Tinta Media - Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan, “Bila ada satu peristiwa terdapat dua dalil yang sama-sama layak, yang satu menunjukkan hukum haram misalnya, sementara satu lagi mubah, maka saat itu perlu proses tarjih (memilih dalil yang lebih kuat),” ungkapnya dalam Kitab Syakhshiyah Islam Jilid 1, Bab Kekuatan Dalil, cetakan ke 6 Tahun 2003, Penerbit Hizbut al-Tahrir.
Keharusan mentarjih dan beramal dengan dalil yang lebih rajih, kata Syaikh Taqi berdasarkan Ijma’ Sahabat.
Para Sabahat, jelas Syaikh Taqi, pernah merajihkan hadis dari Aisyah ra mengenai bertemunya dua khitan (kemaluan). “Apabila satu khitan bertemu dengan khitan lainnya (bersetubuh), maka wajib mandi. Aku telah melakukannya bersama Rasulullah saw. kemudian kami mandi”, daripada hadis Abu Said al-Khudri yang berkata bahwa Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya air (mandi junub) disebabkan (terpancarnya) air (mani).”
Syaikh Taqi memberikan alasan, istri-istri Nabi SAW dalam perkara itu lebih mengetahui perbuatan Nabi daripada laki-laki.
“Barang siapa yang mencermati dan memantau perjalanan ijtihad para sahabat secara sungguh-sungguh akan mengetahui betul (tanpa keraguan) bahwa para sahabat selalu mewajibkan beramal dengan yang lebih rajih dari dua dalil dzani tanpa mendla’ifkan keduanya,” terangnya.
Tidak Sah
Hanya saja Syaikh Taqi menjelaskan tarjih tidak sah dilakukan kecuali pada kondisi tidak mampu beramal menggunakan kedua dalil tersebut secara bersama-sama.
“Jika keduanya bisa diamalkan, maka lebih utama mengamalkan keduanya daripada melalaikan salah satu dari keduanya,” tandasnya seraya memberikan alasan hukum asal dari suatu dalil adalah dilaksanakan bukan dilalaikan.
Syaikh Taqi juga menegaskan bahwa mengamalkan dua dalil wajib dengan cara yang telah ditunjuk oleh nash.
Ia memberikan contoh mengamalkan dua dalil yang bertentangan bisa dilihat dari sabda Rasulullah saw. “Apakah kalian tidak ingin kukabarkan sebaik-baik saksi? Yaitu yang memberikan kesaksiannya sebelum ditanya.” Dan Sabda Rasulullah saw. “Kemudian dia menyebarkan kebohongan meski dia bersumpah, padahal dia tidak diminta bersumpah. Dan dia bersaksi padahal dia tidak diminta bersaksi.”
Satu sisi, jelas Syaikh Taqi, Rasul memuji orang yang bersaksi sebelum diminta persaksian, di sisi lain Rasul mencela orang yang bersaksi sebelum diminta kesaksian.
“Pujian Rasul terhadap orang yang bersaksi sebelum diminta kesaksiannya adalah bagian dari nash bahwa dia diperintahkan oleh Allah. Dan celaan Rasul terhadap orang yang bersaksi sebelum diminta kesaksiannya, juga bagian dari nash yang dilarang oleh Allah,” ucapnya memberikan contoh.
Hal ini, lanjutnya, menunjukkan adanya pertentangan (ta’aarudl) antara dua dalil. Penggabungan (al-jama’) antara dua dalil itu adalah bahwa kesaksian yang menyangkut hak-hak Allah diperintahkan oleh Syâri’ untuk bergegas menunaikannya tanpa diminta.
“Dan kesaksian yang menyangkut hak dari hak-hak hamba dilarang oleh Syâri’ untuk menyatakan kesaksiannya sebelum diminta bersaksi,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun