Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnu Wardana menegaskan slogan pengadilan banyak tapi keadilan langka menjadi reputasi penegakan hukum di Indonesia.
“Reputasi penegakan hukum di Indonesia menunjukkan slogan pengadilan banyak tapi keadilan langka dikuatkan dengan data itu bukan slogan kosong-kosong,” tuturnya dalam Live Kabar Petang: Penegakan Hukum Harus Adil dan Amanah, Jumat (22/7/2022), di kanal Youtube Khilafah News.
Menurutnya, bukan pernyataan kosong banyak pihak merasa sulit mempercayai penegakan hukum di tanah air hari ini.
“Survei yang dilakukan Indonesia Political Opinion (IPO) pada tahun 2020 memperlihatkan bahwa ketidakpuasan publik terhadap penegakan hukum itu mencapai 64 persen. Ini tertinggi di antara kebijakan-kebijakan yang lain,” ucapnya.
Artinya kebijakan penegakan hukum itu tidak dipercaya oleh masyarakat. Ia mengungkapkan data yang dilansir oleh World Justice Project tahun 2021.
“Mengungkap tentang indeks negara hukum Indonesia tahun 2021 turun dari tahun sebelumnya,” ungkapnya.
Ia melanjutkan pendapat Ahli Rule of Law Index WJP Erwin Natosmal Oemar. “Bahwa peringkat index negara hukum di Indonesia dalam konteks global merosot. Saat ini peringkat Indonesia itu 68 dari 139 negara atau peringkat 9 dari 15 negara di Benua Asia Pasifik,” lanjutnya.
Ini menunjukkan citra penegakan hukum terkait dengan slogan pengadilan banyak tetapi keadilan langka. “Untuk mencari keadilan itu sulit bukan kosong-kosong,” bebernya.
Ia pun mengatakan, ada data yang bertolak belakang antara Survei Indikator Politik Indonesia dengan laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sepanjang Januari-September 2021.
“Survei Indikator Politik Indonesia mendapatkan info bahwa kepercayaan terhadap Kepolisian Republik Indonesia itu tinggi yakni 80,2 persen. Sementara Komnas HAM pada tahun 2020 melaporkan institusi kepolisian itu paling banyak diadukan mencapai 758 kasus,” katanya.
Ia menambahkan, laporan KontraS terkait kasus yang terjadi di institusi kepolisian.
“KontraS sendiri mencatat ada 36 kasus penyiksaan yang dilakukan kepolisian, 7 kasus penyiksaan dilakukan oleh TNI. Dan itu termasuk yang tertinggi apa yang dilakukan oleh kepolisian terkait dengan penyiksaan pada masyarakat sipil,” ujarnya.
Menurutnya, hal tersebut mengakibatkan orang banyak yang skeptis terhadap penegakan keadilan di negeri ini.
“Bahkan pakar hukum Prof Satjipto Rahardjo menyebutkan hukum yang berjalan saat ini lebih banyak memihak pada penguasa, pengusaha, politisi serta semakin memarginalkan rakyat,” tuturnya.
Baginya penegakan hukum di tanah air bagaikan jauh panggang dari api. Ia menilai data-data ini semestinya dijadikan kepolisian sebagai otokritik bagi kasus yang ada sekarang menjadi sorotan publik.
“Betul-betul ditunjukkan penegakan hukum yang adil dan amanah,” ucapnya.
Pudarnya Sikap Amanah
Persoalan hukum itu, menurutnya, bersumber pada dua hal, yakni:
Pertama, hukum itu sendiri. “Istilahnya kata peradilan yang digunakan dalam mengadili aktivitas pelanggaran hukum itu sendiri,” tuturnya.
Kedua, moralitas para penegak hukum. Ia mengatakan hukum itu harus adil. Timbul berbagai pertanyaan terkait hukum yang adil itu saat ini, apakah sudah terwujud.
“Apakah hukum yang ada saat ini sudah bisa dikatakan adil, berpihak pada semua?” katanya.
Ia menjelaskan bahwa moralitas dari penegak hukum atau dalam bahasa yang lebih dekatnya Islam, amanah. Apakah amanah atau tidak para penegak hukumnya. “Bicara amanah atau tidak maka kita bisa mengambil satu data penting, data dari Divisi Bidang Profesi dan Pengamanan Mabes Polri itu menyebutkan bahwa lembaga kepolisian sarat dengan persoalan,” jelasnya.
Ia membeberkan setidaknya ada 1694 kasus yang termasuk dalam pelanggaran disiplin. “Ditambah 803 kasus terkait kode etik, kemudian 147 kasus pidana, dari Januari sampai Oktober 2021, tidak ada setahun kasusnya seperti ini,” bebernya.
Artinya, persoalan moralitas penegak hukum ini menjadi pertanyaan besar.
“Anda bayangkan bahwa tata hukum kita, peraturan untuk hukum di negeri ini, itu sudah tidak benar, tidak memberikan keberpihakan pada semua, ditambah dengan para penegak hukumnya yang tidak amanah,” tuturnya.
Ia menyatakan kondisi ini menjadi persoalan yang luar biasa. Amanah itu menjadi salah satu syarat utama penegakan keadilan. “Hukum apa pun apabila tidak amanah penegak hukumnya maka sarat akan persoalan. Karena aparat penegak hukum wajib menegakkan hukum itu tanpa pandang bulu meskipun berhadapan dengan rekan korpsnya,” ujarnya.
