Begini Cara Syariah Mengelola Hutan - Tinta Media

Kamis, 11 Agustus 2022

Begini Cara Syariah Mengelola Hutan

Tinta Media - Pakar Fikih Kontemporer KH M Shidiq al-Jawi, S.Si., M.S.I., (USAJ)  menjelaskan delapan  ketentuan syariah Islam terpenting dalam pengelolaan hutan.

“Pertama, syariah telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu hutan (al-ghaabaat) termasuk dalam kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah),” tuturnya di akun telegram pribadinya, Selasa (9/8/2022).

Ketentuan ini , lanjut USAJ, didasarkan pada hadits Nabi SAW riwayat Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api.”

“Kedua, pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain, misalnya swasta atau asing,” terangnya.

Ketiga, jelas USAJ, pengelolaan hutan dari segi kebijakan politik dan keuangan bersifat sentralisasi, sedangkan dari segi administratif adalah desentralisasi (ditangani pemerintahan propinsi/wilayah).

“Meskipun pengelolaan hutan menurut syariah adalah di tangan negara, tidak berarti semua urusan hutan ditangani oleh pemerintah pusat (Khalifah),” tegasnya.

USAJ menambahkan, hal-hal yang menyangkut kebijakan politik, seperti pengangkatan Dirjen Kehutanan, dan kebijakan keuangan (maaliyah), ada di tangan Khalifah sebagai pemimpin pemerintah pusat.

“Sedangkan hal-hal yang menyangkut administratif (al-idariyah) dalam pengelolaan hutan, ditangani oleh pemerintahan wilayah (propinsi). Misalnya pengurusan surat menyurat kepegawaian dinas kehutanan, pembayaran gaji pegawai kehutanan, pengurusan jual beli hasil hutan untuk dalam negeri, dan sebagainya,” imbuhnya.

Keempat, terang  USAJ, negara memasukkan segala pendapatan hasil hutan ke dalam Baitul Mal (Kas Negara) dan mendistribusikan dananya sesuai kemaslahatan rakyat dalam koridor hukum-hukum syariah.

“Segala pendapatan hasil hutan menjadi sumber pendapatan kas negara (Baitul Mal) dari sektor Kepemilikan Umum. Mengenai distribusi hasil hutan, negara tidak terikat dengan satu cara tertentu yang baku. Negara boleh mendistribusikan hasil hutan dalam berbagai cara sepanjang untuk kemaslahatan rakyat dalam bingkai syariah Islam,” tandasnya.
 
Kelima, lanjut  USAJ, negara boleh melakukan kebijakan hima atas hutan tertentu untuk suatu kepentingan khusus.

“Hima artinya kebijakan negara memanfaatkan suatu kepemilikan umum untuk suatu keperluan tertentu, misalnya untuk keperluan jihad fi sabilillah,” jelasnya.

Keenam, negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pengelolaan hutan. Dan ketujuh, negara wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan.

“Ketentuan pokok ini mempunyai banyak sekali cabang-cabang peraturan teknis yang penting. Antara lain, negara wajib mengadopsi sains dan teknologi yang dapat menjaga kelestarian hutan. Misalnya teknologi TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Negara wajib juga melakukan konservasi hutan, menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity), melakukan penelitian kehutanan, dan sebagainya,” jelasnya.
 
Kedelapan, lanjutnya, negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan.

“Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan),” tandasnya.

Ta’zir ini, jelas USAJ,  dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya.

“Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara. Seorang cukong illegal loging, misalnya, dapat digantung lalu disalib di lapangan umum atau disiarkan TV nasional,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :