Tinta Media - Bergembira dengan musibah yang menimpa musuh-musuh Islam dan umatnya, seperti kaum kafir penjajah, penguasa yang zalim, pejabat anti Islam, dan yang semisalnya, tidaklah mengapa dan boleh hukumnya secara syariah. Boleh misalnya, mengucapkan “alhamdulillâh” ketika musuh-musuh Islam itu mengalami sakit, kecelakaan, kebangkrutan, atau ketika dijebloskan ke dalam penjara, atau ketika menjumpai kematian, dan musibah-musibah lain semisalnya.
Dalil bolehnya bergembira itu antara lain firman Allah SWT (yang artinya),”Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (faquthi’a dâbirulladzîna zhalamû walhamdu lillâhi rabbil ’âlamîn.” (QS Al An’am [6] : 45).
Syekh Wahbah Zuhailî menafsirkan hubungan kalimat walhamdu lillâhi rabbil ’âlamîn dengan kemusnahan orang-orang zhalim, dengan berkata,”Ayat ini memberi isyarat bahwa kehancuran orang-orang yang merusak (mufsidîn) adalah suatu nikmat dari Allah…” (hâdzâ yusyîru ilâ anna ibâdat al mufsidîn ni’matun minallâh). (Wahbah Zuhaili, At Tafsîr Al Munîr, Juz VII, hlm. 206).
Syekh Muhammad Sayyid Thanthâwî menafsirkan ayat tersebut dengan berkata,”Pada akhir ayat ini, dengan firman-Nya walhamdu lillâhi rabbil ’âlamîn, terdapat pengajaran kepada kita, bahwa hancurnya orang-orang yang zalim merupakan suatu nikmat yang mengharuskan pujian dan sanjungan kepada Allah SWT.“ (Sayyid Muhammad Thanthâwî, At Tafsîr Al Wasîth, Juz V, hlm. 75).
Dalil lainnya adalah hadis-hadis Nabi SAW. Di antaranya, hadis dari Abu Qatâdah Ar Rib’î Al Anshârî RA, bahwa satu jenazah dibawa melintas di hadapan Nabi SAW. Maka Nabi SAW bersabda,”[Ada jenazah] yang beristirahat (mustarîh) dan [ada jenazah yang] pihak lain beristirahat darinya (mustarâh minhu).” Para shahabat lalu bertanya,”Wahai Rasulullah, apa itu jenazah yang beristirahat (mustarîh) dan apa pula jenazah yang pihak lain beristirahat darinya (mustarâh minhu)?” Nabi SAW menjawab,”Jenazah yang beristirahat (mustarîh) adalah seorang hamba yang mukmin, yang beristirahat dari penatnya kehidupan dunia dan gangguan-gangguan dunia. Sedang jenazah yang pihak lain beristirahat darinya (mustarâh minhu) adalah seorang hamba yang fâjir (pendosa) yang beristirahat darinya para hamba lainnya, pohon, dan binatang.” (HR. Bukhari, no. 6174).
Hadis ini menunjukkan bahwa kematian orang fâjir, akan mengistirahatkan manusia bahkan berbagai pohon dan binatang dari kejahatan orang fâjir itu. Maka kematian orang fâjir adalah suatu nikmat dari Allah SWT, yang patut untuk disyukuri oleh umat Islam, misalnya dengan merasa bergembira atau mengucapkan “Alhamdulillâh.”
Inilah sebagian dalil-dalil syar’i yang membolehkan bergembira atau bersyukur ketika berbagai musibah menimpa orang-orang zalim yang memusuhi Islam dan kaum muslimin. Pemahaman ini telah menjadi pemahaman para shahabat Nabi SAW dan generasi selanjutnya. Abu Bakar Shiddîq RA, misalnya, bersujud syukur ketika mendengar berita kematian nabi palsu Musailamah Al Kadzdzâb. ‘Ali bin Abî Thâlib RA juga bersujud syukur tatkala mengetahui bahwa Dzu Tsudayyah, seorang pemimpin dari kelompok Khawarij yang diperanginya, ditemukan tewas. (Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, I’lâmul Muwaqqi’în, 2/296; Ibnu Taimiyyah, Majmû’ Al Fatâwâ, 20/394-395).
Al Hasan Al Bashri (seorang tâbi’în) bersujud syukur ketika mendengar berita kematian Al Hajjâj bin Yûsuf (penguasa zalim saat itu). Ibrâhim An Nakhâ’î, tâbi’în lainnya, bahkan sampai menangis karena saking gembiranya mendengar berita tersebut. (Ibnu Sa’ad, Al Thabaqât Al Kubrâ, 9/138). Wallahu a’lam.
(NB : Judul asli Hukum bergembira saat pemimpin zhalim positif Covid-19)
KH Muhammad Shiddiq Al Jawi
Pakar Fikih Kontemporer