Ia kembali mempertanyakan keberanian di dalam tubuh Polri sendiri. “Apakah berani atau tidak menyelesaikan tanpa pandang bulu, termasuk di kalangan elit. Kalau ternyata elitnya ini ada yang terkena kasus,” pungkasnya.[] Ageng Kartika
“Reputasi penegakan hukum di Indonesia menunjukkan slogan pengadilan banyak tapi keadilan langka dikuatkan dengan data itu bukan slogan kosong-kosong,” tuturnya dalam Live Kabar Petang: Penegakan Hukum Harus Adil dan Amanah, Jumat (22/7/2022), di kanal Youtube Khilafah News.
Menurutnya, bukan pernyataan kosong banyak pihak merasa sulit mempercayai penegakan hukum di tanah air hari ini.
“Survei yang dilakukan Indonesia Political Opinion (IPO) pada tahun 2020 memperlihatkan bahwa ketidakpuasan publik terhadap penegakan hukum itu mencapai 64 persen. Ini tertinggi di antara kebijakan-kebijakan yang lain,” ucapnya.
Artinya kebijakan penegakan hukum itu tidak dipercaya oleh masyarakat. Ia mengungkapkan data yang dilansir oleh World Justice Project tahun 2021.
“Mengungkap tentang indeks negara hukum Indonesia tahun 2021 turun dari tahun sebelumnya,” ungkapnya.
Ia melanjutkan pendapat Ahli Rule of Law Index WJP Erwin Natosmal Oemar. “Bahwa peringkat index negara hukum di Indonesia dalam konteks global merosot. Saat ini peringkat Indonesia itu 68 dari 139 negara atau peringkat 9 dari 15 negara di Benua Asia Pasifik,” lanjutnya.
Ini menunjukkan citra penegakan hukum terkait dengan slogan pengadilan banyak tetapi keadilan langka. “Untuk mencari keadilan itu sulit bukan kosong-kosong,” bebernya.
Ia pun mengatakan, ada data yang bertolak belakang antara Survei Indikator Politik Indonesia dengan laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sepanjang Januari-September 2021.
“Survei Indikator Politik Indonesia mendapatkan info bahwa kepercayaan terhadap Kepolisian Republik Indonesia itu tinggi yakni 80,2 persen. Sementara Komnas HAM pada tahun 2020 melaporkan institusi kepolisian itu paling banyak diadukan mencapai 758 kasus,” katanya.
Ia menambahkan, laporan KontraS terkait kasus yang terjadi di institusi kepolisian.
“KontraS sendiri mencatat ada 36 kasus penyiksaan yang dilakukan kepolisian, 7 kasus penyiksaan dilakukan oleh TNI. Dan itu termasuk yang tertinggi apa yang dilakukan oleh kepolisian terkait dengan penyiksaan pada masyarakat sipil,” ujarnya.
Menurutnya, hal tersebut mengakibatkan orang banyak yang skeptis terhadap penegakan keadilan di negeri ini.
“Bahkan pakar hukum Prof Satjipto Rahardjo menyebutkan hukum yang berjalan saat ini lebih banyak memihak pada penguasa, pengusaha, politisi serta semakin memarginalkan rakyat,” tuturnya.
Baginya penegakan hukum di tanah air bagaikan jauh panggang dari api. Ia menilai data-data ini semestinya dijadikan kepolisian sebagai otokritik bagi kasus yang ada sekarang menjadi sorotan publik.
“Betul-betul ditunjukkan penegakan hukum yang adil dan amanah,” ucapnya.
Pudarnya Sikap Amanah
Persoalan hukum itu, menurutnya, bersumber pada dua hal, yakni:
Pertama, hukum itu sendiri. “Istilahnya kata peradilan yang digunakan dalam mengadili aktivitas pelanggaran hukum itu sendiri,” tuturnya.
Kedua, moralitas para penegak hukum. Ia mengatakan hukum itu harus adil. Timbul berbagai pertanyaan terkait hukum yang adil itu saat ini, apakah sudah terwujud.
“Apakah hukum yang ada saat ini sudah bisa dikatakan adil, berpihak pada semua?” katanya.
Ia menjelaskan bahwa moralitas dari penegak hukum atau dalam bahasa yang lebih dekatnya Islam, amanah. Apakah amanah atau tidak para penegak hukumnya. “Bicara amanah atau tidak maka kita bisa mengambil satu data penting, data dari Divisi Bidang Profesi dan Pengamanan Mabes Polri itu menyebutkan bahwa lembaga kepolisian sarat dengan persoalan,” jelasnya.
Ia membeberkan setidaknya ada 1694 kasus yang termasuk dalam pelanggaran disiplin. “Ditambah 803 kasus terkait kode etik, kemudian 147 kasus pidana, dari Januari sampai Oktober 2021, tidak ada setahun kasusnya seperti ini,” bebernya.
Artinya, persoalan moralitas penegak hukum ini menjadi pertanyaan besar.
“Anda bayangkan bahwa tata hukum kita, peraturan untuk hukum di negeri ini, itu sudah tidak benar, tidak memberikan keberpihakan pada semua, ditambah dengan para penegak hukumnya yang tidak amanah,” tuturnya.
Ia menyatakan kondisi ini menjadi persoalan yang luar biasa. Amanah itu menjadi salah satu syarat utama penegakan keadilan. “Hukum apa pun apabila tidak amanah penegak hukumnya maka sarat akan persoalan. Karena aparat penegak hukum wajib menegakkan hukum itu tanpa pandang bulu meskipun berhadapan dengan rekan korpsnya,” ujarnya.
Ia kembali mempertanyakan keberanian di dalam tubuh Polri sendiri. “Apakah berani atau tidak menyelesaikan tanpa pandang bulu, termasuk di kalangan elit. Kalau ternyata elitnya ini ada yang terkena kasus,” pungkasnya.[] Ageng Kartika