Prof. Suteki: Para Pencari Keadilan Menuntut MK Dibubarkan - Tinta Media

Jumat, 15 Juli 2022

Prof. Suteki: Para Pencari Keadilan Menuntut MK Dibubarkan

Tinta Media - Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum., menyatakan bahwa para pencari keadilan menuntut Mahkamah Konstitusi (MK) dibubarkan.

"Atas ketidakpuasan terhadap putusan yang berulangkali sama tersebut, para pencari keadilan akhirnya tidak percaya kepada majelis hakim MK bahkan menuntut agar MK dibubarkan," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (14/7/2022).

Menurutnya, putusan MK sangat klasik, konvensional dan cenderung menggunakan mantra hukum modern dengan dalil black letter law. Putusannya berputar dari tiga opsi, kalau tidak NO (Niet Ontvankelijke Verklaard yang merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil), tidak punya legal standing dan alasan open legal policy.

"Kita perlu prihatin karena terkesan MK telah kehilangan marwah," ujarnya.

Prof. Suteki menilai marwah itu hilang karena para hakim MK bertindak seperti hakim biasa yang tidak mau bahkan takut melakukan terobosan hukum bahkan terkungkung oleh bunyi-bunyi mantra peraturan yang jika diterapkan tidak akan menghadirkan keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the people).

"Hukum seringkali menjadi sebuah mantra ajaib dapat dipakai oleh penguasa sebagai sarana melanggengkan kekuasaannya (status quo)," bebernya.

Ia mengungkapkan bahwa mantra ini bisa mengoyak siapapun penghalang yang menghadang kekuasaan. Dengan dalih atas nama hukum semua mulut yang terbuka bisa bungkam, tangan yang membentang bisa diringkus dan langkah kaki pun bisa dihentikan. "Ini namanya hukum dipakai sebagai tameng kekuasaan yang biasa kita sebut sebagai alat legitimasi kekuasaan. Oleh Brian Z Tambahan disebut sebagai The Thinnest Rule of Law (ROL)," ungkapnya.

Ia menjelaskan bahwa mantra ROL paling tipis ini akan lebih dahsyat lagi ketika diilhami oleh ideologi yang diklaim sebagai sosok mulia laksana berhala yang hendak disembah-sembah lantaran dianggap sebagai kalimat suci yang dianggap mampu mendatangkan kebaikan dan keburukan. Ideologi suci dan mantra ROL telah berkolaborasi menikam jantung misi negara hukum itu sendiri. " Misi negara hukum kita pun bukan sebatas mengagungkan tameng kekuasaan bernama black letter law, namun lebih menuju pada penghormatan (to respect), pemenuhan (fulfill) dan perlindungan (protect) yang dirangkum dalam Human Right Dignity," paparnya.

Ia menyatakan lompatan raksasa dari misi ROL yang tertinggi adalah tidak sekedar berorientasi pada legitimacy dan human right dignity tetapi pada misi untuk mewujudkan Social Welfare. Ini yang disebut sebagai The Thickets ROL. "Hal ini tentu tidak mungkin bisa dicapai ketika jalan menuju negara hukum justru secara paksa dibelokkan ke arah negara kekuasaan. "Jurang tengah menanti jatuhnya negara hukum ketika pilar-pilar negara hukum mulai dirobohkan oleh penguasa yang hendak melanggengkan dan mengokohkan tampuk kepemimpinannya," jelasnya.

Banyak contoh, lanjutnya,  yang dapat menjelaskan kasus ini, misalnya kasus pembubaran ormas yang juga sempat melibatkan MK terutama ketika dilakukan judicial review terhadap Perppu Ormas 2017. "Pembubaran ormas yang tidak ditempuh melalui Due Process of Law. nampaknya turut berkontribusi menggiring negara hukum itu ke bibir jurang negara kekuasaan itu," tukasnya.

"Inilah kalau hukum itu bersifat represif bukan responsif apalagi progresif. Mahkamah Konstitusi yang seharusnya bisa membaca hukum dengan moral (Moral Reading) ternyata sama dengan peradilan yang lainnya," ucapnya.

"Membaca hukum dengan kacamata kuda. Mengagungkan cara berpikir secara automat mechanistic. Cara berpikir ini mengandalkan bunyi Undang-undang sehingga hakim seolah hanya menjadi corong atau mulut UU (la bounce denla loi)," imbuhnya.

"Padahal kita tahu, sesuai dengan UU No. 48 Tahun 1009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa: Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat," tambahnya.

Ditambah, lanjutnya, aspek transendental dalam Irah-irahan putusan hakim yang berbunyi: Demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Ia mempertanyakan, Apa arti semua ini? Hal ini sesungguhnya bermakna bahwa hakim dalam memutus perkara tidak boleh hanya berdasarkan bunyi-bunyi pasal UU melainkan diberikan hak untuk berinovasi dalam menyelesaikan perkara.

"Dan di sinilah tampak jelas bagaimana relasi antara negara dan agama dalam penegakan hukum di Indonesia," pungkasnya.[] Ajira
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :