Tinta Media - Influencer Dakwah Doni Riwayanto, sebut fenomena Citayam Fashion Week (CFW) sebagai replikasi dari gerakan yang sudah ada sebelumnya.
"Itu replikasi dari gerakan-gerakan yang sudah ada sebelumnya," ujarnya dalam Rubrik Dialogika Peradaban: CFW, Potensi Wisata atau Perusak Generasi? Sabtu (16/07/2022) di kanal Youtube Peradaban Islam ID.
Menurutnya, jika ditanyakan apakah CFW itu sebagai sebuah kreatifitas. "Ndak, ndak ada kreatifitasnya disitu. Ya hanya membebek saja. Oh di sana ada, orang bikin. Oh di sana ada, kita bikin, dan lain sebagainya," imbuhnya.
Ia memandang untuk menilai sesuatu itu kreatifitas, maka harus didefinisikan dulu apa arti dari kreatifitas itu sendiri.
"Kalau di dalam buku Hand Book of Creativity itu, the ability to create works in no form but approvide," kutipnya.
Maksudnya, ia melanjutkan, kreatifitas itu adalah sebuah kemampuan untuk memproduksi, membuat, menggagas, sesuatu yang bersifat baru. Tetapi, tidak hanya baru, tetapi sekaligus approvide, sesuatu yang diterima, sesuatu yang bisa bermanfaat, sesuatu yang memiliki dampak.
"Nah, kita mulai dari CWF. Ini jelas bukan gagasan baru. Kalau kita melihat, misalnya di Jepang. Mereka sendiri mengatakan ini semacam kayak gerakan di Jepang, harajuku. Berarti memang konsepnya kurang lebih seperti itu, kan? Harajuku kan?" ungkapnya.
Apakah hanya harajuku? lanjutnya. "Ndak juga. Di Korsel kita mengenal gangnam style. Itu sempat viral juga. Lagunya gangnam style itu juga sama," ujarnya.
Kalau di kajian kebudayaan, Doni memaparkan, "Itu adalah fashion street, fashion street culture (budaya ekspresi busana yang digelar di jalanan). Dan itu biasanya nanti disandingkan sebagai sub culture dari fashion yang lenggak-lenggok di cat walk di gedung megah gitu. Misalnya di Paris Fashion Week. Itu lenggak-lenggok fashion di tempat yang mewah," paparnya.
Menurutnya, Paris Fashion Week itu disubkultur oleh fashion street semacam itu (Citayam Fashion Week). "Sekarang kita melihat Citayam Fashion Week, ternyata di Jepang juga ada, di Korsel ada gangnam dan ternyata ini ada di mana-mana. Di Eropa kita mengenal Kopenhagen, kemudian kita mengenal Milan yang sama-sama memiliki semacam ini. Yang mengcounter fashion main stream high level, seperti Paris Fashion Week," terangnya.
Ia memandang, fenomena ini menggejala setelah Perang Dunia kedua. Perang Dunia kedua selesai tahun 1945. Di tahun 50-an, lima tahun setelah Perang Dunia kedua itu selesai, di negeri pemenang perang yaitu Amerika, geliat industri mulai bangkit. Geliat fashion yang ada di Prancis itu tetap ada seperti yang kita lihat. Kemudian ada subkultur yang melawannya, yaitu jalanan.
"Kalau kita di Amerika itu mengenalnya hippies. Yang pertama-tama sekitar tahun 50-an akhir itu ada gerakan hippies. Terus kemudian ada gerakan skin head, ada gerakan funk yang mungkin kita bisa lihat sampai hari ini masih banyak di Indonesia. Misalnya di perempatan-perempatan gitu, ada orang yang mengenakan pakaian style funk itu juga bagian dari street fashion," urainya.
Biasanya, perlawanan cultural dari pinggiran ini, tidak hanya fashion. Fashion itu hanya satu bagian.
"Fashion, music, musik itu fun. Terus kita menyebutnya nanti itu food, fun , and fashion. Food, fun, and fashion ini satu kemasan culture yang kemudian nanti kalau saya sampaikan ada sesuatu yang ada di baliknya," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka