Tinta Media - Pemerintah berencana menaikkan harga BBM dengan sangat fantastis. Viral di berbagai medsos skema kenaikan BBM Pertalite bakal menjadi Rp 10.000. Memang masih tanda tanya. Berbarengan dengan itu, sebahagian muslim bernarasi tentang rencana kenaikan harga BBM, sebagai sebuah qadha (ketetapan) Allah SWT yang harus diterima apa adanya dengan sikap sabar.
Menyoal itu, artikel ini bermaksud memberikan pendapat yang berimbang pada perspektif berbeda tentang rencana kenaikan harga apakah mesti dihadapi dengan sikap sabar seluruh kaum muslimin Indonesia?
Untuk melihat duduk persoalannya, dalam perspektif Islam, seharusnya kita mencermati dahulu fakta hukumnya kemudian bisa menarik kesimpulan amal yang harus dilakukan. Artinya, seorang muslim harusnya tidak boleh mencampuradukkan dua fakta berbeda lantas mengambil kesimpulan amal yang sama. Sikap sabar memang merupakan amal yang harus dimiliki oleh seorang muslim yang mengedepankan ketakwaan. Tetapi mendudukkan sikap sabar tentu saja harus proporsional sesuai dengan fakta-fakta yang dihadapi kaum muslimin.
Jihad misalnya, merupakan kewajiban syariah yang sudah ditetapkan secara pasti, tidak boleh ada penafsiran lain. Maka fakta kaum muslimin Palestina yang wilayahnya diduduki secara militer oleh tentara Israel, Yahudi laknatullah, sudah menjadi kewajiban kaum muslimin Palestina untuk mengangkat senjata, melakukan jihad guna mengusir tentara Yahudi laknatullah. Bahkan semua ulama sepakat, haram hukumnya kaum muslimin di Palestina, duduk diam berpangku tangan, sembari bersabar menerima kondisi ditindas secara militer oleh tentara Yahudi Israel Laknatullah.
Kembali kesoal rencana kenaikan BBM oleh pemerintah. Sebahagian kaum muslimin menyangka kondisi tersebut adalah kondisi sama halnya dengan fenomena naiknya harga barang pada masa Baginda Rasulullah SAW, sehingga baginda Nabi menolak usulan sahabat untuk menetapkan harga barang sebab dalam kondisi harga-harga barang di pasar merangkak naik.
Jelas, kita tidak boleh menyamakan fakta rencana kenaikan BBM oleh pemerintah dengan kondisi paceklik harga pasar. Sekali lagi merupakan dua fakta berbeda. Kenaikan harga barang di pasaran adalah fakta tidak seimbangnya antara permintaan konsumen dengan distribusi barang di pasaran. Paceklik naiknya harga barang di pasar, murni merupakan sebuah kondisi pasar yang mana merupakan terjadinya ketidakseimbangan antara besarnya permintaan konsumen dengan terbatasnya ketersediaan barang, sehingga ketetapan Allah SWT berlaku, terjadilah paceklik naiknya harga barang yang tidak bisa dihindarkan. Pada fakta hukum demikian, negara atau pemerintah tidak boleh melakukan langkah pematokan harga. Sebagaimana hjadits baginda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang menetapkan harga, yang menyempitkan dan melapangkan rezeki, Sang Pemberi rezeki. Sementara aku berharap bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku disebabkan kezalimanku dalam urusan darah maupun harta.” (HR. Ahmad 12591, Abu Daud 3451, Turmudzi 1314, Ibnu Majah 2200, dan dishahihkan Al-Albani).
Lantas bagaimana dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM? Untuk menjawabnya, kita harus memahami keberadaan BBM dalam tinjauan Syariah, sebagaimana dijelaskan Syeikh Allamah Taqiyuddin An Nabhani dalam dua master pice kitab beliuau, yaitu nizahmul iqthishodiy dan al-Amwal fi Daulah.
Dalam penjelasan dua kitab tersebut, BBM pada prinsipnya bukanlah barang komoditas yang patut dikomersialkan, sama seperti barang komoditas lainnya di pasar-pasar konvensional pada umumnya. Kebanyakan kaum muslimin menyangka bahwa BBM dan sejenisnya masuk kategori barang-barang yang dapat dikomersilkan di pasar-pasar konvensional. Padahal pandangan ini keliru besar. Keberadaan BBM seperti minyak tanah, bensin, pertalite, pertamax, gas elpiji, dan sejenis itu, dalam perspektif fiqih menurut Sheikh Allamah Taqiyuddin An Nabhani, masuk kategori barang tambang yang jumlahnya sangat banyak dan tidak terbatas sehingga komoditas BBM dan sejenisnya itu, masuk kategori kepemilikan umum (al-milkiyatul Aam), terlarang bahkan haram untuk menjadikannya sebagai barang komoditas yang diperdagangkan secara bebas layaknya barang komoditas lainnya di tengah masyarakat.
Sebab BBM merupakan bagian dari kepemilikan umum, maka perspektif syariah melarang keras diperjualbelikan secara komersil. Ia adalah milik umat sebagaimana sabda Baginda Rasulullah: Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
BBM dalam konteks hadits tersebut, dapat dianalogikan sebagai api atau energi yang digunakan oleh umat manusia, sebagai komoditas yang hanya digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, tidak untuk dikomersialisasikan apalagi dikuasai oleh geng oligarki atas nama perusahaan swasta baik domestik maupun asing. Negara berkewajiban menjadi fasilitator untuk mendistribusikan BBM kepada seluruh masyarakat sebisa mungkin baik secara gratis ataupun dengan harga yang murah.
Berbeda dengan konsep kepemilikan ekonomi menurut cara pandang ekonomi kapitalisme, yang bertentangan dengan syariat Islam. Kapitalisme berpandangan bahwa semua barang yang memiliki nilai keekonomian, adalah diserahkan kepada harga pasar, dengan demikian setiap individu, konglomerasi, dan oligarki dapat menguasainya dengan cara bersaing secara bebas dalam mekanisme pasar. Demikian halnya BBM dalam pandangan ekonomi kapitalisme, ia merupakan komoditas yang mestinya juga dapat dikomersialisasikan. Sehingga negara yang bertumpu kepada ekonomi kapitalisme, meniscayakan sebagai komoditas yang harus didistribusikan kepada rakyat dengan mekanisme jual beli memlalui motif untung dan rugi. Konsep ekonomi kapitalistik inilah yang menimbulkan ketidakadilan ekonomi serta kezhaliman di tengah umat.
Atas dasar pandangan demikian, perlu diluruskan bahwa keberadaan BBM merupakan milik umum, tentu saja sangat dilarang bagi pemerintah untuk berjual beli dengan rakyatnya. Sehingga, rencana menaikkan harga BBM adalah bentuk kezaliman pemerintah terhadap rakyatnya. Ini harus dicegah. Tidak boleh seorang muslim berdiam diri dengan kezaliman pemerintah terhadap rakyatnya dengan alasan sabar. Proporsi sabar dalam konteks ini bukan pada tempatnya. Letak kesabaran paling tepat dalam konteks demikian, adalah bersabar menyampaikan dakwah kepada pemerintah bahwa tindakan rencana menaikkan harga BBM adalah zalim serta merupakan pelanggaran syariah. Allah berfirman dalam Quran Surah al-Ashr “… saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya tetap di atas kesabaran”.
Memang benar Allah SWT telah menetapkan kadar rezeki seseorang, tidak akan bergeser, meskipun harga-harga pangan naik. Harus diingat bahwa tidak ada kaitannya antara kadar rezeki seseorang dengan kewajiban menyampaikan dakwah ketika terjadi kezaliman.
Adapun Firman Allah: “Perintahkahlah keluargamu untuk shalat dan bersabarlah dalam menjaga shalat. Aku tidak meminta rizki darimu, Aku yang akan memberikan rizki kepadamu. Akibat baik untuk orang yang bertaqwa.” (QS. Thaha: 132). Ayat ini konteksnya berbeda, tidak bisa merupakan cocoklogi dengan kesabaran seorang muslim terkait kenaikan harga BBM. Ayat ini, sejatinya memerintahkan sabar untuk menjaga shalat dalam kondisi apapun, sedangkan ucapan Aku tidak meminta rizki darimu, beberapa ahli tafsir menyebutkan bahwa itu merupakan kalimat seseorang yang sedang menyerukan dakwah Islam, dengan tidak mengharapkan imbalan dunia apapun.
Kata kuncinya bahwa rencana menaikkan harga BBM, merupakan bentuk pelanggaran syariah yang berimplikasi kezaliman. Harus dicegah dan disuarakan. Penulis sangat khawatir, jangan sampai mendiamkan kezaliman dengan alasan sabar, berdampak Allah SWT nanti meminta pertanggungjawaban seorang muslim ketika membiarkan kemungkaran. Baginda Nabi SAW menyampaikan pesan: Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 49]
Oleh: Abu Muhammad Asyraf Mikhail Othello
Indonesia Justice Monitor