Tinta Media - Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H. dari Indonesia Justice Monitor (IJM) meminta kepada penegak hukum agar
jangan hanya dana umat yang dikelola lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) saja yang dijadikan sebagai sasaran bidik karena masih banyak dana umat yang digarong.
"Jangan cuma dana umat yang dikelola ACT sebagai sasaran bidik. Masih banyak yang lain," tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (10/7/2022).
Ia menyatakan hingga kini publik sedang menunggu ada banyak kasus penggarongan uang umat, yang jumlahnya sangat fantastis dibanding dengan tudingan terhadap penyelewengan dana oleh ACT yang belum apa-apa. "Sebut misalnya, penyelewengan donasi umat Kristiani oleh salah satu gereja terbesar di Jawa Timur, jumlahnya hingga 4,7 trilyun rupiah," ungkapnya.
Sampai sekarang masih gelap, lanjutnya, terkesan disembunyikan. Tidak menjadi bulan-bulanan media publik di tanah air.
"Malahan lembaga penegak hukum belum juga tergerak serius menangkap pelaku dalang penilep uang gereja yang konon donasi warga Kristen Surabaya," imbuhnya.
Ia juga menyebutkan contoh penyelewengan dana ASABRI yang menelan kerugian negara 23,74 trilyun, pelaku sesungguhnya masih tidak terdeteksi. "Belakangan dana haji juga belum jelas ke mana? Mestinya lebih konsen diselidiki serius para penegak hukum," tukasnya.
Sjaiful pun memaparkan adanya media massa sepertinya tidak adil. "Penggarongan dana umat yang strategis, tidak disentuh. PPATK juga tidak adil," tegasnya.
Ia menyatakan adanya persoalan lalu lintas keuangan donasi milik ACT adalah murni internal para pengurus bukan untuk digembar-gomborkan ke publik apalagi sampai menyeret Densus 88 dan BNPT ikut-ikutan menggembosi. "Ketua PPATK, sepertinya kurang kerjaan, hanya mencari sensasi murahan," tegasnya.
Sjaiful melontarkan pertanyaan yang cukup sederhana, mengapa cuma dana ACT yang disoal? "Sebab ada banyak lalu lintas dana siluman para pejabat dan oligarki yang jumlahnya pasti sangat fantastis. Sebahagian diantaranya belum terjamah oleh penegak hukum," bebernya.
Menurutnya, banyak kalangan curiga, kasus internal pengurus ACT, gegara dana umat sengaja digembar-gemborkan sebagai konsumsi publik, sebagai bagian dari Islamofobia. "Isunya digulirkan sebagai bentuk kriminalisasi tidak langsung terhadap ajaran Islam karena terkait erat dengan kegiatan umat Islam yang sangat strategis," pungkasnya.[] Nita Savitri
Saiful juga mengungkapkan bahwa kasus ACT yang menghentak publik muslim Indonesia, mestinya disikapi para pegiat dakwah di negeri ini dengan tetap mengedepankan sikap tabayyun. "Mengambil sikap hati-hati untuk tidak terprovokasi oleh sekelompok orang untuk memancing di air keruh," lanjutnya.
Ia membeberkan bahwa tujuan hal tersebut adalah pembelahan umat Islam guna melemahkan kebangkitan Islam, yang saat ini menjadi isu sangat menguat.
"Memang tidak salah, umat Islam tetap harus mewaspadai gelagat sekelompok orang, berkedok lembaga donasi tetapi sejatinya hanya mengeruk keuntungan pribadi," jelasnya.
Saiful mengingatkan untuk tidak melupakan perjuangan tegaknya Islam politik dalam bentuk instutisi daulah ala minhaj nubuwah agar tetap menjadi titik perhatian nomor wahid bagi umat Islam dimana saja. Keberadaan institusi politik Islam demikian, satu-satunya harapan, sebagai institusi yang bertanggungjawab menjamin kemaslahatan serta kesejahteraan umat secara paripurna.
"Tidak perlu lagi ada semacam lembaga-lembaga donasi nirlaba yang bersusah payah meminta dana kepada umat Islam," pungkasnya.[] Nita Savitri
Ia menyatakan hingga kini publik sedang menunggu ada banyak kasus penggarongan uang umat, yang jumlahnya sangat fantastis dibanding dengan tudingan terhadap penyelewengan dana oleh ACT yang belum apa-apa. "Sebut misalnya, penyelewengan donasi umat Kristiani oleh salah satu gereja terbesar di Jawa Timur, jumlahnya hingga 4,7 trilyun rupiah," ungkapnya.
Sampai sekarang masih gelap, lanjutnya, terkesan disembunyikan. Tidak menjadi bulan-bulanan media publik di tanah air.
"Malahan lembaga penegak hukum belum juga tergerak serius menangkap pelaku dalang penilep uang gereja yang konon donasi warga Kristen Surabaya," imbuhnya.
Ia juga menyebutkan contoh penyelewengan dana ASABRI yang menelan kerugian negara 23,74 trilyun, pelaku sesungguhnya masih tidak terdeteksi. "Belakangan dana haji juga belum jelas ke mana? Mestinya lebih konsen diselidiki serius para penegak hukum," tukasnya.
Sjaiful pun memaparkan adanya media massa sepertinya tidak adil. "Penggarongan dana umat yang strategis, tidak disentuh. PPATK juga tidak adil," tegasnya.
Ia menyatakan adanya persoalan lalu lintas keuangan donasi milik ACT adalah murni internal para pengurus bukan untuk digembar-gomborkan ke publik apalagi sampai menyeret Densus 88 dan BNPT ikut-ikutan menggembosi. "Ketua PPATK, sepertinya kurang kerjaan, hanya mencari sensasi murahan," tegasnya.
Sjaiful melontarkan pertanyaan yang cukup sederhana, mengapa cuma dana ACT yang disoal? "Sebab ada banyak lalu lintas dana siluman para pejabat dan oligarki yang jumlahnya pasti sangat fantastis. Sebahagian diantaranya belum terjamah oleh penegak hukum," bebernya.
Menurutnya, banyak kalangan curiga, kasus internal pengurus ACT, gegara dana umat sengaja digembar-gemborkan sebagai konsumsi publik, sebagai bagian dari Islamofobia. "Isunya digulirkan sebagai bentuk kriminalisasi tidak langsung terhadap ajaran Islam karena terkait erat dengan kegiatan umat Islam yang sangat strategis," pungkasnya.[] Nita Savitri
Saiful juga mengungkapkan bahwa kasus ACT yang menghentak publik muslim Indonesia, mestinya disikapi para pegiat dakwah di negeri ini dengan tetap mengedepankan sikap tabayyun. "Mengambil sikap hati-hati untuk tidak terprovokasi oleh sekelompok orang untuk memancing di air keruh," lanjutnya.
Ia membeberkan bahwa tujuan hal tersebut adalah pembelahan umat Islam guna melemahkan kebangkitan Islam, yang saat ini menjadi isu sangat menguat.
"Memang tidak salah, umat Islam tetap harus mewaspadai gelagat sekelompok orang, berkedok lembaga donasi tetapi sejatinya hanya mengeruk keuntungan pribadi," jelasnya.
Saiful mengingatkan untuk tidak melupakan perjuangan tegaknya Islam politik dalam bentuk instutisi daulah ala minhaj nubuwah agar tetap menjadi titik perhatian nomor wahid bagi umat Islam dimana saja. Keberadaan institusi politik Islam demikian, satu-satunya harapan, sebagai institusi yang bertanggungjawab menjamin kemaslahatan serta kesejahteraan umat secara paripurna.
"Tidak perlu lagi ada semacam lembaga-lembaga donasi nirlaba yang bersusah payah meminta dana kepada umat Islam," pungkasnya.[] Nita Savitri