Tinta Media - Ahli Hukum Pidana Dr. Muhammad Taufiq S.H., M.H., menilai terkait ancaman dugaan paksa jilbab harus memenuhi tiga unsur.
“Saya sampaikan kasus ini sengaja dikacaukan dengan narasi ancaman. Untuk pembuktiannya tidak mudah karena mengancam itu harus memenuhi tiga unsur penting,” tuturnya dalam Program Persfektif PKAD (Pusat Kajian dan Analisis Data): Gorengan Dugaan Paksa Jilbab, Islamphobia Merebak? Selasa (9/8/2022), di kanal Youtube PKAD.
Taufik mengungkapkan tiga unsur penting mengancam dalam suatu kasus, meliputi:
Pertama, adanya kekerasan.
Kedua, orang tidak memiliki kemerdekaan. Ketiga, orang itu akhirnya melakukan itu dengan terpaksa.
“Tanpa adanya ancaman kekerasan, tanpa adanya paksaan dan tanpa adanya pelanggaran kemerdekaan, maka tidak bisa disangkakan ancaman,” ungkapnya.
Sebagai ahli pidana, ia mengatakan apabila mayoritas sekolah menggunakan kerudung, itu bukan bentuk ancaman bagi siswa untuk mengenakannya. Disebut ancaman jika memenuhi unsurnya.
“Ancaman itu harus dengan alat yang bahkan orang tersebut tidak memiliki rasa takut dan orang tersebut tidak memiliki kemerdekaannya. Jika tidak memenuhi unsur itu, tidak bisa dikategorikan mengancam,” katanya.
Ia mengkritisi bahwa kasus ini harus diklarifikasi untuk memulihkan hak-hak guru dan kepala sekolah yang dikenakan sanksi penonaktifan.
“Karena kasus ini tidak benar terjadi ancaman. Jika sesuatu yang membuat putusan hukum itu benar akan menghasilkan putusan yang benar,” kritiknya.
Tidak bisa menonaktifkan guru yang tidak mengancam. Baginya penyebar berita bohong (hoax) yang layak dipidanakan atas kasus ini.
“Karena dia menyebarkan kabar bohong dan kalau ternyata itu mengandung fitnah dapat dikenakan Pasal 310 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE),” tuturnya.
Menurutnya, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan Pasal 335 ayat 1 bahwa yang dihidupkan hanya dua frasa, yakni adanya pemaksaan dan kekerasan yang dapat dikenakan sanksi pidana.
“Menurut saya lebih sepakat kalau pelaku yang menyebarkan hoax ancaman inilah yang justru dikenai dengan Peraturan Hukum Pidana No.1 Tahun 1946 khususnya Pasal 14, jangan menyebarkan hoax. Itu tidak benar,” ujarnya.
Taufik mencurigai bahwa dalam kasus ini tidak ada ancaman. “Bagaimana ancaman. Ancaman itu harus ada alat, harus ada kekerasan, menyebabkan orang itu tidak merdeka,” ucapnya.
Ia mengatakan sekarang ini persidangan dimulai dengan yang disebut trial the test, persidangan karena tekanan media. Ini tidak boleh karena pembuktian harus berimbang. “Disebut ancaman itu harus diklarifikasi dahulu, minta pendapat ahli dulu, termasuk ancaman atau tidak,” katanya.
Ia memaparkan mekanisme administrasi peradilan terkait kasus penonaktifan dua guru dan kepala sekolah atas dugaan paksa jilbab. Tidak bisa orang dipidanakan tanpa mekanisme yang benar.
“Kalau ia aparatur sipil negara, harus diadili. Ketika diadili (dituduh melakukan sesuatu) maka ia diberikan kesempatan membuktikan bahwa ia tidak melakukan sesuatu dan diperbolehkan untuk memberikan saksi. Tidak bisa serta merta dijatuhi sanksi,” paparnya.
Ia melanjutkan jangan karena media (trial the test), tiba-tiba orangnya dijatuhi sanksi. Pengadilan tidak memberatkan hak terdakwa itu bersumpah karena terdakwa memiliki hak ingkar.
“Itu sangat tidak benar dan tidak adil. Ini namanya perbuatan melawan hukum karena tidak ada ancaman, orang dijatuhi sanksi. Itu harus diberikan pembuktian bahwa saya tidak bersalah,” lanjutnya.
Ia merekomendasikan agar kasus ini diklarifikasi oleh sekolah juga organisasi guru serta mengembalikan harkat dan martabat kedua guru dan kepala sekolah yang dinonaktifkan.
“Karena tidak ada ancaman, dia meminta seseorang untuk berbuat lebih baik. Yang mengarahkan kasus ini pasti bukan orang hukum dan dia hanya ingin perkara ini menjadi ramai sementara isunya sensitif,” pungkasnya. [] Ageng Kartika