Tinta Media - Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin menegaskan, adanya resesi global mengancam seluruh negara yang menerapkan siatem ekonomi kapitalisme .
"Sesungguhnya, ancaman resesi global mengancam seluruh negara-negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme," tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (24/7/2022).
Khozinudin menyatakan dalam laporan Global Economic Prospect June 2022 (GEP), Bank Dunia menyebutkan tekanan inflasi yang begitu tinggi di banyak negara tak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. "Hal ini menjadi ancaman resesi ekonomi global yang sulit dihindari negara-negara di dunia," ungkapnya.
Ia pun menjelaskan adanya negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang diprediksi ikut terseret ke dalam jurang resesi akibat inflasi yang terus meningkat. "Tak hanya negara maju, negara berkembang seperti Indonesia pun berisiko mengalami resesi ekonomi," imbuhnya.
Berdasarkan hasil survei Bloomberg, lanjutnya, terdapat 15 negara yang berisiko mengalami resesi. "Dalam daftar tersebut, Indonesia berada di peringkat ke-14," tambahnya.
Khozinudin pun memaparkan urutan prosentase negara yang berpotensi resesi. "Sri Lanka menempati posisi pertama negara berpotensi resesi dengan presentase 85%, kemudian New Zealand 33%, Korea Selatan dan Jepang dengan presentase 25%. Sedangkan China, Hongkong, Australia, Taiwan, dan Pakistan dengan presentase 20%. Malaysia 13%, Vietnam dan Thailand 10%, Filipina 8%, Indonesia 3%, dan India 0%," jelasnya.
Ia juga mengemukakan karena kegagalan mengelola ekonomi, sejumlah pemimpin negara mengundurkan diri. "Boris Johnson mengundurkan diri dari posisi Perdana Menteri Inggris. Menyusul PM Italia Mario Draghi yang juga mengundurkan diri," ungkapnya.
Masih menurut Khozinudin, adapun Presiden dan PM Sri Lanka, dipaksa mundur oleh rakyatnya karena gagal mengelola perekonomian yang menyebabkan Sri Lanka berada di jurang kehancuran.
Dia membeberkan di negeri kampiunnya demokrasi, adanya lonjakan harga barang terus berlangsung di Amerika Serikat. Ditandai dengan laju inflasi tahunan yang mencapai 9,1% pada Juni, tertinggi sejak November 1981. "Pasar semakin khawatir The Federal Reserve akan mengambil langkah yang semakin agresif dalam menaikkan suku bunga dan meningkatkan ancaman resesi," pungkasnya.[] Nita Savitri