Fenomena Citayam, ImuNe: Akibat Pembangunan Kapitalistik - Tinta Media

Sabtu, 30 Juli 2022

Fenomena Citayam, ImuNe: Akibat Pembangunan Kapitalistik

Tinta Media - Fenomena Citayam yang sedang tren, dinilai Ahli Geostrategi dari Institut Muslimah Negarawan (ImuNe) Dr. Fika Komara sebagai akibat pembangunan yang kapitalistik.

“Fenomena Citayam merupakan akibat pembangunan kapitalistik yang berporos pada materi, tidak memperhatikan pembangunan manusia,” ungkapnya dalam acara Rubrik Muslimah Negarawan: Pemuda Citayam: Bergaya atau Tak berdaya? Senin (25/7/2022) melalui kanal Youtube Peradaban Islam.

Di samping itu, katanya, pembangunan perkotaan yang kapitalistik melahirkan kesenjangan serta tidak punya mekanisme untuk menghapus kesenjangan itu.

“Fenomena kesenjangan dibalik megahnya SCBD (Sudirman Central Business District), bisa kita lihat. Anak-anak Citayam ada yang putus sekolah, anak jalanan, ngamen, enggak mau ketinggalan, mereka bisa eksis dengan segala keterbatasannya di SCBD” paparnya.

Fika mengatakan, kapitalisme memaksa manusia berkumpul dan hidup di perkotaan agar bisa mengakses sumber-sumber kehidupan di zona-zona  pusat pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, ungkap Fika, aktor pembangunan, modal-modal pembangunan kebanyakan dari investor swasta, gratifikasi, suap, korupsi, menjadi budaya.

“Pemda atau Pemkot hanya meregulasi, memberi izin. Pada proses pemberian izin itulah sering ada transaksional, gratifikasi, upeti yang disetorkan,” ungkapnya.

Fika lalu menyimpulkan, wajar kalau tidak ada keberkahan, karena modal pembangunannya ribawi, aktor pembangunannya dilingkupi budaya suap menyuap, gratifikasi untuk memuluskan proyek, perputaran hartanya pun perputaran yang haram.

“Kemacetan, kesemrawutan, banjir, akhirnya terjadi,” ungkapnya sembari mengatakan ada yang lebih bahaya dari itu, yaitu kerusakan aspek mental, narkoba, pergaulan bebas, L68T dan lain-lain.

Masyarakat Islam

Fika mengatakan, bangunan masyarakat dalam Islam berbeda dengan kapitalisme. “Dalam Islam Rasul mencontohkan, sebelum membangun secara fisik, yang dibangun mental. Sebelum membangun peradaban yang megah, kota dengan  kecanggihan dan kemajuan teknologi, yang dibangun adalah masyarakatnya dulu,” terang Fika.

Makanya, lanjut Fika,  dikatakan dalam hadis “Al Madînatu kal kîr”.  “Rasulullah menggambarkan kota Madinah itu sebagai tungku api yang membersihkan dari kotoran-kotoran masyarakat, karena asas peradaban Islam, masyarakat Islam adalah ketakwaan kepada Allah (akidah Islam),” bebernya.

Fika juga menjelaskan bahwa gambaran kehidupan Islam adalah menggabungkan materi dengan ruh. “Iman kepada Allah sebagai ruh yang  terwujud dalam perbuatan-perbuatan takwa di tengah masyarakat. Makna kebahaginya adalah ridha Allah,”jelasnya.

Fika mengutip pendapat Imam al-Mawardi agar kita bisa membangun dunia termasuk membangun perkotaan, masyarakat urban yang beradab, masyarakat  pedesaan yang beradab, wajib menanamkan 6 kaidah pokok.

“Pertama, agama yang dianut (agama resmi negara); kedua, pemimpin yang berdaulat; ketiga,keadilan sosial bagi seluruh rakyat; keempat, keamanan dan ketentaraman masyarakat; kelima, negeri yang subur; keenam, cita-cita luhur,” bebernya.

Fika mengatakan, kalau agama sejak awal sudah diabaikan, tidak hadir pada ruang-ruang  publik, tidak terlalu hadir dalam ruang-ruang perkotaan, termasuk tidak hadir ketika generasi mudanya butuh di akui, butuh untuk dibesarkan, butuh untuk diberi apresiasi, ini kemudian menjadi persoalan.
 
Dakwah

Fika berpendapat bahwa dakwah Islam bukan semata-mata membuat seseorang hijrah secara individual, tapi dakwah Islam juga harus memberi sentuhan pada isu-isu yang  lebih makro, hijrah peradaban, hijrah perkotaan, bagaimana masyarakat muslim perkotaan itu mengenal pembangunan perkotaan yang baik dan benar sesuai arahan Islam.

“Para dai dan daiyah perkotaan harus bisa merespon ini dari segala sisinya, bagaimana berkomitmen mengembalikan kehidupan Islamini tergambar di benak masyarakat perkotaan, generasi perkotaan, membangun mental mereka, membangun cita-cita mereka,” tukasnya.

Menurut Fika, penggabungan materi dan ruh ini seharusnya juga mengisi ruang-ruang publik, menjadi inspirasi utama buat anak-anak di Citayam dalam mengekspresikan dirinya. “Mengekspresikan  imannya, mengekspresikannya ketaatannya  kepada Allah, bukan sekedar eksistensi dan aktualisasi,” tegasnya.

“Pengemban dakwah di perkotaan harus mampu menangkap tantangan ini. Para da’i harus betul-betul menguasai medan dakwah, melakukan observasi medan dakwah sehingga memiliki pemahaman utuh pada peristiwa,” sarannya.

Hasil observasinya,lanjut Fika, dijadikan materi dakwah dikaitkan dengan Al-Quran dan hadis tentang ruang hidup perkotaan dan tantangan generasi.

“Generasi bukan persoalan yang terpisah dengan keruangan. Artinya masalah ruang ini harus diperhatikan menjadi medan dakwah,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :