Liberalisasi Pangkal Krisis Generasi - Tinta Media

Rabu, 03 Agustus 2022

Liberalisasi Pangkal Krisis Generasi


Tinta Media - Muhammad Al-Fatih, Shalahuddin Al-Ayyubi, Thariq bin Ziyad, serta sederet pemuda muslim lainnya yang hidup dalam sistem Islam adalah bukti optimalisasi dan kontribusi besar pemuda pada perubahan. Muhammad Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel, Shalahuddin Al-Ayyubi mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin, dan Thariq bin Ziyad membebaskan tanah Cordoba. Mereka semua berperan membawa perubahan yang lebih baik untuk dunia.

Adapun sosok pemuda muslimah yang tak kalah luar biasa adalah Fatimah Al-Fihri. Pendiri universitas pertama dan tertua di dunia, yaitu Universitas Al-Qarawiyyin di Fez, Maroko. Universitas yang berawal dari mengembalikan fungsi masjid sebagai pusat aktivitas kaum muslimin, termasuk belajar-mengajar, kala itu mampu menyaingi Cordoba sebagai pusat peradaban negara Islam (Daulah Islamiyyah).

Pemuda adalah harta karun tak ternilai dengan potensi hebatnya. Allah Swt. bahkan menyebut kekuatan pemuda dalam firman-Nya di surat Ar-Ruum ayat 54, yang artinya:

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”

Namun sayang, kekuatan luar biasa pemuda tersebut telah direnggut dan dibajak oleh sistem rusak bernama sekularisme. Sebuah sistem yang memisahkan agama dari kehidupan ini telah melahirkan sistem cacat liberalisme, suatu paham yang mengusung konsep kebebasan dalam menjalani kehidupan dan menolak adanya aturan untuk mengatur hidupnya.

Upaya untuk menerapkan paham liberal, atau disebut sebagai liberalisasi, telah berhasil membajak dan merusak generasi. Faktanya dapat dicermati melalui berbagai fenomena yang sedang hangat dan menjadi buah bibir masyarakat.
 
Dimulai dari kasus bullying ekstrem dan di luar nalar yang terjadi di Tasikmalaya, F diduga mengalami depresi berat, akibat perundungan yang ia terima dari teman-temannya. Sebelumnya, seorang anak kelas 5 SD mengalami perundungan oleh teman sekolahnya. Ia dipaksa melakukan hubungan badan dengan seekor kucing dan direkam menggunakan kamera ponsel. Rekaman adegan itu kemudian disebarluaskan ke teman-teman sekolah korban. Korban pun mengalami depresi berat karena perundungan yang dilakukan para pelaku hingga akhirnya meninggal dunia. (kompas.com/22072022)

Isu terkini yang tak kalah heboh adalah fenomena Citayam Fashion Week (CFW), sebuah acara yang “katanya” mendukung kreativitas pemuda dalam berpenampilan. Anak bangsa berlomba-lomba berpakaian apik lalu berlenggak-lenggok di jalanan ibu kota untuk mendapatkan validasi kreativitasnya dari orang lain. Malangnya, acara ini menjadi ajang generasi menanggalkan kemaluan dan kehormatannya.

Atas nama kreativitas, laki-laki berpenampilan layaknya perempuan ikut memadati CFW. Sedang mereka yang perempuan, membuka auratnya dan mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan perintah dan larangan-Nya.

Peristiwa di atas tentu hanya sedikit dari fakta lapangan akibat liberalisasi yang menerpa generasi. Bila dibiarkan, problematika serupa bahkan berbeda akan muncul tiada henti. Sebab kerusakan ini adalah kerusakan sistemik, yang berasal dari penerapan sistem sekuler-liberal oleh negara.

Negara hanya mampu memberi peringatan, membuat kebijakan, serta mengeluarkan pernyataan normatif, tetapi dilandasi oleh asas kebebasan. Lalu bagaimana cara mengatasinya bila kebebasan masih menjadi pijakan dalam menetapkan regulasi negara?

Sejatinya, seluruh persoalan berangkat dari paradigma penguasa, mulai dari visi, misi, dan fungsi dalam bernegara. Demikian juga dengan optimalisasi potensi pemuda. Semuanya bergantung pada bagaimana pandangan penguasa terhadap potensi pemuda, serta menyadari tanggung jawab yang diemban terhadap pemuda dan rakyat secara keseluruhan.

Bila paradigma negara berlandaskan pada sistem sekuler-liberal, yang terjadi adalah seperti hari ini. Generasi mengalami krisis. Potensinya dibajak dan dirusak. Pemuda yang semestinya menjadi agen perubahan dunia malah berputar arah menjadi generasi pembebek peradaban Barat. Hidupnya bebas dari aturan dan meniadakan agama dalam menjadi kehidupan sehari-hari.

Berkaca pada sejarah di masa lalu, sungguh berbeda bukan, bagaimana pemuda yang hidup di bawah sistem Islam dan sistem sekuler-liberal?

Mereka yang hidup di bawah naungan Daulah Islam akan lahir menjadi pemimpin, negarawan, ilmuwan, serta peran besar lainnya dalam mengarahkan dunia kepada sesuatu yang lebih baik dengan Islam. Sedang pemuda hari ini, hidupnya tidak terarah, potensi besarnya tergerus, dan peran pembawa perubahan tidak lagi menjadi cita-cita tingginya. Wallahu a’lam bishshawaab.

Oleh: Azizah Nur Hidayah
Aktivis Dakwah


Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :