Tinta Media - Narator MMC menyatakan bahwa di tangan kaum muslimin dunia pengobatan mengalami perkembangan pesat.
“Di tangan kaum muslimin dunia pengobatan mengalami perkembangan pesat,” tuturnya dalam Program History Insight: Kaum Muslim Peletak Dasar Ilmu Obat Modern, Ahad (10/7/2022) di kanal Youtube Muslimah Media Center.
Ia mengungkapkan kaum muslimin memang bukan yang pertama menemukan teknik pengobatan. Tapi kaum muslimin mempelajarinya dari bangsa Yunani Kuno. Sehingga berhasil menemukan obat-obatan dalam bentuk yang efektif.
“Namun berkat kecerdasan dan pengetahuan kaum muslim di bidang kimia. Obat-obatan kimia ditemukan dalam bentuk yang efektif,” ungkapnya.
Para apoteker, ahli farmasi, dan dokter pada masa kekhilafahan telah menuliskan tentang tumbuhan obat, cara menggunakannya disertai takaran/dosis yang tepat.
“Para ilmuwan muslim juga merupakan pihak pertama yang menginovasi sirop yaitu minuman manis yang disarikan dari buah pohon karnab dan dicampur gula. Inovasi ini kemudian diadopsi oleh bangsa barat yang hingga hari ini populer dengan istilah sirop,” bebernya.
“Para ilmuwan muslim ini menggunakan inovasi sirop ini pada obat yang pahit agar pasien dapat meminum obat tanpa tersiksa dengan rasa pahit,” lanjutnya.
Ia menuturkan tentang para dokter muslim yang lihai dalam membuat berbagai perubahan obat bubuk dan salep.
“Mereka (dokter muslim) telah sampai pada pembuatan salep yang bisa mengering seperti salep-salep luka modern,” tuturnya.
Ia menegaskan Khalifah memerintahkan ada kontrol obat-obatan yang diracik oleh para ahli farmasi. Peracik obat ini harus ahli, amanah, dan bekerja dengan ikhlas.
“Bukan hanya sekedar membuat obat khalifah pun memerintahkan ada kontrol obat-obatan yang diracik oleh para ahli farmasi karena menyangkut nyawa manusia sehingga seorang peracik obat harusnya ahli, amanah, dan bekerja dengan ikhlas,” tegasnya.
Aktivitas pengawasan ini dilakukan oleh seorang Muhtasib, yakni semacam badan pengawas obat-obatan.
“Di masa Khalifah Abdullah Al-Ma’mun (218 H), diadakan uji amanah terhadap para farmakologi. Setelahnya Khalifah al-Mutashim (221 H) juga memerintahkan agar memberikan izin bekerja hanya kepada ahli farmasi yang teruji keamanannya,” bebernya.
Kemudian sistem kontrol terhadap obat-obatan ini berpindah ke Eropa dan sampai sekarang kata-kata Muhtasib masih dipakai dalam bahasa Spanyol dengan tetap menjaga lafal arabnya.
Menurutnya, para ilmuwan dan dokter muslim memanfaatkan tenaga dan pikirannya demi kesehatan umat.
“Mereka menemukan cara-cara terbaik bahkan belum ada sebelumnya untuk memudahkan pasien mengonsumsi obat mereka, tidak sembarangan meracik obat hingga bisa mencelakakan pasien,” tuturnya.
“Mereka begitu amanah dalam menjalankan tugas. Begitu pula para khalifah yang memperhatikan pelayanan kesehatan pada rakyatnya,” urainya.
Para khalifah memfasilitasi pendidikan seluruh warga. “Sehingga muncul banyak farmakolog, apoteker, dan dokter bagi rakyat,” ujarnya.
Hal ini sangat berbeda dengan kondisi hari ini. Kesehatan menjadi komoditas yang diperdagangkan dalam sistem kapitalisme.
“Hari ini banyak obat-obatan berbahaya dan tidak berdasarkan pengalaman, tiada jaminan mutlak keamanan obat bagi rakyat tanpa adanya kontrol pemerintah, pemakaian obat-obatan di masyarakat pun sering disalahgunakan,” ucapnya.
Ia mengatakan pemerintah tidak serius memfasilitas para farmakolog, apoteker, dan dokter dalam mengembangkan riset untuk menemukan obat-obat baru dan halal. Hanya Khilafah yang menjamin kesehatan masyarakat secara mutlak. Contohnya pada saat pandemi Covid-19 melanda.
“Maka terbukti Khilafah yang mampu memfasilitasi dan menjamin kesehatan masyarakat secara mutlak,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
“Di tangan kaum muslimin dunia pengobatan mengalami perkembangan pesat,” tuturnya dalam Program History Insight: Kaum Muslim Peletak Dasar Ilmu Obat Modern, Ahad (10/7/2022) di kanal Youtube Muslimah Media Center.
Ia mengungkapkan kaum muslimin memang bukan yang pertama menemukan teknik pengobatan. Tapi kaum muslimin mempelajarinya dari bangsa Yunani Kuno. Sehingga berhasil menemukan obat-obatan dalam bentuk yang efektif.
“Namun berkat kecerdasan dan pengetahuan kaum muslim di bidang kimia. Obat-obatan kimia ditemukan dalam bentuk yang efektif,” ungkapnya.
Para apoteker, ahli farmasi, dan dokter pada masa kekhilafahan telah menuliskan tentang tumbuhan obat, cara menggunakannya disertai takaran/dosis yang tepat.
“Para ilmuwan muslim juga merupakan pihak pertama yang menginovasi sirop yaitu minuman manis yang disarikan dari buah pohon karnab dan dicampur gula. Inovasi ini kemudian diadopsi oleh bangsa barat yang hingga hari ini populer dengan istilah sirop,” bebernya.
“Para ilmuwan muslim ini menggunakan inovasi sirop ini pada obat yang pahit agar pasien dapat meminum obat tanpa tersiksa dengan rasa pahit,” lanjutnya.
Ia menuturkan tentang para dokter muslim yang lihai dalam membuat berbagai perubahan obat bubuk dan salep.
“Mereka (dokter muslim) telah sampai pada pembuatan salep yang bisa mengering seperti salep-salep luka modern,” tuturnya.
Ia menegaskan Khalifah memerintahkan ada kontrol obat-obatan yang diracik oleh para ahli farmasi. Peracik obat ini harus ahli, amanah, dan bekerja dengan ikhlas.
“Bukan hanya sekedar membuat obat khalifah pun memerintahkan ada kontrol obat-obatan yang diracik oleh para ahli farmasi karena menyangkut nyawa manusia sehingga seorang peracik obat harusnya ahli, amanah, dan bekerja dengan ikhlas,” tegasnya.
Aktivitas pengawasan ini dilakukan oleh seorang Muhtasib, yakni semacam badan pengawas obat-obatan.
“Di masa Khalifah Abdullah Al-Ma’mun (218 H), diadakan uji amanah terhadap para farmakologi. Setelahnya Khalifah al-Mutashim (221 H) juga memerintahkan agar memberikan izin bekerja hanya kepada ahli farmasi yang teruji keamanannya,” bebernya.
Kemudian sistem kontrol terhadap obat-obatan ini berpindah ke Eropa dan sampai sekarang kata-kata Muhtasib masih dipakai dalam bahasa Spanyol dengan tetap menjaga lafal arabnya.
Menurutnya, para ilmuwan dan dokter muslim memanfaatkan tenaga dan pikirannya demi kesehatan umat.
“Mereka menemukan cara-cara terbaik bahkan belum ada sebelumnya untuk memudahkan pasien mengonsumsi obat mereka, tidak sembarangan meracik obat hingga bisa mencelakakan pasien,” tuturnya.
“Mereka begitu amanah dalam menjalankan tugas. Begitu pula para khalifah yang memperhatikan pelayanan kesehatan pada rakyatnya,” urainya.
Para khalifah memfasilitasi pendidikan seluruh warga. “Sehingga muncul banyak farmakolog, apoteker, dan dokter bagi rakyat,” ujarnya.
Hal ini sangat berbeda dengan kondisi hari ini. Kesehatan menjadi komoditas yang diperdagangkan dalam sistem kapitalisme.
“Hari ini banyak obat-obatan berbahaya dan tidak berdasarkan pengalaman, tiada jaminan mutlak keamanan obat bagi rakyat tanpa adanya kontrol pemerintah, pemakaian obat-obatan di masyarakat pun sering disalahgunakan,” ucapnya.
Ia mengatakan pemerintah tidak serius memfasilitas para farmakolog, apoteker, dan dokter dalam mengembangkan riset untuk menemukan obat-obat baru dan halal. Hanya Khilafah yang menjamin kesehatan masyarakat secara mutlak. Contohnya pada saat pandemi Covid-19 melanda.
“Maka terbukti Khilafah yang mampu memfasilitasi dan menjamin kesehatan masyarakat secara mutlak,” pungkasnya. [] Ageng Kartika