Tinta Media - "Menanggapi upaya berbagai Kementerian untuk memerangi yang mereka sebut dengan radikalisme, saya sebagai guru besar di bidang hukum, merasa prihatin karena pengelolaan negara ini tidak lagi didasarkan prinsip negara hukum," ungkap Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Suteki kepada Tinta Media (1/7/2022).
Menurutnya, hal ini bertentangan dengan pasal 1 ayat 3 UUD 1945. "Indonesia ialah negara hukum. Pelarangan terhadap tindakan, pemikiran yang dilakukan oleh warga negara harus diatur oleh Undang-undang, tidak cukup dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) apalagi hanya dengan aplikasi ASN No Radikal," lanjutnya.
Ia berkata, upaya 'pembersihan' paparan radikalisme terus digencarkan. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) bersama Kementerian Agama, kepala BNPT, kepala BKN serta kepala daerah lainnya telah meluncurkan aplikasi ASN No Radikal. "Aplikasi ini ditujukan untuk membasmi paham radikalisme di lingkup Pegawai Negeri Sipil (PNS)," ujarnya.
"Menguatkan upaya tersebut, Menteri Agama sebelum Yakult, Fachrul Razi memberi usulan khusus terkait penerimaan CPNS. Ia meminta seleksi CPNS dibuat lebih ketat dan tidak menerima peserta-peserta yang terindikasi memiliki paham keagamaan tertentu seperti pro khilafah," lanjutnya.
Sebelumnya, kata Suteki, upaya pemerintah untuk mewujudkan birokrasi yang bebas dari paham Radikalisme dilakukan lewat penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) penanganan Radikalisme ASN oleh Sebelas Kementerian dan lembaga. Setelah itu, ada Surat Edaran (SE) Bersama tertanggal 25 Januari 2022 tentang upaya pembersihan ASN terpapar Radikalisme. Menteri PAN-RB dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) berkomitmen untuk melakukan langkah tegas guna mencegah Aparatur Sipil Negara (ASN) dari paham Radikalisme.
"SE Bersama merupakan tindak lanjut dari Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang larangan kegiatan penggunaan simbol dan atribut, serta penghentian kegiatan FPI yang diterbitkan 30 Desember 2020 lalu. Selain itu, SE Bersama ini juga menyebutkan beberapa organisasi terlarang dan ormas yang telah dicabut status badan hukumnya, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI), Jamaah Islamiyah, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Front Pembela Islam (FPI)," ungkapnya.
Sementara itu, menurutnya, tidak gampang membuktikan seseorang terpapar radikalisme sesuai dengan koridor hukum. Yang sering dipakai adalah koridor politik. "Asal tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, asal mengamalkan agama secara taat, apakah langsung dikatakan terpapar Radikalisme?" tanyanya.
Ia mengatakan, urusan ideologi negeri ini sudah dibingkai dengan UU Ormas pasal 59, Tap MPR no.XXV MPR 1966. Yang dilarang adalah Ateisme, Komunisme, Marxisme dan Lenimisme. "Sedangkan nomenklatur dan paham lain merupakan pasal karet yang sulit dipastikan dan cenderung mengikuti kehendak penguasa. Ini yang seharusnya dihindari," pungkasnya.[] Yupi UN