Tinta Media - Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang membebaskan masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat, begitulah semboyan yang ada dalam demokrasi. Banyak negara yang menerapkan sistem ini, termasuk Indonesia.
Demokrasi pertama kali didirikan di Athena dan dikenalkan oleh Cleisthenes pada 508 sebelum masehi. Dalam sejarahnya, demokrasi dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur dengan konsep mengedepankan keadilan, kejujuran, dan keterbukaan. Namun, jika kita melihat fakta penerapannya, demokrasi tak bisa dijalankan sesuai tujuan awal didirikan.
Demokrasi hanya dijadikan sebagai alat untuk merampas kekayaan negeri dengan menggandeng sistem ekonomi kapitalisme. Bagaimana tidak, dalam sistem ini, banyak sekali kebebasan yang mengatasnamakan HAM. Bahkan, hukum hanya dijadikan sebagai pemanis saja.
Lihat, sudah berapa banyak kasus korupsi yang terjadi di negeri ini, tetapi tak ada hukum yang mampu memberikan efek jera kepada koruptor. Sudah berapa banyak kasus pembunuhan, penistaan, dan tindakan kriminal lainnya yang seakan-akan menjadi langganan dalam kehidupan demokrasi.
Dalam sistem demokrasi, para penguasa mau tidak mau akan menggandeng pemilik modal atau mungkin dirinya sendirilah pemilik modal itu. Yang jelas, hal itu dilakukan untuk membiayai pencalonan pemilu dalam rangka memenangkan kekuasaan. Setelah menjadi penguasa, maka mereka pasti akan berusaha mengembalikan modal, sehingga korupsi dalam sistem ini adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari. Padahal, harta yang di korupsi adalah harta rakyat yang mereka ambil melalui pajak.
Dalam demokrasi, rakyat seakan-akan diberi kebebasan berekspresi dan menyuarakan pendapatnya, tetapi realitanya penentu kebijakan tetaplah penguasa dan para pemilik modal. Kebijakan-kebijakan yang diambil pun selalu menyengsarakan rakyat demi mendapatkan keuntungan.
Bagaimana tidak, rakyat semakin tercekik dengan naiknya bahan pangan, BBM, dan kebutuhan hidup lainnya, sedangkan lapangan kerja semakin menyempit. Sumber daya alam hanya bisa dinikmati segelintir orang. Yang jelas, mereka adalah para pemilik modal. Rakyat dipaksa untuk patuh dengan setiap aturan yang ada. Jika rakyat melanggar, maka akan dijerat dengan aturan lainnya.
Berbeda halnya dengan sistem Islam. SDA akan dikelola oleh negara dan akan disalurkan untuk umat. Tidak boleh kepemilikan umum di kuasai oleh sebagian orang saja. Kepemilikan umum harus diberikan kepada umat untuk menyejahterakannya.
Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa umat berserikat dalam 3 hal, yaitu padang rumput, air, dan api. (H.R.Abu Daud)
Hal itu berarti haram hukumnya jika penguasa menikmati hasil dari SDA untuk kepentingan pribadinya.
Terbukti pada masa kekhilafan Umar bin Khattab, semua umat diberikan tunjangan. Semua kebutuhan hidup ditanggung oleh negara, tidak ada kelaparan ataupun kesengsaraan. Semua kekayaan negara disalurkan sepenuhnya untuk umat. Tak ada korupsi, kecurangan, dan kezaliman karena hukum yang mereka tetapkan adalah hukum dari sang Pencipta. Bukankah Allaah sudah berfirman dalam Al-Qur'an:
اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْن
Artinya:
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?." (Q.S. Al-Ma’idah : 50)
Lalu, masihkah kita ingin bertahan di balik topeng demokrasi?!!
Oleh: Akni Widiana
Sahabat Tinta Media