Tinta Media - Merespon kebakaran hutan yang terus berulang terjadi di Indonesia, Pengamat Kebijakan Publik dari Indonesian Justice Monitor (IJM) Dr. Erwin Permana mengatakan, karena kekeliruan paradigma.
“Kebakaran hutan terus berulang karena paradigma pengelolaan hutan Indonesia yang keliru . Paradigma pengelolaan hutan di Indonesia kapitalistik liberal, negara menyerahkan kepemilikan hutan kepada perusahaan-perusahaan pemilik konsesi pengelolaan hutan,” ungkapnya di Kabar Petang: Adili Korporasi Pembakar Hutan dan Lahan, Rabu (3/8/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.
Perusahaan pemilik konsesi ini, kata Erwin, melihat hutan kaya akan kayu, kayu itu ditebang kemudian dijual, selanjutnya dilakukan pembersihan dengan cara dibakar dan setalah itu ditanami sawit.
“Keinginan para perusahaan konsesi meraih untung sebesar-besarnya, akhirnya pembakaran hutan menjadi pilihan, karena biayanya jauh lebih murah dibanding dengan cara lain," ungkap Erwin.
Tidak berhenti di situ, lanjut Erwin, perusahaan-perusahaan konsesi itu ketika sudah memiliki izin konsesi, mereka memperluas lahan konsesinya dengan cara menyogok para pejabat. “Proses berikutnya mereka membakar lagi, membakar lagi,” kesal Erwin.
Rugi
Karena itu, ungkap Erwin, berdasar catatan Bank Dunia, kerugian akibat kebakaran hutan mencapai 72 triliun rupiah setiap tahun. “Artinya dalam waktu 10 tahun kerugian kita mencapai 720 triliun yang berbentuk rupiah, belum lagi kerugian lingkungan, kerugian hidrolog, kerugian kesehatan dan lain-lainnya,” beber Erwin.
Kerugian ini semakin menggila, tambah Erwin, setelah disahkannya undang-undang Omnibus Law yang semakin memperburuk lingkungan.
Erwin mengatakan, Indonesia memang punya instrumen hukum semisal undang-undang no 19 tahun 1999 untuk pelaku pembakaran. “Pertanyaannya adakah catatan perusahaan-perusahaan besar itu mereka diseret ke meja hijau? Selama ini enggak pernah ada,” sesal Erwin.
Dalam sistem demokrasi, jelasnya, terdapat kongkalingkong antara penguasa dan pengusaha baik di pusat maupun daerah. “Bagi kontestan yang maju, berani menyentuh mereka, siap-siap tidak mendapatkan dukungan cuan,” cetusnya.
Korup
Faktor lain yang memperburuk kebakaran hutan adalah budaya korup, tambah Erwin. “Sektor kehutanan ini dikenal sebagai sektor yang tinggi dan rawan dengan korupsi. Mulai dari perizinan, pengawasan kehutanannya, pengadaan bibit, angka korupsinya tinggi,” imbuhnya.
Jadi, simpul Erwin, kerusakan hutan ini akibat penerapan sistem kapitalisme ditambah dengan iklim politik demokrasi sehingga tidak bisa berbuat apa-apa. “Instrumen hukum pada akhirnya hanya menjadi macan kertas yang tidak ada dampak signifikan di lapangan,” simpulnya.
Solusi
Erwin mengatakan, problem kebakaran hutan ini problem ideologis maka solusinya juga harus ideologis yakni Islam.
“Dalam Islam hutan itu masuk dalam kategori kepemilikan umum. Kepemilikan umum wajib dikelola oleh negara yang hasilnya untukseluruh masyarakat siapa pun yang ada di negara itu,” jelasnya.
Menurut Erwin, sebuah kemaksiatan besar jika negara menyerahkan hutan kepada individu atau swasta.
“Dengan Islamlah pengelolaan sumber daya hutan akan dirasakan dampaknya bagi masyarakat sehingga rahmat semesta bisa dirasakan,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun