Tinta Media - Muhammad Ishak Razak dari Center of Reform on Economics (CORE) menanggapi resesi ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat (AS).
“Seberapa dalam resesi Amerika Serikat (AS) nanti terjadi setelah The FED menaikkan suku bunga yang sangat tinggi? The Fed atau The Federal Reserve System sebagai salah satu otoritas moneter di AS, telah menaikkan suku bunga pada level yang sangat tinggi. Inflasi Amerika sudah sangat tinggi mencapai 9,1 persen, tertinggi selama 40 tahun, kemudian direspons oleh The Fed dengan menaikkan suku bunga yang agresif,” tuturnya dalam Program Fokus: AS Resesi Dunia Berubah? Ahad (7/8/2022), di kanal YouTube UIY Official.
Ishak mengatakan, pada bulan Juli ini The Fed sudah menaikkan suku bunga sampai ke level 2,5 persen. Padahal pada masa pandemi suku bunga itu flat, rata-rata 0,5 persen. "Karena inflasi tinggi maka direspons dengan menaikkan suku bunga. Kenaikan suku bunga ini kemungkinan akan berlanjut pada bulan September 2022,” ucapnya.
Ia memaparkan bahwa kenaikan suku bunga ini sangat dipengaruhi oleh seberapa besar tingkat inflasi yang terjadi di AS.
“Kita ketahui pada inflasi saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor kenaikan harga-harga energi. Ini yang menjadi perdebatan di AS. Apakah kebijakan The Fed menaikkan suku bunga ini efektif atau tidak,” paparnya.
Artinya inflasi saat ini bukan dari sisi demand, permintaan masyarakat tapi dari sisi supply. Di mana terjadi kenaikan harga-harga bahan baku khususnya energi. Sementara target inflasi dari The Fed itu awalnya 2 persen berubah sekarang menjadi 9 persen.
“Dalam sistem ekonomi kapitalis, rumus baku meredam inflasi dengan menaikkan suku bunga,” ujarnya.
Dengan menaikkan suku bunga, diharapkan konsumsi masyarakat akan melemah. Ia mengungkapkan dua tujuan dinaikkan suku bunga tersebut.
“Pertama, belanja masyarakat AS ditopang oleh kredit dari perbankan misalnya kredit perumahan, kredit otomotif termasuk student loan, credits card, dan sebagainya. Dengan naiknya suku bunga maka kemampuan untuk berbelanja itu akan menurun,” ungkapnya.
Kedua, AS sangat bergantung kepada utang konsumen (masyarakat). “Ketika suku bunga ini dinaikkan maka belanja atau biaya hidup mereka semakin naik, karena mereka harus membayar bunga yang lebih mahal dibandingkan sebelumnya sehingga meredam hasrat mereka untuk berbelanja,” bebernya.
Inilah mengapa ketika kenaikan suku bunga terjadi kontraksi ekonomi, The Fed mengatakan akan melawan inflasi meskipun mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Ia menjelaskan dua faktor di atas tersebut yang dikorbankan oleh The Fed.
“Inilah yang dimaksud dikorbankan, yakni daya beli masyarakat, kemudian investor, para pelaku usaha, karena tadi permintaan turun otomatis penjualan mereka turun, industri-industri manufaktur penjualannya turun akhirnya mereka mengurangi penjualan, mengurangi produksi dan otomatis melakukan layoff (tenaga kerja dikurangi),” jelasnya.
Akibatnya, meningkat pengangguran sehingga otomatis kemampuan daya beli masyarakat akan kembali tertekan. Kebalikan yang terjadi sekarang di AS, ia mengemukakan pasca pandemi AS mengalami peningkatan tenaga kerja di saat ekonominya menurun.
“Korelasi antara kenaikan suku bunga The Fed untuk melawan inflasi dengan peningkatan pengangguran sehingga kalau ditanyakan apakah resesi di AS sekarang terjadi?, bukan ini perdebatannya karena faktanya pasca pandemi ini penyerapan tenaga kerja di AS meningkat dibalik menurun ekonominya,” ujarnya.
Dampak langsung kenaikan suku bunga oleh The Fed akan terasa setelah beberapa bulan atau kuartal (per tiga bulan) ke depan. Ia menyatakan walaupun belum terasa dampaknya tapi survei-survei tingkat ekspektasi konsumen terhadap perekonomian AS ke depan mengalami penurunan.
“Misalnya survei konsumen yang dilakukan The University of Michigan bahwa angkanya terus turun bahkan minus paling rendah dalam 20 tahun terakhir ini. Secara behavioral economics ketika masyarakat ini tidak percaya atau kurang yakin terhadap prospek ekonomi di masa yang akan datang, mereka (masyarakat) juga akan mengurangi minat konsumsi mereka termasuk mengurangi kecenderungan untuk melakukan investasi,” katanya.
Ia mengakhirinya dengan mengatakan bahwa perdebatan saat ini adalah dalam kuartal berikutnya di tahun 2023 bagaimana korelasi dari kenaikan suku bunga oleh The Fed terhadap resesi yang terjadi di AS.
“Perdebatan saat ini yang terjadi adalah sebenarnya dalam kuartal berikutnya di tahun 2023,” pungkasnya.[] Ageng Kartika