FDMPB: Sentimentalitas Politik Sekuler atas Islam Warnai Politik Identitas - Tinta Media

Rabu, 31 Agustus 2022

FDMPB: Sentimentalitas Politik Sekuler atas Islam Warnai Politik Identitas


Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra menilai, narasi politik identitas di negeri ini diwarnai oleh sentimentalitas politik sekuler atas Islam politik.

“Narasi politik identitas di negeri ini diwarnai oleh sentimentalitas politik sekuler atas Islam politik,” tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (30/8/2022).

Menurutnya, narasi politik identitas tersebut berupa narasi islamofobia. Dan secara lebih fundamental, narasi politik identitas ditujukan ke Islam politik.

“Narasi islamofobia diduga kuat sebagai perwujudan dari sentimentalitas ini. Bahkan secara lebih fundamental, narasi politik identitas yang ditujukan ke Islam politik adalah upaya untuk menghalangi kebangkitan Islam politik di negeri ini,” bebernya.

Hal ini disebabkan karena tengah terjadi politisasi, istilah politik identitas dengan membangun sentimentalitas Islam politik.
“Narasi politik identitas tidak lagi mengacu kepada ontologi namun telah masuk pada aksiologis yang dipengaruhi sekulerisme,” ujarnya.

Ahmad Sastra menyatakan bahwa politik beridentitas sekuler pada intinya adalah bentuk pengabaian nilai-nilai Islam dalam mengatur urusan negara dan mengatur urusan rakyat.

“Para penguasa tak lagi peduli dengan nilai-nilai Islam. Alih-alih melaksanakan hukum Allah menata kehidupan berbangsa dan bernegara, sekedar untuk mengikuti nilai dan norma dalam bersikap dan berperilaku saja tidak terbersit dalam benak mereka,” katanya.

Akhirnya kondisi keterpurukan di hampir semua bidang kehidupan di negeri ini adalah akibat dari penerapan politik identitas sekuler yang abai terhadap hukum Allah. Ia mengutarakan Islam hanya dibawa saat mereka di masjid.

“Sedangkan saat mereka mengurus ekonomi negara menggunakan sistem ribawi. Saat mereka mengurus urusan pendidikan menggunakan sistem pendidikan menggunakan sistem beridentitas kapitalisme sekuler,” urainya.

“Saat mereka mengurus urusan budaya mereka mengabaikan nilai-nilai Islam, saat menata sistem sosial mereka menggunakan sistem sosialis, serta aspek-aspek kenegaraan lain yang sekuleristik,” lanjutnya.

Ahmad Sastra mengungkapkan demokrasi menggunakan logika dan konsesus manusia, suara terbanyak dijadikan acuan kebenaran meskipun jelas-jelas bertentangan dengan Islam.

“Padahal Allah melarang umat Islam menggunakan pertimbangan suara terbanyak sebagai tolok ukur kebenaran, sebab kebenaran hanyalah milik Allah bukan suara rakyat yang terbanyak,” ungkapnya.

Ia mempertanyakan mengapa hanya Islam yang disebut politik identitas dan dikonotasikan sebagai identitas yang buruk. “Padahal secara filosofis, politik sekuler demokrasi adalah politik identitas juga, mengapa hanya Islam yang dikonotasikan identitasnya buruk?” tanyanya.

Ahmad Sastra membenarkan pendapat Socrates bahwa di saat kalah berdebat maka fitnah adalah senjata akhir seorang pecundang. “Maka narasi politik identitas yang dituduhkan kepada Islam adalah bentuk kekalahan dan ketakutan intelektual ideologi sekuler,” ucapnya.

Baginya kebangkitan Islam politik sebagai respon atas keterjajahan umat Islam adalah sebuah keniscayaan.“Terbukti politik beridentitas ideologi kapitalisme sekuler sebagai penjajah di negeri-negeri muslim pasca runtuhnya daulah Islam,” tuturnya.

Sebagaimana tahun 1602 Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dibentuk sebagai persekutuan dagang Belanda yang memiliki hak istimewa dan Indonesia ada di bawah VOC tersebut. Ia mengatakan sekarang kondisinya sama di mana perusahaan-perusahaan asing tersebut memiliki hak istimewa.

“Beberapa perusahaan asing tersebut berinvestasi di Indonesia, setelah negosiasi dengan menteri luar negerinya. Indikasi ini menunjukkan bahwa beberapa perusahaan asing tersebut benar-benar disupport oleh negeri asalnya, terjadi pula kesenjangan gaji pribumi dengan ekspatriat (bule),” katanya.

Ia memaparkan pendapat Hariyono (2012) bahwa terjadi ketergantungan elit pribumi terhadap kolonial barat tinggi. Akibatnya posisi para pejabat pribumi tidak ubahnya tengah bergeser menjadi komprador atau centeng.

“Melalui sistem verlichte leveranties dan contingenten elit pribumi makin terjebak dalam sistem kolonial. Bila mereka berhasil mengumpulkan hasil bumi melebihi target, mereka akan mendapatkan hadiah yang dikenal dengan istilah batig slot (saldo lebih),” paparnya.

Ahmad Sastra menilai bahwa perusahaan multinasional saat ini, yang ada di Indonesia memiliki kemiripan dengan sistem verlichte leveranties dan contingenten, di mana mekanisme penentuan harga minyak dan gas bumi mengabdi pada sistem pasar.

“Padahal pasar terindikasi dikuasai oleh perusahaan multinasional, harga ditentukan secara tidak langsung oleh perusahaan multinasional atas nama pasar bebas. Untuk memperlancar investasi pertambangan, beberapa oknum pejabat terindikasi mendapatkan upeti atau saham perusahaan multinasional tersebut (mirip contingenten masa VOC),” ujarnya.

Demikian dengan jebakan utang luar negeri berbunga kurs dolar, ia mengkritisi Indonesia merasa rendah diri dan memosisikan para donor (pemberi utang) dipandang sebagai superior.

“Akibatnya pihak asing menguasai perekonomian Indonesia, misalnya mereka memberikan arahan UU Penanaman Modal, maka dengan lancar UU tersebut disahkan. Padahal UU tersebut merupakan payung liberalisasi dalam investasi dan privatisasi sektor publik,” kritiknya.

Ia mengungkapkan perusahaan multinasional asing, seperti Exxon Mobil Oil, Caltex, Newmount, Freepot, dan lainnya makin mudah mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia dan semua potensi ekonomi yang ada.

“Akibatnya kontribusi SDA Migas dan Non-Migas terhadap APBN makin lama makan kecil,” ungkapnya.

Maka ketika jalan sekulerisme dan demokrasi tak lagi menjanjikan perubahan yang lebih baik dan terus menjadikan Indonesia sebagai negeri terjajah oleh kapitalisme global. Islam menjadi paradigma politik alternatif setelah tumbangnya sosialisme komunis dan sekaratnya kapitalisme sekuler sekarang ini.

“Islam merupakan konsepsi ideal bagi upaya penyelesaian semua permasalahan kehidupan manusia. Sudah saatnya orang-orang memilih Islam,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :