Isu Kampus Terpapar Radikalisme, Upaya Mengerdilkan Kampus sebagai Produsen Pemikir - Tinta Media

Senin, 22 Agustus 2022

Isu Kampus Terpapar Radikalisme, Upaya Mengerdilkan Kampus sebagai Produsen Pemikir

Tinta Media - Narator video MMC mengatakan, “Adanya isu kampus terpapar radikalisme sejatinya adalah upaya mengerdilkan kampus sebagai produsen para pemikir,” tuturnya dalam video: Ada Apa di Balik Upaya Melindungi Dunia Pendidikan dari Radikalisme? Sabtu (20/8/2022) melalui kanal Youtube Muslimah Media Center.
 
Isu ini, lanjutnya, tentu akan memandulkan fungsi kritis mahasiswa maupun dosen terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
 
“Dengan framing kampus terpapar radikalisme ini dan daya tekan rezim yang kuat akan membuat dosen dan mahasiswa bungkam terhadap kebenaran. Padahal wujud dari pengabdian intelektual kepada umat adalah menyuarakan kebenaran dan berbicara untuk kepentingan umat,” tandasnya.
 
Meningkatkan Kewaspadaan
 
Narator menyebut, Wakil Komisaris Polri Komjen Gatot Adi Pramono mengatakan memasuki tahun ajaran baru,  dunia pendidikan khususnya tingkat perguruan tinggi harus terus meningkatkan kewaspadaan terhadap paham dan gerakan kekerasan, terutama yang digunakan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan legitimasi yang didasarkan pada pemahaman agama yang salah.
 
“Paham dan gerakan tersebut adalah intoleransi, radikalisme, ekstrimisme dan terorisme,” lanjut Narator menirukan Waka Polri.
 
 Menurut Waka Polri, kata Narator, berdasarkan catatan global terorism index 2020 menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2021 terdapat 5.226 aksi terorisme di seluruh dunia. Korban meninggal dunia yang berjatuhan akibat aksi tersebut mencapai 7.142 jiwa.
 
Mitigasi
 
Narator mengatakan, beberapa kampus merespon masuknya paham radikalisme dan terorisme di kampus dengan membuat program mitigasi pencegahan paham-paham tersebut masuk ke lingkungan kampus.
 
“Namun sejatinya masyarakat masih mempertanyakan benarkah kampus telah terpapar radikalisme intoleransi, hingga terorisme? Apa sebenarnya definisi dari radikalisme itu sendiri dan bagaimana ciri-cirinya?” ucapnya.

Pasalnya, lanjut Narator, hingga hari ini definisi tersebut masih absurd di pandangan masyarakat. “Jika yang dimaksud radikalisme adalah terorisme dengan berbagai tindakan teror dan aksi kekerasan yang membahayakan tentu kita sepakat bahwa hal itu harus dilawan,” tukasnya.
 
Tapi faktanya tidak demikian. “Mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Riyyacudu pada 2019 pernah menyebut sekitar 23 % mahasiswa terpapar radikalisme. Hal ini didasarkan pada bentuk persetujuan mahasiswa tersebut terhadap ajaran jihad dan memperjuangkan negara Islam atau Khilafah,” bebernya.
 
 Karena itu, nilainya, meski pemerintah mengatakan bahwa radikalisme bukan bagian dari gerakan keagamaan namun nyatanya pihak yang disebut terpapar radikalisme dikaitkan dengan mereka yang memiliki pemahaman Islam yang benar dan lurus.
 
“Pasalnya ajaran jihad dan Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam yang ada di dalam kitab muktabar para ulama Salafush Shalih. Khilafah merupakan kepemimpinan yang satu untuk umat Islam yang menerapkan semua hukum Islam,” ungkapnya.
 
Khilafah, lanjutnya, merupakan mahkota kewajiban yang menjadikan umat Islam bisa melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh.
 
“Karena itu radikalisme sejatinya mengarah pada ajaran Islam kafah yaitu ajaran yang menghendaki agar syariat Islam diterapkan secara keseluruhan atau kafah dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara,” simpulnya.
 
