Tinta Media - Majalah Tempo, 2 Juli 2022, menurunkan berita cukup provokatif bertajuk “Kantong Bocor Dana Umat”. Isinya tudingan terhadap lembaga donasi Aksi Cepat Tanggap disingkat ACT yang menilep dana umat Islam hingga milyaran rupiah. Seperti gayung bersambut, sejumlah media elektronik dengan irama yang sama, rame-rame memojokkan sejumlah mantan pengurus ACT sebagai pelaku utama, penilepan.
Tak mau kalah, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap terdapat temuan aliran dana ACT ke negara-negara yang berisiko tinggi dalam pembiayaan terorisme. Tidak main-main, PPATK, meneruskan dugaan laporan temuannya ke Densus dan BNPT, dua lembaga yang sangat serius menyorot gerakan Islam dikaitkan dengan terorisme.
Mendalami dugaan penyelewengan dana oleh sejumlah pengurus ACT, sebab yang dikelola adalah dana umat, memang tidak salah, sebagai bentuk kewaspadaan umat Islam terhadap lembaga donasi yang ternyata berkedok hanya memperkaya sekelompok orang.
Sikap adil dan proporsional, terhadap kasus ACT sebagai lembaga donasi, mestinya juga tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence. Jangan cuma dana umat yang dikelola ACT sebagai sasaran bidik. Masih banyak yang lain. Hingga kini publik sedang menunggu ada banyak kasus penggarongan uang umat, jumlahnya sangat fantastis dibanding dengan tudingan terhadap penyelewengan dana oleh ACT yang belum apa-apa. Sebut misalnya, penyelewengan donasi umat Kristiani oleh salah satu gereja terbesar di Jawa Timur, jumlahnya hingga 4,7 trilyun rupiah. Sampai sekarang masih gelap, terkesan disembunyikan. Tidak menjadi bulan-bulanan media publik di tanah air. Malahan lembaga penegak hukum belum juga tergerak serius menangkap pelaku dalang penilep uang gereja yang konon donasi warga Kristen Surabaya.
Belum pupus di benak publik, penyelewengan dana ASABRI menelan kerugian negara 23,74 trilyun, pelaku sesungguhnya masih tidak terdeksi. Belakangan dana haji yang belum jelas kemana, mestinya lebih konsen diselidiki serius para penegak hukum.
Media massa sepertinya tidak adil, penggarongan dana umat yang strategis, tidak disentuh. PPATK juga tidak adil. Persoalan lalu lintas keuangan donasi milik ACT, adalah murni internal para pengurus bukan untuk digembar-gomborkan ke publik apalagi sampai menyeret Densus 88 dan BNPT ikut-ikutan menggembosi. Ketua PPATK, sepertinya kurang kerjaan, hanya mencari sensasi murahan. Pertanyaannya cukup sederhana, mengapa cuma dana ACT yang disoal sebab ada banyak lalu lintas dana siluman para pejabat dan oligarki yang jumlahnya pasti sangat fantastis. Sebahagian diantaranya belum terjamah oleh penegak hukum.
Banyak kalangan curiga, kasus internal pengurus ACT, gegara dana umat sengaja digembar-gemborkan sebagai konsumsi publik, sebagai bagian dari Islamofobia. Isunya digulirkan sebagai bentuk kriminalisasi tidak langsung terhadap ajaran Islam karena terkait erat dengan kegiatan umat Islam yang sangat strategis.
Kasus ACT yang menghentak publik muslim Indonesia, mestinya disikapi para pegiat dakwah di negeri ini dengan tetap mengedepankan sikap tabayyun, mengambil sikap hati-hati untuk tidak terprovokasi oleh sekelompok orang untuk memancing di air keruh. Tujuannya, pembelahan umat Islam guna melemahkan kebangkitan Islam yang saat ini menjadi isu sangat menguat.
Memang tidak salah, umat Islam tetap harus mewaspadai gelagat sekelompok orang, berkedok lembaga donasi tetapi sejatinya hanya mengeruk keuntungan pribadi. Jangan lupa, perjuangan tegaknya Islam politik dalam bentuk institusi daulah ala minhaj nubuwah tetap menjadi titik perhatian nomor wahid bagi umat Islam dimana saja.
Keberadaan institusi politik Islam demikian, satu-satunya harapan, sebagai institusi yang bertanggungjawab menjamin kemaslahatan serta kesejahteraan umat secara paripurna. Tidak perlu lagi ada semacam lembaga-lembaga donasi nirlaba yang bersusah payah meminta dana kepada umat Islam.
Oleh: Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H.
Indonesia Justice Monitor