3 Level Pemikiran Tentang Kemerdekaan - Tinta Media

Kamis, 25 Agustus 2022

3 Level Pemikiran Tentang Kemerdekaan


Tinta Media - Merdeka itu artinya adalah bebas. Negeri yang merdeka adalah negeri yang bebas dari penjajahan bangsa lain. Manusia yang merdeka adalah manusia yang bebas melakukan kehendaknya sendiri, bukan kehendak orang lain apalagi dibawah intimidasi.

Hal yang harus disadari sesadar-sadarnya, kemerdekaan itu sebenarnya kondisi subyektif, bukan obyektif. Tiap orang atau juga bangsa bisa memaknai kemerdekaan secara berbeda. Ada orang yang meski negerinya terjajah secara fisik, tapi ia merasa merdeka. Juga sebaliknya, ada orang yang merasa negerinya merdeka tapi mereka merasa masih terjajah.

Ada tiga cara pandang terhadap kemerdekaan ini; pertama, cara pandang dangkal (fikr al-suthiy). Mereka yang berpandangan dan berpikiran dangkal, beranggapan merdeka adalah kalau kebutuhan pribadinya tercukupi. Meskipun sebenarnya mereka hanya kebagian seuprit, dan bagian besarnya diboyong bangsa asing.

Di jaman penjajahan Belanda ada orang yang merasa merdeka dan bahagia bahkan ikut membantu penjajah membasmi sesama pribumi yang disebut kaum ekstrimis inlander, yang oleh Belanda disebut sebagai pengacau keamanan dan mengganggu stabilitas. Warga pribumi yang membantu Belanda ini disebut sebagai ‘londo ireng’. Ikut bersekutu dengan Belanda padahal pribumi yang kulitnya ireng. Buat mereka, merasa sudah ‘merdeka’ ketika negerinya dijajah.

Sebagai catatan, dulu, di jaman penjajahan Belanda ada satuan KNIL (Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger) artinya Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Menurut Sejarawan Petrik, prajurit KNIL sebagian besar adalah orang-orang pribumi Indonesia sebagai prajurit rendahan. Meskipun ada yang menjadi perwira, jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan tentara Belanda.

Kedua, adalah kemerdekaan versi mereka yang pemikirannya lebih mendalam. Menurut mereka, merdeka itu mutlak bebas secara fisik dari injakan bangsa penjajah. Bukan namanya kemerdekaan kalau moncong bedil tentara asing masih mengarah ke kepala. Walaupun para penjajah memberi fasilitas pendidikan, lowongan kerja, seperti taktik politik etis alias balas budi milik Belanda, tetap itu namanya penjajahan.

Namun pemilik pemikiran kemerdekaan level ini masih menggelar karpet merah untuk kedatangan negara asing, bisa dengan nama bantuan (aid), investasi, utang luar negeri, konsultasi, pakta perjanjian ekonomi, pasar bebas, dsb. Mereka sebut itu adalah konsekuensi hubungan internasional dan persahabatan, agar tidak dikucilkan di pergaulan tingkat dunia.

Padahal, banyak bentuk hubungan yang mereka sebut ‘kerjasama’ atau ‘bantuan’ sekalipun adalah jerat penjajahan baru. Kesepakatan pasar bebas misalnya, sudah dikritik banyak orang menguntungkan negara-negara besar yang lebih siap dengan beragam komoditi perdagangan. Negara-negara berkembang siap-siap diserbu dan industri dalam negeri alami sekaratul maut.

Banyak pemimpin negara dan pejabatnya yang berperan sebagai sales perusahaan transnasional atau multinationalcoorporate (MNC). Basa-basinya mereka membangun negeri dengan mengundang investor asing padahal keuntungan terbesar bukan milik negeri, melainkan diangkut perusahaan-perusahaan asing itu.

Kebijakan hilirasisasi pertambangan nikel misalnya, disebut ekonom senior Faisal Basri menguntungkan perusahaan smelter asal China yang berinvestasi di Indonesia. Keuntungan terjadi karena kebijakan itu membuat harga ore nikel di dalam negeri anjlok. Tetapi, setelah diolah oleh smelter dan diekspor nilainya menjadi dua kali lipat. Pantas perusahaan asal China rame-rame bangun smelter di Indonesia daripada di negaranya.


Negara-negara imperialis ubah taktik penjajahan mereka dengan ciptakan neoimperialisme

Orang-orang yang berpikir kemerdekaan di level ini juga beropini dan menyebarkan opininya bahwa utang itu hal biasa, meski bunganya berlipat-lipat. Presiden Jokowi dalam pidatonya menyatakan akan tarik utang baru Rp 696 T dan bayar bunga utang Rp 441 triliun di tahun 2023.

Mereka yang berpikir merdeka adalah kebebasan fisik juga tidak keberatan kalau hawa nafsu diberikan kebebasan. Munculah seruan untuk mengakui keberadaan kaum LGBT, usulan legalisasi ganja, mengizinkan seks bebas asalkan consent/tanpa paksaan. Jadilah mereka budak nafsu.

Untuk mereka, merdeka juga berarti harus lepas dari ‘tekanan’ dan ‘paksaan’ ajaran agama. Maka tak boleh ada yang memaksa ataupun sekedar menyarankan jilbab pada siswi di sekolah. Itu namanya penjajahan dan intoleran.

Manusia-manusia seperti ini tak sadar kalau sebenarnya mereka masih berada di alam penjajahan. Tapi secara subyektif mereka tetap yakin kalau diri mereka adalah manusia merdeka.

Ketiga, adalah pemikiran yang cemerlang soal kemerdekaan. Orang-orang yang seperti ini baru percaya diri mereka merdeka ketika bebas dari penghambaan sesama mahluk. Bukan saja merdeka dari todongan bedil atau bayonet, tapi juga merdeka dari paksaan pemikiran dan ideologi buatan manusia.

Inilah kemerdekaan yang hakiki. Subyektif? Iya, tapi kebenaran suatu pemikiran yang subyektif sekalipun tetap bisa diukur secara obyektif. Bukan namanya merdeka kalau kebijakan kita dikendalikan asing, aset bangsa dikeruk orang lain, bahkan kita jadi kuli di negeri sendiri saja semakin sulit.

Kemerdekaan seperti ini baru terwujud ketika manusia tunduk hanya pada Allah Swt. Yang Maha Pencipta manusia. Penjelasan itu dinyatakan Rasulullah saw. dalam surat yang dikirimkan kepada penduduk Najran. Di antara isinya berbunyi:

 أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ

Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia) (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553).

Bangsa Arab – juga umat manusia – menemukan kemerdekaannya ketika memeluk Islam. Tidak ada lagi raja diraja, penghambaan pada bangsawan, kecuali hanya pada Rajanya manusia, Allah Swt. Bahkan para budak pun setelah kedatangan Islam mendapat hak-hak mereka. Islam memerintahkan para majikan memperlakukan para budak dengan penuh martabat, bahkan dianjurkan membebaskan mereka dengan janji pahala yang berlipat-lipat.

Orang merdeka di level ini berkeyakinan tidak ada penghambaan kecuali pada Allah. Tak ada ketundukkan dan sujud kecuali pada Pemilik alam semesta. Juga tidak ada aturan yang layak ditaati kecuali hukum-hukumNya.

Jangankan bangsa asing, orang tua dan keluarga saja tidak boleh menyandera kemerdekaan mereka. Bukan saja harta tapi jiwa juga siap dijual kepada Allah Swt., satu-satunya Zat yang Mahakuasa atas kehidupan manusia.

Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (TQS. al-Baqarah [9]: 24)

Menurut mereka, tak ada namanya kemerdekaan bila masih ada penghambaan pada sesama mahluk. Apalagi sambil dieksploitasi dan dijadikan babu di negeri sendiri. Juga bukan namanya merdeka kalau manusia masih diperbudak oleh hawa nafsu meski itu jadi konsititusi.

Ustaz Iwan Januar 
Direktur Siyasah Institute 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :