Holywings: Antara Penista dan Nasib Pekerja - Tinta Media

Minggu, 03 Juli 2022

Holywings: Antara Penista dan Nasib Pekerja


Tinta Media - Holywings Indonesia kembali menyampaikan permintaan maaf terkait promosi minuman alkohol gratis khusus untuk pelanggan bernama 'Muhammad' dan 'Maria'. Dalam pernyataan terbuka, Holywings berbicara nasib 3.000 karyawan yang bergantung pada usaha food and beverage tersebut. (detikNews.com, 26/6)

Permintaan maaf tersebut dilakukan setelah muncul berbagai reaksi menuntut pencabutan izin operasi Holywings Indonesia akibat konten promo miras berbau SARA. Sebab, promo miras tersebut diperuntukkan bagi pengunjung yang bernama Muhammad dan Maria akan mendapatkan miras secara gratis.

Nama Muhammad dan Maria adalah nama yang disucikan bagi umat Islam (Nabi Muhammad dan Maryam ibunda Nabi Isa) maupun Nasrani (Bunda Maria). Hal tersebut jelas sebuah penistaan agama. Tak heran jika muncul berbagai reaksi penolakan atas promo tersebut dan seruan penutupan Holywings. Lantas, apakah jika Holywings ditutup tidak akan ada lagi para penista agama? Bagaimana dengan nasib ribuan karyawannya? 

Kapitalisme Menyuburkan Penistaan Agama

Pada era kebebasan saat ini, menistakan agama seolah menjadi sesuatu yang keren karena mencerminkan kebebasan berpendapat. Bahkan, penistaan tersebut dilakukan hanya untuk sekadar menggaet konsumen dan popularitas. Demi menggaet pelanggan, mereka membuat kontroversi, agar viral, agar terkenal, dan akhirnya banyak pelanggan yang datang. Ini merupakan salah satu trik keji marketing di era kebebasan saat ini. Demi cuan, agama pun diolok-olok dan dinistakan. Inilah hasil didikan sistem kapitalis yang berakidahkan sekularisme. Demi kapital, demi meraup keuntungan, agama pun “dijual”.

Anehnya, kasus penghinaan terhadap Nabi Muhammad sudah sering terjadi di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini. Pelakunya pun berganti-ganti seakan tak ada peringatan yang menakutkan dari kasus penistaan sebelumnya. Tak ada rasa takut pada pelaku untuk melakukan penghinaan karena terkesan ada pembiaran dan tak ada sanksi tegas yang membuat jera pelaku penistaan tersebut. Inilah kapitalisme, unsur manfaat dan keuntungan duniawi dikedepankan. 

Selain itu, nasib ribuan pekerja Holywings juga menjadi alasan yang dikemukakan agar mereka dimaafkan. Hal ini menjadi polemik antara penistaan ataukah mengutamakan nasib ribuan buruh? Padahal, kedua hal tersebut merupakan perkara yang berbeda. Sudah menjadi kewajiban negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan jika karyawannya kehilangan pekerjaan di Holywings akibat ditutup. 

Islam Menindak Tegas Penista Nabi

Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul utusan Allah Swt. Penghinaan terhadap beliau sama saja dengan penghinaan terhadap penciptanya, yakni Allah Swt. Oleh karena itu, dalam Islam telah digariskan bahwa pelaku penghinaan terhadap Rasulullah saw. haruslah mendapatkan hukuman yang berat. 

Ijmak ulama menyatakan bahwa hukuman bagi penghina Rasulullah adalah hukuman mati. Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Sharimul Maslu, “Orang yang mencela Nabi saw., baik muslim atau kafir, ia wajib dibunuh. Ini adalah mazhab mayoritas ulama. Ibnu Munzir mengatakan: mayoritas ulama sepakat bahwa hukuman bagi pencela Nabi saw. adalah dibunuh.”

Dengan ketegasan sanksi tersebut, pasti akan membuat orang lain menjadi takut melakukannya. Maka sudah seharusnya negara memberikan sanksi tegas terhadap pelaku penistaan tersebut. Lantas bagaimana dengan nasib ribuan pekerja Holywings jika tempat tersebut ditutup?

Islam Menjamin Kesejahteraan Sosial 

Salah satu alasan permintaan maaf dari pihak Holywings adalah terkait nasib ribuan karyawannya jika tempat tersebut ditutup. Namun, sejatinya hal tersebut bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan manakala negara melaksanakan tugasnya untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang halal. 

Rasulullah saw. bersabda: “Allah melaknat khamr, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, orang yang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, orang yang mengantarnya dan orang yang meminta diantarkan.” (HR. Ahmad).

Sudah jelas bahwa pekerjaan di tempat penjualan khamr bukanlah pekerjaan halal. Oleh karena itu, sudah seharusnya tempat-tempat seperti itu harus ditutup. Kemudian negara memberikan dan mengarahkan para mantan pekerja tersebut ke pekerjaan yang halal. Tentu saja hal ini akan terwujud manakala aturan yang diterapkan adalah aturan Islam. Sebab, setiap perbuatan akan dibangun atas prinsip keimanan dan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Wallahu a'lam!

Oleh: Wida Nusaibah 
Muslimah Pemerhati Masalah Sosial dan Kebijakan Publik
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :