Tinta Media - Bangkrut. Begitulah potret negara Sri Lanka. Krisis ekonomi di negara yang terletak di Asia Selatan tersebut cukup membuat negara-negara Asia lainnya ketar-ketir, tak terkecuali Indonesia. Sri Lanka disebut mengalami kebangkrutan setelah gagal membayar utang luar negeri sehingga menyebabkan kemiskinan dan kemerosotan tingkat ekonomi rakyatnya.
Menurut Associated Press, krisis ekonomi tersebut disebabkan karena mata uang Sri Lanka terjun bebas hingga 80 persen. Ini membuat impor lebih mahal dan memperburuk inflasi yang sudah tidak terkendali hingga naik mencapai 57 persen (Tribunnews.com, 13/07/2022).
Sementara, presiden Sri Lanka hidup bergelimang kemewahan. Tak heran jika rakyatnya menuntut Gotabaya Rajapaksa, Presiden Sri Lanka untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Sebagai sebuah lembaga besar, negara memiliki tanggung jawab yang besar karena di dalamnya hidup berjuta-juta penduduk yang bergantung padanya. Oleh karena itu, negara amat membutuhkan sistem yang kuat agar lembaga ini tetap berdiri tegak di tengah gempuran berbagai masalah, baik dari dalam maupun luar negeri.
Problem Sri Lanka merupakan pelajaran berharga bagi negara dunia ketiga lainnya agar tidak terjerumus pada jebakan utang yang merugikan negara dan menyengsarakan rakyat.
Menanggapi krisis di Sri Lanka, Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani menyatakan bahwa Indonesia memiliki ketahan ekonomi yang lebih baik daripada Sri Lanka sehingga dapat terhindar dari kebangkrutan. Hal tersebut disampaikan untuk meredam keresahan rakyat akan nasib negara yang juga memiliki utang luar negeri. Namun, ini tidak lantas membuat masyarakat lega, mengingat ancaman krisis bisa saja melanda Indonesia jika mengalami kegagalan membayar utang. Lalu bagaimana seharusnya agar terbebas dari debt trap?
Ekonomi Kapitalisme Akar Masalahnya, Islam Solusinya
Negara Indonesia yang masih menerapkan ekonomi yang berasaskan kapitalisme tentu saja akan mengalami konsekuensi yang sama sebagaimana Sri Lanka. Tercatat bahwa utang luar negeri Indonesia telah mencapai 409,5 miliar dollar AS pada April 2022 (bi.go.id, 15/06/2022). Meski dinilai Bank Indonesia bahwa utang LN Indonesia mengalami penurunan, tetapi kondisi demikian belum bisa dikatakan aman dari bahaya krisis, mengingat jumlah utang sangat tinggi dibarengi dengan kesenjangan ekonomi rakyat yang signifikan akibat harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi. Tentu saja hal ini tidak akan membuat kita tenang karena lonceng krisis ekonomi berpotensi untuk berdentang di Indonesia.
Apabila Indonesia masih mempraktikkan ekonomi kapitalis yang bertumpu pada standar IMF, maka utang Indonesia selamanya akan eksis dan bunga atau riba akan terus ditanggung oleh rakyat. Sudahlah utang negara tak berujung, ditambah lagi dengan dosa besar yang harus dipikul negara menjadi kenyataan pahit bagi negeri mayoritas muslim ini. Lalu bagaimana mungkin negeri yang kaya akan sumber daya alam ini mendapatkan keberkahan dari langit dan bumi?
Oleh karena itu, sudah saatnya negara-negara di Asia Pasifik, termasuk Indonesia memikirkan sistem ekonomi lain yang menggantikan hegemoni ekonomi kapitalis penyebab kesengsaraan warga dunia, yakni sistem ekonomi Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyah.
Dalam sejarah peradaban Islam, ekonomi yang menerapkan asas Syariat Islam terbukti memiliki ketahanan terhadap krisis akibat kekuatan baitul maal yang stabil dalam memenuhi kebutuhan rakyat, bahkan sampai pada level individu. Dengan demikian, rakyat mampu membeli kebutuhan pokoknya baik sandang, pangan, papan, dan energi yang vital untuk kehidupan sehari-hari sehingga jauh dari ancaman krisis ekonomi.
Oleh: Risa Hanifah
Sahabat Tinta Media