Tinta Media - Negara gagal alias negara bangkrut ternyata bukan isapan jempol. Sri Lanka buktinya. Sangat mengejutkan, negeri bergelar Sailan ini, terhempas krisis ekonomi sangat parah gegara gagal bayar hutang, sebesar 754,8 trilyun rupiah. Dampak terburuk yang dialami Sri Lanka saat ini, tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, kurangnya pasokan listrik dan setiap warga Sri Lanka mesti antri berjam-jam untuk mendapat Bahan Bakar Minyak yang dibatasi stoknya. Rakyat Sri Lanka tidak tahan lagi, ratusan ribu massa merangsek menduduki istana Presiden Gotabaya Rajapaksa, sedangkan kediaman Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe dibakar massa.
Krisis ekonomi yang mendera Sri Lanka, seharusnya menjadi renungan semua negara berkembang, sangat boleh jadi kelak mengikuti jejak Sri Lanka. Terutama negeri-negeri muslim. Renungannya, adalah sistem ekonomi kapitalistik yang menjadi biang kerok hingga Sri Lanka terperosok menjadi negara gagal.
Penerapan ekonomi berhaluan kapitalistik atau ekonomi kapitalisme, terbukti tidak lagi menjadi obat mujarab bagi perbaikan ekonomi umat manusia yang menghantarkan kesejahteraan lebih baik, rakyat suatu negeri justeru terhimpit kesulitan ekonomi berkepanjangan, sementara pusat-pusat ekonomi hanya dikuasai atau dinikmati gerombolan elitis dan para oligarki pemilik modal kuat. Sistem ekonomi kapitalisme demikian, hanya menciptakan jurang menganga antara kelompok kaya dan miskin, sebab ekonomi kapitalisme bertumpu pada prinsip-prinsip ekonomi “Siapa Yang Kuat, Dialah Pemenangnya”.
Pada ilustrasi negara Sri Lanka yang terpuruk krisis ekonomi, merupakan contoh tak terbantahkan dari kejahatan ekonomi kapitalisme. Prinsip-prinsip ekonomi kapitalistik sebagai derivasi dari sekulerisme dan kebebasan ekonomi, sejatinya melahirkan keserakahan ekonomi serta saling eksploitasi sesama manusia. Adagium ekonomi pasar bebas yang digagas Adam Smith, sang pelopor ekonomi kapitalisme, menciptakan ruang bagi manusia untuk saling berebut mengais sumber-sumber ekonomi, saling “cakar-cakaran”. Prinsip-prinsip kemanusiaan serta keadilan ekonomi sangat jauh dari fondasi dasar berdirinya sistem ekonomi kapitalisme.
Pertama, ekonomi kapitalisme, bertumpu kepada prinsip-prinsip kepemilikan ekonomi bebas. Konsekuensinya, semua penguasaan sumber-sumber daya alam sebagai pusat kekuatan ekonomi, dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki modal kuat. Mulai dari produksi sampai distribusi, dari hulu hingga hilir, hanya diperebutkan para elit dan oligarki. Para pemenang ekonomi adalah para pemilik modal serta para elit yang ada di pusat-pusat kekuasaan. Maka bukan hal yang aneh dalam skema ekonomi kapitalisme, sumber-sumber daya alam strategis, seperti sumber daya alam energi, pertambangan, perkebunan, lahan pertanian, dan lain sebagainya, dikendalikan segerombolan para geng elit yang serakah.
Konon proyek-proyek strategis ekonomi Sri Lanka dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Cina dan Jepang. Rakyat Sri Lanka megap-megap dalam penderitaan ekonomi.
Kedua, sumber-sumber pembiayaan ekonomi makro suatu negara, terutama negara miskin dan berkembang adalah utang luar negeri berbasis riba yang menjerat. Sehingga, negara yang gagal bayar berdampak kekurangan cadangan devisa karena terkuras, akibatnya negara terjerembab kebangkrutan ekonomi. Tak mampu membiayai kebutuhan dasar rakyatnya. Sri Lanka adalah contohnya. Terjebak kredit macet dari negara pengutang, Cina utamanya. Gagal bayar, sementara Pemerintah Cina menolak melakukan penjadwalan utang. Lengkap sudah, Pemerintah Sri lanka, minus cadangan devisa apalagi ditambah prilaku para pemimpin Sri Lanka, dibawah rezim Presiden Gotabaya Rajapaksa dan Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe, yang korup dengan gaya hidup hedonis.
Sangat kontras dengan sistem ekonomi Islam. Sumber-sumber kepemilikan ekonomi diatur secara jelas oleh pembuat Syariat, Allah Azza Wajalla. Sistem ekonomi Islam mengatur sumber-sumber kepemilikan ekonomi, yakni kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Prinsip sistem ekonomi Islam bertumpu kepada demi dan untuk kepentingan dakwah, jihad, serta kemaslahatan umat. Sistem ekonomi Islam melarang keras, distribusi ekonomi hanya beredar dikalangan elit dan oligarki atau kalangan borjuis (kelompok orang kaya). Berpijak pada prinsip ini, maka sumber-sumber daya alam, sumber daya energi, perkebunan, kehutanan, pertambangan, yang jumlahnya sangat melimpah tak terhingga, Islam menetapkannya sebagai milik umum, haram bagi geng elit borjuis menguasainya. Negara sebagai fasilitator wajib mendistribusikannya untuk kepentingan jihad dan dakwah, termasuk untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya.
Negara dalam sistem ekonomi Islam, cukup memiliki cadangan devisa guna membiayai kebutuhan hajat hidup rakyatnya yang berasal dari pungutan negara seperti jizyah, kharaj, ghanimah, khumus, sehingga Negara Islam tidak perlu lagi mengais utang atau mengeruk pajak dari rakyatnya. Apalagi utang kepada negara yang memusuhi kaum muslimin termasuk hutang berbasis ribawi sangat terlarang keras.
Yang paling penting sistem ekonomi Islam hendak menciptakan kehidupan ekonomi berbasis ketakwaan kepada Allah, interaksi pergaulan atas dasar tolong menolong (Prinsip Taawun), serta membebaskan manusia menghamba kepada manusia lainnya, menghadirkan manusia merdeka yang hanya menghamba kepada Allah SWT. Sangat berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme, sejatinya melahirkan manusia-manusia serakah, saling mengeksploitasi, relasi kehidupan yang kering dimensi spiritualisme.
Dr. Muh. Sjaiful
Indonesia Justice Monitor