Tinta Media - Pakar Fikih Kontemporer KH. M. Shidiq al-Jawi, S.Si., M.S.I. berpendapat, haram hukumnya berpuasa Arafah berbeda dengan waktu wukuf di Arafah.
“Haram hukumnya Muslim berpuasa Arafah pada hari yang berbeda dengan waktu wukuf di Arafah. Inilah pendapat terkuat (rajih) dalam masalah ini,” ungkapnya kepada Tinta Media, Kamis (30/6/2022).
Ia merujuk dua dalil sebagai sandaran pendapatnya. “Pertama, karena puasa hari Arafah yang berbeda dengan hari wukuf di Arafah telah menyimpang dari definisi syariah (al ta’rif al syar’i) untuk puasa hari Arafah,” jelasnya.
Untuk menguatkan pendapatnya, Kiai Shiddiq merujuk penjelasan Badruddin Al 'Aini, dalam kitab 'Umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari, syarah hadits no. 603, 5/339; Ibnu Qudamah, Al Mughni, 5/44. “Imam Badruddin Al-'Aini menjelaskan bahwa "Hari Arafah" (yauma 'Arafah) menunjukkan waktu (al zamaan) dan tempat (al makaan) sekaligus. Dari segi waktu, hari Arafah adalah hari ke-9 bulan Dzulhijjah. Sedang dari segi tempat, hari Arafah adalah hari di mana para jamaah haji berwukuf di Arafah,” terangnya.
Jadi, lanjutnya, definisi syar'i untuk ‘Hari Arafah’ (yauma 'Arafah) adalah hari yang para jamaah haji berwukuf di Arafah (al yaumu alladzi yaqifu fiihi al hajiij bi-'arafah).
“Definisi inilah yang dianggap kuat (rajih) oleh Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al 'Ilmiyyah wal Ifta (Dewan Tetap untuk Pengkajian Ilmiah dan Fatwa Saudi) di bawah pimpinan Syeikh Abdul Aziz bin Baz, juga oleh Lajnah Al Ifta Al Mashriyyah (Dewan Fatwa Mesir), Syeikh Hisamuddin 'Ifanah dari Yordania, Syeikh Abdurrahman As Sahiim, dan lain-lain,” tegasnya dengan mengatakan bahwa pendapat tersebut dirujuk dari Abu Muhammad bin Khalil, dalam kitab An Nuur As Saathi’ min Ufuq Al Thawaali’ fi Tahdiid Yaumi ‘Arafah Idzaa Ikhtalafal Mathaali’, halaman 3.
Kiai Shiddiq menegaskan bahwa definisi tersebut didasarkan pada beberapa dalil hadis. Di antaranya sabda Rasulullah SAW,"Arafah adalah hari yang kamu kenal." ('arafah yauma ta'rifuun). (HR. Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 5/176, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami', no 4224).
“Maka dari itu, jika seorang Muslim berpuasa Arafah pada hari yang dianggapnya tanggal 9 Dzulhijjah, namun bukan hari wukuf di Arafah, misalnya berpuasa satu hari sebelumnya maupun sesudahnya, berarti dia telah menyalahi hukum syariah,” simpulnya.
Padahal jelas Kiai Shiddiq, berdasarkan hadis riwayat Bukhari no 2550 dan Muslim no 1718, Islam telah melarang seorang Muslim untuk melakukan amal yang menyalahi hukum syariah, berdasarkan dalil umum dari sabda Rasulullah SAW, "Barangsiapa melakukan suatu perbuatan (amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak."
“Kedua, karena berpuasa Arafah secara berbeda dengan waktu wukuf di Arafah telah menyalahi patokan wajib untuk menentukan Idul Adha dan rangkaian manasik haji di bulan Dzulhijjah, yaitu rukyatul hilal yang dilakukan oleh Wali Mekkah (penguasa Mekah),” paparnya.
Dengan kata lain, sambungnya, patokannya bukanlah hisab, dan juga bukan rukyatul hilal di masing-masing negeri Islam berdasarkan prinsip ikhtilaful mathali' (perbedaan mathla').
“Yang lebih tepat, perbedaan mathla' tidak dapat dijadikan patokan (laa 'ibrata bikhtilaf al mathali'), karena telah terdapat dalil khusus yang menunjukkan bahwa penentuan Idul Adha, termasuk waktu manasik haji seperti wukuf di Arafah, wajib mengikuti rukyatul hilal Wali Mekah, bukan yang lain,” tegasnya.
“Jika Wali Mekah tidak berhasil merukyat hilal, barulah kemudian Wali Mekah mengamalkan rukyat dari negeri-negeri Islam di luar Mekah,” tambahnya.
Kiai Shiddiq menyertakan dalil yang dirujuk dari hadis riwayat Abu Dawud, hadis no 2340. Dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali Ra dari Jadilah Qais, dia berkata, "Amir (penguasa) Mekah berkhutbah kemudian dia berkata, "Rasulullah SAW telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan manasik haji berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya."
Ia mengatakan, Imam Daruquthni berkata, "Hadis ini isnadnya muttashil dan shahih.” Lihat Sunan Ad Daruquthni, 2/267. Syeikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud(2/54) berkata, "Hadis ini shahih."
Hadis ini, menurutnya, menunjukkan bahwa yang mempunyai otoritas menetapkan hari-hari manasik haji, seperti hari Arafah dan Idul Adha, adalah Amir Mekah (penguasa Mekah), bukan yang lain.
“Maka berpuasa Arafah secara berbeda dengan hari Arafah karena mengikuti rukyat masing-masing negeri Islam, haram hukumnya, karena telah meninggalkan patokan wajib yang ditetapkan Rasulullah SAW, yaitu rukyatul hilal penguasa Mekah,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun