Tinta Media - Diakui atau tidak, kasus bullying saat ini semakin massif terjadi di tengah masyarakat, terutama di sekolah-sekolah, dari mulai tingkat SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi. Kasus ini menimpa baik pada laki-laki maupun perempuan.
Biasanya, mereka yang menjadi korban bullying bermula dari gurauan, atau ada juga yang memang sengaja membully, hingga mengarah pada kriminalitas remaja. Hal ini sering tidak diketahui oleh orang tua atau sekolah, karena korban takut untuk melapor. Ini seperti yang terjadi pada kasus perundungan terhadap bocah SD di kota Tasikmalaya hingga menyebabkan korban meninggal dunia.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kabupaten Bandung, Ade Irfan Al-Anshori angkat bicara soal kasus tersebut. Ade mengakui bahwa perundungan erat hubungannya dengan dunia pendidikan, bahkan sifatnya massif. Oleh karena itu, semua pihak, khususnya orang tua diharapkan untuk terbuka dan peduli terkait informasi yang disampaikan sang anak.
Memang, selain orang tua, pihak sekolah, seperti guru, harus lebih memperhatikan hal tersebut, sehingga dibutuhkan juga sosialisasi tentang bagaimana caranya membangun kesadaran pada anak, terutama jika menjadi korban bullying atau bahkan mencegah mereka untuk melakukan bullying.
Selain itu, peran aktif dari berbagai elemen masyarakat juga dibutuhkan, termasuk masyarakat di Kabupaten Bandung, untuk mengantisipasi agar kejadian seperti di Tasikmalaya tidak terulang kembali.
Presiden Jokowi sebenarnya juga pernah mengeluarkan Perpes no. 101 tahun 2022 tentang penghapusan kekerasan anak. Namun, ternyata Perpres tersebut belum mampu mengurangi kasus kekerasan terhadap anak. Serius ataupun tidak, negara memang harus terjun langsung untuk menangani kasus ini, tidak cukup sekadar membuat UU.
Hendaknya, guru atau pihak sekolah yang mengetahui tindakan menyimpang tersebut mampu memberikan peringatan kepada pelaku dan bisa mengarahkan mereka untuk mengalihkan ke hal-hal yang positif.
Kalau hal ini dibiarkan terus-menerus, pelaku akan merasa benar dan tidak ada masalah jika melakukan hal tersebut. Inilah ekspresi dari eksistensi diri yang salah, yang dilandaskan pada budaya permisif (serba boleh) dan kebebasan bertingkah laku. Kebebasan ini lahir dari paham sekularisme yang saat ini dianut oleh masyarakat kita.
Jika gaya hidup sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) menjadi penyebab utama, maka gaya hidup tersebut harus diganti dengan landasan yang benar, yang dipakai oleh tiga elemen masyarakat untuk menghilangkan masalah bullying ini, yaitu orang tua (keluarga), sekolah (lingkungan), dan negara. Dengan begitu, akan tercipta sinergisitas dan kondisi yang kondusif dalam tumbuh kembang anak, sehingga terjaga ke arah generasi yang unggul.
Sebagai umat Islam, tentu yang harus dijadikan landasan hidup adalah Islam, dengan konsep sebagai berikut:
Pertama, faktor orang tua (keluarga). Sebagai pihak pertama yang paling bertanggung jawab terhadap anak, maka orang tua harus membentuk pola asuh yang benar. Orang tua harus membentuk pola pikir terkait benar-salah, berdasarkan pada standar yang benar, yaitu halal-haram karena keimanan kepada Allah. Tujuannya adalah untuk mencapai rida Allah Swt.
Inilah yang akan membentuk pola sikap (tingkah laku) yang baik pada diri anak, sehingga eksis sebagai pribadi remaja Islam yang mumpuni. Selain itu, ada komunikasi aktif antara orang tua dan anak, yang menjadikan hubungan mereka dekat dan harmonis.
Kedua, sekolah (lingkungan), sebagai lembaga yang hadir untuk membentuk kepribadian Islam pada diri anak, berjiwa pemimpin, menguasai sains dan teknologi, sehingga siap untuk mengisi peradaban Islam. Selain itu, ada peran masyarakat yang akan menjaga pelaksanaan sistem pendidikan agar tidak menyimpang dari syariat, melalui aktivitas amar makruf nahi mungkar, atau koreksi terhadap penguasa negara.
Ketiga, negara sebagai pihak yang memberlakukan aturan atas kehidupan rakyat. Salah satu aturan yang diberlakukan adalah sistem pendidikan Islam. Sistem ini akan sinergis dengan pembentukan generasi pemimpin dengan menerapkan kurikulum pendidikan berasas akidah Islam, membangun sarana-prasarana yang mumpuni, beserta para tenaga pendidik yang kompeten, dan sebagainya.
Jika dengan tegaknya tiga faktor ini masih tetap ada pelaku bullying, maka akan dikenakan sanksi yang tegas dan memberi efek jera, agar tidak terjadi lagi korban bullying berikutnya.
Ini karena bullying sudah nyata dan jelas merupakan tindakan yang diharamkan dalam Islam.
Allah Swt. berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Hujurat[49]:11)
Sanksi tegas yang diberikan berasal dari ijtihad khalifah, jika terkategori aktivitas ghibah, fitnah, mengolok-olok, juga memata-matai. Namun, jika sudah mengarah pada kriminalitas, seperti melukai, pelecehan, bahkan pembunuhan, maka hukumannya bisa sampai katagori sanksi jinayat, yang sanksinya telah ditentukan oleh Allah Swt.
Inilah cara Islam memberikan solusi tuntas terhadap permasalahan yang terjadi, termasuk masalah bullying.
Wallahu alam bish'shawab.
Oleh: Nunkky Ricardo
Sahabat Tinta Media