Sistem Sanksi Pidana Islam Menjamin Persamaan Hukum - Tinta Media

Senin, 18 Juli 2022

Sistem Sanksi Pidana Islam Menjamin Persamaan Hukum

Tinta Media - Kasus penembakan hingga tewas Brigpol Nopryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir Yosua menyisakan tanda tanya bagi publik. Dilansir hampir semua pemberitaan nasional, Brigadir Yosua tewas ditembak rekannya sesama polisi di rumah Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo pada Jumat (8/7/2022) pekan lalu.

Masih dilansir semua media sosial dan pemberitaan media online, tentang kejanggalan dibalik tewasnya Brigpol Nopriyansyah, sebagaimana diungkap keluarga mendiang. Jenazahnya, kata Samuel ayah Nopriyansyah, terdapat luka lebam, mata seperti ditusuk, dan ada sayatan luka di jari kelingking. Hal janggal lainnya, ketika Samuel meminta CCTV yang merekam kejadian untuk dibuka kembali, tetapi pihak kepolisian berdalih rusak dan mati total.

Publik akhirnya mempertanyakan kejanggalan tersebut, setelah pihak keluarga mendiang, membeberkan sejumlah misteri kejanggalan di balik kematian Norpryansah. Dari titik pandang ini, semua orang akan terusik perasaan keadilannya, tentu saja proses penegakan hukum pidana harus berjalan sesuai koridor semua orang sama di depan hukum (equality before the law). Artinya, bila sebuah sistem hukum pidana memang menjamin semua orang sama di depan hukum, tentunya aparat penegak hukum, seharusnya bertindak cepat dan bersifat transparan guna menguak apa sesungguhnya dibalik peristiwa yang menjadi penyebab tewasnya Brigpol Nopryansah Yosua Hutabarat.

Manusia secara fitrah, tentu saja, tidak akan terima diperlakukan secara tidak adil ketika menjadi korban dari sebuah kejahatan yang berlangsung secara sistemik. Apalagi jika kejadian perkara pidana sengaja dipetiskan atau ditutupi dengan motif melindungi pihak-pihak tertentu. Mungkin yang mau lindungi adalah seorang petinggi yang ada di lingkaran kekuasaan atau pemangku kepentingan yang memiliki relasi begitu kuat terhadap skandal yang melibatkan oligarki dan geng elitis.

Penegakan hukum pidana negeri ini pernah menyimpan catatan kelam. Salah satunya, adalah kisah seorang gadis berusia 17 tahun, penjual telur, dirudapaksa segerombolan pria di atas sebuah mobil, tepatnya di Kota Jogjakarta, 21 September 1970. Para pelakunya belum terkuak, masih misterius hingga kini. Ilustrasi kasus ini, sebetulnya merupakan fenomena gunung es, masih ada sejumlah besar kasus hukum yang belum terkuak hingga kini. Sebuah aksioma untuk menggambarkan begitu rapuhnya sistem hukum pidana hasil produk berpikir bebas manusia.

Sistem hukum pidana Islam atau yang dikenal dengan istilah sistem uqubat, sangat menjamin penegakan hukum lebih adil serta menempatkan status semua orang sama didepan hukum. Sistem ini berasal dari Sang Pencipta, Allah SWT, pasti memberikan keadilan serta persamaan hukum siapapun juga. Sebuah sistem pidana yang berciri transendental, sebab merupakan produk Wahyu Tuhan Sang maha pencipta, tidak ada satu ruang yang menimpan cacat dan cela sedikitpun. Semua orang pasti merasa tentram dengan jaminan keadilan hukum pidana Islam. Para penegak hukum pidana Islam, dilandasi semangat ketakwaan bukan atas dasar sentimen kelompok atau melindungi oknum elitis tertentu.

Inilah yang menjadi dasar sehingga Baginda Rasullullah, menolak memberikan amnesti pengampunan atas anak perempuan pembesar Quraisy yang terbukti mencuri dari sanksi potong tangan. Lisan mulia Baginda Nabi bahwa kehancuran suatu bangsa karena apabila yang mencuri adalah kaum bangsawan, hukum tidak ditegakkan, tetapi jika yang mencuri adalah kalangan lemah dan miskin, hukum baru ditegakkan. Beliau melanjutkan “Demi Allah seandainya putriku Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya”.

Keadilan hukum pidana Islam juga terpatri indah ketika hakim pengadilan (qadhi) menolak pengaduan Imam Ali, sebagai seorang kepala negara saat itu, atas tuduhan pencurian baju besi milik Ali oleh seorang laki-laki Yahudi sebab hakim menolak kesaksian yang diajukan sebagai barang bukti. Kata hakim, kesaksian yang diajukan sang khalifah, tertolak karena cacat secara formil. Sebabnya, yang diajukan sebagai saksi adalah anak dan pembantu Sang Khalifah.

Oleh: Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H 
Indonesia Justice Monitor


Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :