Tinta Media - Ahli Hukum Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. Muh. Syaiful, S.H.,M.H. menegaskan adanya sistem hukum pidana Islam yang sangat menjamin penegakan hukum lebih adil.
"Sistem hukum pidana Islam atau yang lebih dikenal sistem uqubat lebih menjamin penegakan hukum lebih adil, serta menempatkan status semua orang sama didepan hukum," tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (17/7/2022).
Ia memaparkan bahwa sistem ini berasal dari Sang Pencipta, Allah SWT, pasti memberikan keadilan serta persamaan hukum siapapun juga. "Sebuah sistem pidana yang berciri transendental, sebab merupakan produk Wahyu Tuhan Sang maha pencipta, tidak ada satu ruang yang menimpan cacat dan cela sedikitpun," bebernya.
Sjaiful meyakinkan bahwa semua orang pasti merasa tentram dengan jaminan keadilan hukum pidana Islam. "Para penegak hukum pidana Islam, dilandasi semangat ketakwaan bukan atas dasar sentimen kelompok atau melindungi oknum elitis tertentu," jelasnya.
Inilah yang menjadi dasar sehingga Baginda Rasullullah, lanjutnya, menolak memberikan amnesti pengampunan atas anak perempuan pembesar Quraisy yang terbukti mencuri dari sanksi potong tangan. "Lisan mulia Baginda Nabi bahwa kehancuran suatu bangsa karena apabila yang mencuri adalah kaum bangsawan, hukum tidak ditegakkan, tetapi jika yang mencuri adalah kalangan lemah dan miskin, hukum baru ditegakkan," ujarnya.
Sjaiful pun mengutip hadits, Demi Allah seandainya putriku Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.
"Keadilan hukum pidana Islam juga terpatri indah ketika hakim pengadilan (qadhi) menolak pengaduan Imam Ali, sebagai seorang kepala negara saat itu," tuturnya.
Sjaiful melanjutkan bahwa kasus itu atas tuduhan pencurian baju besi milik Ali oleh seorang laki-laki Yahudi sebab hakim menolak kesaksian yang diajukan sebagai barang bukti. "Kata hakim, kesaksian yang diajukan sang khalifah, tertolak karena cacat secara formil. Sebabnya, yang diajukan sebagai saksi adalah anak dan pembantu Sang Khalifah," bebernya.
Menurutnya, manusia secara fitrah, tentu saja, tidak akan terima diperlakukan secara tidak adil ketika menjadi korban dari sebuah kejahatan yang berlangsung secara sistemik. "Apalagi jika kejadian perkara pidana sengaja dipetieskan atau ditutupi dengan motif melindungi pihak-pihak tertentu," ungkapnya.
Sjaiful menganalisa mungkin yang mau melindungi adalah seorang petinggi yang ada di lingkaran kekuasaan atau pemangku kepentingan yang memiliki relasi begitu kuat terhadap skandal yang melibatkan oligarki dan geng elitis.
"Penegakan hukum pidana negeri ini pernah menyimpan catatan kelam. Salah satunya, adalah kisah seorang gadis berusia 17 tahun, penjual telur, dirudapaksa segerombolan pria diatas sebuah mobil, tepatnya di Kota Jogjakarta, 21 September 1970," paparnya.
Ia menyayangkan para pelakunya belum terkuak, masih misterius hingga kini. Ilustrasi kasus ini, sebetulnya merupakan fenomena gunung es, masih ada sejumlah besar kasus hukum yang belum terkuak hingga kini. "Sebuah aksioma untuk menggambarkan begitu rapuhnya sistem hukum pidana hasil produk berpikir bebas manusia," pungkasnya.[] Nita Savitri
"Sistem hukum pidana Islam atau yang lebih dikenal sistem uqubat lebih menjamin penegakan hukum lebih adil, serta menempatkan status semua orang sama didepan hukum," tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (17/7/2022).
Ia memaparkan bahwa sistem ini berasal dari Sang Pencipta, Allah SWT, pasti memberikan keadilan serta persamaan hukum siapapun juga. "Sebuah sistem pidana yang berciri transendental, sebab merupakan produk Wahyu Tuhan Sang maha pencipta, tidak ada satu ruang yang menimpan cacat dan cela sedikitpun," bebernya.
Sjaiful meyakinkan bahwa semua orang pasti merasa tentram dengan jaminan keadilan hukum pidana Islam. "Para penegak hukum pidana Islam, dilandasi semangat ketakwaan bukan atas dasar sentimen kelompok atau melindungi oknum elitis tertentu," jelasnya.
Inilah yang menjadi dasar sehingga Baginda Rasullullah, lanjutnya, menolak memberikan amnesti pengampunan atas anak perempuan pembesar Quraisy yang terbukti mencuri dari sanksi potong tangan. "Lisan mulia Baginda Nabi bahwa kehancuran suatu bangsa karena apabila yang mencuri adalah kaum bangsawan, hukum tidak ditegakkan, tetapi jika yang mencuri adalah kalangan lemah dan miskin, hukum baru ditegakkan," ujarnya.
Sjaiful pun mengutip hadits, Demi Allah seandainya putriku Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.
"Keadilan hukum pidana Islam juga terpatri indah ketika hakim pengadilan (qadhi) menolak pengaduan Imam Ali, sebagai seorang kepala negara saat itu," tuturnya.
Sjaiful melanjutkan bahwa kasus itu atas tuduhan pencurian baju besi milik Ali oleh seorang laki-laki Yahudi sebab hakim menolak kesaksian yang diajukan sebagai barang bukti. "Kata hakim, kesaksian yang diajukan sang khalifah, tertolak karena cacat secara formil. Sebabnya, yang diajukan sebagai saksi adalah anak dan pembantu Sang Khalifah," bebernya.
Menurutnya, manusia secara fitrah, tentu saja, tidak akan terima diperlakukan secara tidak adil ketika menjadi korban dari sebuah kejahatan yang berlangsung secara sistemik. "Apalagi jika kejadian perkara pidana sengaja dipetieskan atau ditutupi dengan motif melindungi pihak-pihak tertentu," ungkapnya.
Sjaiful menganalisa mungkin yang mau melindungi adalah seorang petinggi yang ada di lingkaran kekuasaan atau pemangku kepentingan yang memiliki relasi begitu kuat terhadap skandal yang melibatkan oligarki dan geng elitis.
"Penegakan hukum pidana negeri ini pernah menyimpan catatan kelam. Salah satunya, adalah kisah seorang gadis berusia 17 tahun, penjual telur, dirudapaksa segerombolan pria diatas sebuah mobil, tepatnya di Kota Jogjakarta, 21 September 1970," paparnya.
Ia menyayangkan para pelakunya belum terkuak, masih misterius hingga kini. Ilustrasi kasus ini, sebetulnya merupakan fenomena gunung es, masih ada sejumlah besar kasus hukum yang belum terkuak hingga kini. "Sebuah aksioma untuk menggambarkan begitu rapuhnya sistem hukum pidana hasil produk berpikir bebas manusia," pungkasnya.[] Nita Savitri