kaffah, yaitu menerapkan hukum syariat baik dalam tatanan politik maupun ekonomi.
Dalam tatanan politik, negara berperan secara tegas sebagai penanggung jawab dan pelaksana langsung pengelolaan pendidikan. Negara tidak akan melemparkan tanggung jawab kepada swasta (korporasi) ataupun warga masyarakat seperti yang terjadi saat ini. Jikapun mereka hendak terlibat, keterlibatan mereka hanyalah sebagai amal saleh yang tidak sampai mengambil alih peran negara.
Adapun secara ekonomi, negara menerapkan sistem ekonomi Islam yang akan mendapatkan sumber-sumber pemasukan negara bagi pembiayaan pendidikan. Biaya pendidikan tersebut diperoleh dari pengelolaan kepemilikan umum dan kepemilikan negara (fai dan kharaj). Semua pembiayaan ini diatur melalui mekanisme baitulmal.
Pendidikan, termasuk pendidikan tinggi merupakan kebutuhan primer masyarakat yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara. Maka, negara akan memastikan bahwa seluruh rakyat mendapatkan pelayanan tersebut baik miskin atau kaya, pintar atau tidak, muslim atau non-muslim. Semuanya dilayani dan diberi kemudahan untuk memperolehnya. Oleh sebab itu negara akan memberikan anggaran berapa pun kebutuhannya.
Negara harus mengupayakan melalui berbagai jalur sesuai tuntunan syariat. Kemampuan negara membiayai sektor pendidikan tinggi juga akan disertai peningkatan kualitasnya. Sebab, tata kelola pendidikan harus berdasarkan akidah Islam. Tujuan pendidikan, kurikulum, hingga metode implementasinya akan terjamin kebenarannya. Dengan sistem ini, akan terwujud sumber daya manusia yang berkualitas. Hal ini tidak perlu diragukan lagi.
Sejarah telah mencatat kegemilangan pendidikan Islam yang pernah terwujud. Peradaban Islam terbukti mampu menghasilkan ilmuwan-ilmuwan yang handal. Bahkan, hasil penemuan mereka di masa lalu masih kita rasakan pengaruhnya hingga hari ini.
Melalui pendidikan Islam, orientasi pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian Islam dan mewujudkan kemaslahatan di tengah-tengah masyarakat. Dengan begitu, tidak ada lagi yang berpikir bahwa tujuan pendidikan hanyalah untuk mencari uang, karena untuk menempuh pendidikan pun butuh modal sebagaimana bisnis.
Pandangan ini akan ditepis melalui penerapan pendidikan Islam dalam institusi Khilafah Islamiyah. Dalam khilafah, bukan hal yang mustahil untuk mendapatkan pendidikan terbaik bagi semua warganya.
Oleh: Gusti Nurhizaziah
Aktivis Muslimah