Narator lalu mempertanyakan, apakah orang yang memiliki paham ini yang mereka maksud ingin menggulingkan kekuasaan?

“Seharusnya tidak, sebab Islam kafah adalah solusi atas semua persoalan bangsa. Kaum muslimin mencapai masa kejayaan di berbagai bidang pada saat kekhilafahan tegak. Saat  itu tidak ada kemiskinan dan keterpurukan hidup. Yang ada adalah keadilan, kesejahteraan, hingga keamanan yang terwujud di tengah-tengah masyarakat,” ucapnya berargumen.
 
"Karena itu, harusnya mereka yang menginginkan bangsa ini maju dan berkah dengan aturan Allah tidak diberi stikma negatif," tambahnya. 
 
Cengkeraman Kapitalisme
 
Narator menegaskan, umat Islam harus menyadari bahwa dunia hari ini termasuk Indonesia berada dalam cengkraman kapitalisme global. “Radikalisme sejatinya adalah proyek barat untuk menjaga kepentingan mereka agar tetap menguasai dunia dengan ideologi kapitalismenya,” imbuhnya.
 
 Proyek ini, katanya,  hanya memunculkan islamofobia terhadap masyarakat, bahkan umat Islam sendiri terutama pada ide Islam kafah dan Khilafah yang merupakan bagian dari ajaran Islam. Tujuannya adalah dalam rangka menghadang kebangkitan Islam, sebab hanya Khilafah yang bisa menghentikan hegemoni barat atas dunia Islam.
 
 “Ini juga diduga kuat sebagai bentuk pengalihan masalah kegagalan rezim, misalnya kegagalan rezim di bidang pendidikan. Rezim menjanjikan adanya revolusi industri 4.0 akan meningkatkan kualitas pendidikan dan daya saing di bidang pendidikan.Namun kenyataannya konsekuensi logis dari penerapan kapitalisme berdampak pada mahalnya biaya pendidikan dan pengalihan fungsi pendidikan tinggi dan arah riset,” ungkapnya.  
 
Demikian pula, tambahnya,  pada bidang kesehatan,  BPJS dinilai gagal melayani kesehatan rakyat. Fakta yang terjadi BPJS justru hanya merupakan iuran yang dipaksakan. Jika tidak ada BPJS maka rakyat tidak mendapatkan beberapa layanan, dan masih banyak lagi bukti kegagalan rezim.  
 
“Semua ini menunjukkan kegagalan rezim dalam menjalankan fungsi kepemimpinan yang disebabkan karena dua faktor yaitu rezim tidak memiliki konsep bernegara yang kuat dan tangguh. Selanjutnya rezim dibangun atas asas yang  keliru yaitu asas sekulerisme,” bebernya.  
 
Jadi, simpulnya,  yang gagal adalah rezim tapi yang  dijadikan sasaran adalah masyarakat dan mahasiswa yang mengkritik kebijakan penguasa yang gagal mengurusi rakyat dengan tuduhan intoleransi, radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme.
 
 “Jika ditelusuri lebih mendalam, radikalisme ingin menjadikan Islamopobhia melenyapkan pemikiran ideologi Islam. Bagaimana mungkin mereka memisahkan ideologi yang melekat dengan akidah Islam?” tanyanya.
 
Tidak Butuh Moderasi
 
Narator menilai, umat tidak butuh proyek melawan radikalisme, karena bukan radikalisme problem mendasar negeri ini. Umat juga tidak butuh moderasi yang digadang-gadang menjadi solusi tuntas atas berbagai problem negeri ini.
 
“Problem mendasar negeri ini adalah karena tidak mau taat pada aturan Allah. Maka solusi tuntasnya adalah dengan taat kepada Allah yaitu dengan menerapkan syariah Islam kafah dalam bingkai negara Khilafah,” tegasnya.
 
Narator menutup penuturannya dengan membacakan Al-Quran surat al-Baqarah ayat 85 yang artinya, “Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia.  Dan pada hari kiamat mereka dikembalikan dengan siksa yang sangat berat.  Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” [] Irianti Aminatun
 
 
 
 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :