Tinta Media - Kasus kekerasan pada anak terus bergulir dan bisa menimpa siapa saja. Seperti yang terjadi di Jember, kasus kekerasan anak tidak kunjung usai. Padahal, kasus semacam ini bisa diselesaikan dengan cepat jika negara bertindak.
Berdasarkan rekap kasus Unit PPA/Perlindungan Perempuan dan Anak Satreskrim Polres Jember, di Tahun 2020 ada 135 kasus yang ditangani ke Polres Jember, kemudian Tahun 2021 sebanyak 84 kasus, dan mulai Januari hingga Juli 2022 ini sudah 41 kasus. Tribunnews.com (10/8/2022).
Kenapa harus negara? Karena negara punya kewenangan luas dan perangkat yang lengkap untuk menutup, bahkan sebelum kejadian, yaitu pencegahan. Kasus kekerasan itu bisa berupa pencabulan, pemerkosaan, kekerasan fisik, penelantaran anak, kekerasan verbal, seperti makian, bulian, dan kata-kata kasar.
Namun, sistem sekuler kapitalis yang diterapkan saat ini justru menjadi sebab masalah. Secara fitrah, manusia mengakui Tuhan/Allah, tetapi aturan Allah tidak dipakai dalam mengatur kehidupan, sehingga manusia lepas kendali, bahkan sering salah dalam mengambil sikap. Bisa disimpulkan, kekerasan yang menimpa anak adalah akibat dari sistem yang menyalahi fitrah.
Sejatinya manusia tahu kalau kekerasan adalah tindakan salah. Namun, mereka terpaksa melakukannya. Misalnya penelantaran anak, bisa disebabkan karena kondisi ekonomi yang sulit sehingga orang tua sibuk bekerja seharian. Dalam hal ini, tentu anak menjadi korban.
Kondisi tersebut diperparah dengan rendahnya pendidikan karena biai sekolah mahal. Terbatasnya ilmu bisa jadi menambah persoalan yang ada. Ditambah dengan pergaulan bebas di tengah masyarakat, seakan membenarkan tindakan kekerasan, yang penting tidak menganggu orang lain. Semua itu bagai benang kusut yang sulit ditemukan titik ujungnya.
Kasus demi kasus akan bermunculan jika negara tidak cepat bertindak. Karena itu, ada beberapa hal yang seharusnya dilakukan negara, antara lain:
Pertama, menutup konten media yang mengarah pada kasus kekerasan pada anak, baik tayangan game, kartun, sinetron, film dan sebagainya. Hal ini karena tayangan media yang dilihat dalam jangka waktu yang lama, secara tidak langsung mendorong manusia melakukannya.
Kedua, mengedukasi masyarakat dengan iman dan ilmu. Iman menjadi benteng utama agar manusia takut berbuat salah, apalagi dosa. Ditopang dengan ilmu, maka aktivitasnya akan terikat dengan standar benar atau salah, bukan keumuman atau kewajaran karena banyak yang melakukan.
Artinya, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar akan berjalan beriringan, agar manusia tahu bahwa kekerasan adalah dosa besar. Namun, sistem sekuler kapitalis saat ini justru menjauhkan kita dari sikap saling mengingatkan, hanya karena takut melanggar hak asasi manusia. Maka jelas bahwa HAM adalah ide batil yang rusak dan merusak.
Ketiga, memberikan pelayanan dasar rakyat, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, keamanan, dan pendidikan dengan murah hingga gratis pada tiap individu. Ketika kebutuhan dasar terpenuhi, maka manusia bisa berpikir jernih untuk mencari solusi yang benar. Kehidupan yang nyaman memudahkan manusia untuk diajak melakukan kebaikan. Sebaliknya hari ini ketika negara abai terhadap pemenuhan masyarakat, mereka sulit dinasihati karena hatinya keras. Yang dipikirkan oleh masyarakat hanya seputar bagaimana mendapatkan uang dan uang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kezaliman pemimpin pasti berimbas pada karakter rakyatnya.
Keeempat, memberi sanksi yang tegas terhadap pelaku kekerasan. Hukuman yang paling adil adalah dari lslam, sebab berasal dari Pencipta manusia yang pasti mengandung kemaslahatan bagi semua. Sanksi yang diberikan harus memberikan efek jera agar yang lain berpikir ratusan kali, bahkan takut jika melakukannya.
Pada kekerasan yang melukai, misal hidung patah maka diberlakukan sama yaitu mematahkan hidung pelaku. Dalam kasus pemerkosaan, maka dihukum rajam/dilempari batu oleh masyarakat sampai mati jika pelakunya sudah menikah, dan hukuman jilid/cambuk 100 kali jika pelaku belum menikah. Pelaksanaan hukuman dilakukan di tempat terbuka agar masyarakat menyaksikan sehingga menimbulkan efek jera (/jawazir).
Ketika sanksi sudah dilaksanakan di dunia, maka bisa menggugurkan hukuman di akhirat kelak (jawabir).
Dengan pemberlakuan hukuman yang sesuai syariat tersebut, pasti kasus kekerasan akan segera tuntas. Pelaksana sanksi adalah pemimpin atau bisa diwakilkan kepada hakim yang ditunjuk. Tidak ada banding karena keputusan yang dikeluarkan oleh seorang hakim bersifat mengikat dan tidak bisa dibatalkan oleh siapa pun. (Nidlomul Hukm Fil lslam, Abdul Qodim Zallum maret 2002).
Pelaksanaan hukuman tersebut jelas akan menjaga jiwa dan kehormatan manusia, muslim maupun nonmuslim yang mau hidup di bawah aturan syariat. Semua itu bisa dirasakan ketika sistem lslam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Jelas, penerapan sistem kapitalis hari ini telah gagal menjadikan manusia hidup tenang, bahkan yang ada mereka mudah terjerumus pada kerusakan. Allahu a’lam.
Oleh: Umi Hanif
Sahabat Tinta Media