Tinta Media - Untung tak dapat diraih, yang ada malang semakin menghadang. Begitulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan nasib rakyat yang kian sekarat.
Pasca lepas dari wabah Covid-19 yang melanda negeri ini, nyatanya kondisi rakyat tak kunjung membaik. Berbagai kesulitan yang dirasakan, justru lahir dari sebuah kebijakan. PT Pertamina (Persero), lewat anak usaha Pertamina Patra Niaga resmi mengumumkan kenaikan harga sejumlah produk bahan bakar khusus (BBK) atau BBM non subsidi, Minggu (10/7/2022). Kenaikan harga meliputi Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite, serta LPG nonsubsidi, seperti Bright Gas.
Pihak Pertamina mengklaim bahwa kenaikan BBM kali ini karena menyesuaikan dengan harga minyak dunia yang juga melonjak.
Untuk rinciannya, harga Pertamax Turbo (RON 98) naik dari Rp14.500 menjadi Rp16.200, kemudian Pertamina Dex (CN 53) naik dari Rp13.700 menjadi Rp16.500, sementara Dexlite (CN 51) dari Rp12.950 menjadi Rp15.000 untuk wilayah DKI Jakarta atau daerah dengan besaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) 5 persen. Untuk LPG non subsidi, seperti Bright Gas akan disesuaikan sekitar Rp2.000 per Kg.
Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi mengatakan bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi bisa memperbaiki arus kas PT Pertamina (Persero). Adapun bagi ekonomi, Fahmy memperkirakan kenaikan harga BBM nonsubsidi tak akan terlampau menimbulkan gejolak sosial. Hal ini lantaran jumlah konsumennya kecil, pengaruhnya terhadap laju inflasi juga tak akan terlalu terlihat.
Namun, benarkah demikian?
Analisa bahwa BBM nonsubsidi hanya dikonsumsi kalangan atas bisa jadi benar. Namun, terdapat fakta yang tak mungkin ditolak bahwa kini BBM bersubsidi keberadaannya makin terbatas.
Peredaran BBM bersubsidi saat ini semakin dibatasi, mulai dari jumlahnya hingga cara membelinya. Sebagai catatan, pemerintah pernah mengeluarkan kebijakan terkait pembelian BBM melalui aplikasi My Pertamina. Tentu hal itu sebuah langkah rumit yang membuat kesulitan baru bagi masyarakat. Selain itu, jumlah pembelian yang cenderung dibatasi membuat sejumlah usaha pengadaan BBM di pinggir jalan mati karena tak mendapat pasokan.
Kondisi ini tentu mau tak mau membuat rakyat menengah ke bawah akan membeli BBM nonsubsidi, meski berharga tinggi. Kebijakan saling silang ini mirip dengan kebijakan yang diterapkan terhadap minyak goreng curah dan kemasan.
Siapa lagi yang akan jadi korban kalau bukan rakyat kebanyakan? Demikianlah jika pengaturan hajat hidup orang banyak diserahkan pada sistem kapitalisme sekuler. Semua pelayanan barang dan jasa yang disediakan pemerintah diselenggarakan atas asas untung dan rugi, bukan karena melayani rakyat sendiri. Kiranya, berlapis-lapis penderitaan akibat sulitnya mendapatkan bahan kebutuhan pokok bagi rakyat cukup menyadarkan kita bahwa ummat membutuhkan sistem pengaturan alternatif bagi hidup mereka.
Islam menjadi satu-satunya pilihan. Dalam Islam, telah jelas bahwa minyak bumi, gas, dan sumber bahan tambang lainnya secara legal telah diatur oleh syariat untuk menjadi hak milik umum. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. bersabda :
"Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api". (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Hadis di atas merupakan tata kelola yang pasti terkait barang-barang yang masuk kategori milik umat. Ketiganya tak boleh dimiliki oleh individu. Pengelolaannya dilakukan oleh negara dan hasilnya harus dapat dimanfaatkan oleh rakyat secara keseluruhan. Tidak boleh ada unsur bisnis apalagi sampai mempersulit rakyat untuk mendapatkannya.
Aturan ekonomi Islam ini bersifat mengikat bagi penguasa yang menerapkan syariat Islam secara kafaah. Pelanggaran terhadapnya akan diganjar dengan siksa di hadapan Allah Swt, karena telah berlaku zalim terhadap rakyat.
Rasulullah saw. bersabda :
“Sungguh, manusia yang paling dicintai Allah pada hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah pemimpin yang zalim” (HR Tirmidzi)
Kemudian dalam hadis lain Rasulullah saw. bersabda:
“Siapa pun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka” (HR Ahmad)
Inilah sanksi dan ancaman keras bagi siapa saja yang diamanahi urusan rakyat, lantas ia mengingkarinya dengan kezaliman yang nyata. Ancaman ini merupakan bukti keadilan bagi umat dalam sistem Islam. Aturan yang datang dari Pencipta terbukti akan menjadi naungan yang berkah bagi siapa pun yang menerapkannya. Sebaliknya, berhukum kepada aturan manusia hanya akan mengantarkan pada binasa. Wallahu alam bishshowab.
Oleh: Ummu Azka
Sahabat Tinta Media