Amerika Resmi Resesi, Ini Dampaknya ke Ekonomi Indonesia - Tinta Media

Jumat, 05 Agustus 2022

Amerika Resmi Resesi, Ini Dampaknya ke Ekonomi Indonesia


Tinta Media - Amerika Serikat (AS) telah masuk resesi. Bukan hanya itu, Indonesia juga harus menghadapi berbagai tantangan dari pertumbuhan ekonomi Cina yang negatif serta tensi geopolitik Rusia-Ukraina memperparah gejolak harga di seluruh dunia. 

Sebagaimana kalau kita menjadi pendukung buta sebuah rezim, maka jawabannya akan standar, "Indonesia" itu aman tak berdampak pada resesi ekonomi global. Dengan mengerahkan para buzzer dan influencer masyarakat bisa ditenangkan dengan menganggap bahwa Indonesia relatif tidak berdampak atas peristiwa tersebut.

Bisa melihat kebutuhan harian masyarakat bisa didapatkan dengan mudah. Bila harga daging mahal dipasaran maka bisa menggunakan sarana daun singkong dan ubi-ubian sebagai bahan pengganti. Karbo cukup bisa menggantikan peran protein hewani. Bagaimana teorinya? Itu urusan belakangan. 

Kalau harga minyak goreng masih mahal, maka mulailah rajin punya resep makanan rebus. Jauhkan dulu dari gorengan, sudah selaiknya makan jagung dan kacang rebus. 

Bila harga mie instan mulai naik, anak anak kost cukup makan pakai micin dan nasi saja sudah cukup untuk menutupi kelaparan di malam hari, tak perlu menggerutu. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan dampak tantangan tersebut ke Indonesia. "Perangnya di Eropa, tapi dampaknya ke seluruh dunia. Krisis pangan, energi terjadi. Karena Rusia produsen energi yang termasuk terbesar di dunia. Dan Ukraina-Rusia produsen pangan terbesar pangan di dunia, termasuk pupuk," jelas Sri Mulyani saat memberikan sambutan pada Dies Natalis Ke-7 PKN STAN.

"Maka dalam inflasi yang muncul karena pemulihan ekonomi tidak diikuti supply, ditambah disrupsi perang, dunia tidak baik-baik saja. Inflasi di berbagai negara melonjak tinggi". 

Meskipun menteri keuangan bicara begitu, tenang saja, kita masih mungkin menyimpan dana Rp 11.000 Triliun yang masih tersimpan dikantong milik presiden negeri tertentu. Kode etik jurnalistik tak bisa saya lontarkan. 

Kebijakan kenaikan dan pembatasan BBM itu semata mata dilakukan agar warga kita jauh lebih sehat. Bisa naik sepeda ke kantor, bisa jalan kaki ke sekolah, bisa bekerja dari rumah. Bila harga listrik naik, wajarlah karena ini demi perbaikan kualitas dan menurunkan tingkat emisi yang menambah parah suhu dunia. 

Menurut Menteri Keuangan lagi, Ekonomi Indonesia juga terdampak karena inflasi tinggi yang terjadi di AS, Eropa, dan Inggris saat ini. Hal tersebut membuat bank sentral negara-negara itu mengetatkan likuiditas dan meningkatkan suku bunga.

"Apa hubungannya dengan kita, kalau kenaikan suku bunga dan likuiditas cukup kencang, maka pelemahan ekonomi global terjadi," kata dia. Sri Mulyani mengatakan pelemahan ekonomi global mulai terlihat di AS dan China, yang menjadi mitra dagang Indonesia.

Secara definisi, AS sudah masuk ke dalam resesi dengan mencatatkan pertumbuhan negatif dua kali berturut-turut selama dua kuartal di tahun yang sama. Produk Domestik Bruto (PDB) AS pada kuartal II-2022 kontraksi atau negatif 0,9% secara tahunan (year-on-year/yoy). Pada kuartal I-2022 yoy, pertumbuhan pun tercatat negatif sebesar 1,6%.

Untuk China pada kuartal II-2022, pertumbuhan ekonominya mengalami penurunan 0,4% dari pertumbuhan kuartal sebelumnya sebesar 2,5%. Pertumbuhan itu di bawah prediksi pasar 5,5%. Ekonomi yang melemah di dua negara tersebut membuat Sri Mulyani waspada.

"Hari ini Anda baca berita, AS negatif growth Kuartal II, technically masuk resesi. RRT (China) seminggu lalu keluar dengan growth Kuartal II yang nyaris 0," jelas Sri Mulyani. "Apa hubungannya dengan kita lagi? AS, RRT, Eropa adalah negara-negara tujuan ekspor Indonesia. Jadi, kalau mereka melemah, permintaan ekspor turun dan harga komoditas turun".

Meski capaian ekonomi Indonesia terbilang tangguh, Sri Mulyani tak mau jumawa. Tercatat APBN Surplus di bulan Juni sebesar Rp 73,6 triliun atau 0,39% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

"Kita tahu situasi masih cair dan dinamis. Berbagai kemungkinan bisa terjadi dengan kenaikan suku bunga, capital outflow terjadi di seluruh negara berkembang dan emerging, termasuk Indonesia, dan bisa mempengaruhi nilai tukar, suku bunga, dan inflasi di Indonesia," ungkapnya. 

Kita percaya bahwa Ekonomi Kapitalisme itu seakan lebih sempurna dari ekonomi Islam, bahkan kita mampu berdikari sendiri dengan ekonomi Pancasila yang menurut mereka masih lebih "toleran" ketimbang ekonomi Islam. 

Wajarlah, dengan selalu berlindung atas nama Pancasila dan UUD 1945, maka apa pun kebijakan ekonomi negara merujuk kepada kesejahteraan... Ntahlah kesejahteraan siapa...

Oleh: Rizqi Awal
Pengamat Kebijakan Publik

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :