Tinta Media - Mengenai rencana Rancangan Undang-undang KUHP yang saat ini sedang ramai diperbincangkan di tengah-tengah masyarakat, Cendekiawan Muslim, Ustaz Ir. Muh. Ismail Yusanto mengungkapkan pentingnya mencoba memahami filosofi dari dibuatnya RUU KUHP.
"Disinilah kita melihat pentingnya mencoba memahami filosofi dari dibuatnya RUU KUHP ini, khususnya menyangkut masalah yang disebut-sebut sekarang ini dengan istilah pasal kontroversial berkenaan dengan penghinaan," tuturnya dalam acara Live Streaming: Membungkam Rakyat ala RUU KUHP, di kanal YouTube Media Umat, Senin (4/7/2022).
Menurutnya, penyusunan Rancangan Undang-undang KUHP ini mesti dipahami dalam kerangka filosofis, seperti apa undang-undang ini disusun. "Maksudnya, memang betul bahwa menghina itu tidak boleh. Kalau dalam hadits disebutkan Sibabul Muslim Khusyukun, yaitu menghina sesama muslim itu fasik (berdosa).
"Jadi, menghina itu tidak boleh karena intensinya itu kan merendahkan, baik itu karena warna kulit atau bentuk tubuh, apalagi kalau menyangkut kecacatan. Kalau kita membaca Syarah dari hadis itu, dikatakan bahwa menghina itu berarti secara tidak langsung melecehkan takdir atau Qadla Allah atas yang bersangkutan," paparnya.
"Katakanlah, misalnya hidungnya pesek, lalu kita rendahkan dia padahal itu kan takdir dia yang sudah ditetapkan Allah SWT, dimana kita ini diminta untuk Ridho. Bahwa baik buruk itu datangnya dari Allah SWT. Jadi sesungguhnya ketika dia menghina orang itu, sesungguhnya dia sedang menghina Allah SWT. Karena itulah dia berdosa," lanjutnya.
Menurutnya, pada saat yang sama tidak ada manusia yang bebas dari kesalahan, apalagi kalau itu seorang penguasa. "Penguasa itu manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan. Dan implikasi dari kesalahan yang dilakukannya pasti berbeda jika dilakukan oleh orang perorang," ungkapnya.
Ia memisalkan, ada individu yang melakukan kesalahan, paling implikasinya kepada dirinya, atau paling jauh pada keluarganya. Tapi jika penguasa, ketika melakukan kesalahan maka akan berdampak buruk kepada orang lain, yaitu kepada pihak-pihak yang menjadi kewenangan atau rakyatnya.
"Semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin besar pula akibat yang mungkin ditimbulkan oleh kesalahannya itu. Karena itulah sebenarnya, merupakan sebuah kebutuhan bagi penguasa untuk dijaga supaya tidak melakukan kesalahan. Jadi sebenarnya dialah yang membutuhkan," jelasnya.
Ia pun mengungkapkan, bahwa itulah yang disampaikan oleh Umar waktu dia dibai'at sebagai Khalifah. "Begitu juga Abu Bakar Ash-Shiddiq, sampai kemudian ada yang mengatakan bahwa dia akan mengoreksi dengan pedangnya itu. Dan dia tidak pernah merasa terhina. Karena di dalam Islam itu disebut dengan Amar ma'ruf nahi mungkar. Yaitu menyerukan kepada yang ma'ruf (kebaikan) dan mencegah dari kemungkaran. Jadi sebenarnya merupakan sebuah kebutuhan untuk mendapatkan koreksi atau bahkan kritik," ungkapnya.
"Jadi saya mencoba memahami penyebab keterangan yang diberikan oleh wakil menteri hukum dan HAM, bahwa mengkritik itu boleh, tapi yang tidak boleh adalah menghina. Persoalannya adalah bagaimana memisahkan atau membedakan antara kritik dan penghinaan. Sebab di dalam kritik itu akan dirasakan oleh orang yang dikritik kadang-kadang sebagai satu penghinaan. Itu kan yang masalahnya ya?" tukasnya.
Misalkan, "Bagaimana sih tata kelola energi? Kita ini penghasil energi, kok bisa sampai listrik mahal, minyak mahal, pemerintah tidak becus". Nah ini kategorinya kritik atau penghinaan? Yang dimaksud oleh yang menyampaikan kritik itu adalah kritik. Kritik yang istilahnya itu kritik tajam dengan sedikit umpatan 'tidak becus'. Sekarang problemnya adalah bagaimana kalau yang dikritik itu merasa poinnya adalah penghinaan? "Ini saya kira yang menjadi persoalan besar," tegasnya.
Ia kemudian menyampaikan, karena itulah intensi (maksud) dari disusunnya undang-undang RUU KUHP ini menjadi sangat penting. Intensinya itu apakah dia mengundang kritik ataukah justru mencegah kritik. Kalau mengundang kritik, semangatnya bahwa memang pemerintah itu memerlukan koreksi agar tidak berjalan dalam arah yang salah. Tapi kalau intensinya itu mencegah kritik, maka dia akan mencoba berlindung dari apa yang disebut dengan pasal penghinaan.
"Ini kan seperti kita terima dulu di masa orde baru, bahwa kritik terhadap pemerintah itu dianggap sebagai tindakan subversif. Waktu itu istilah yang sering dipakai itu tindakan subversif, kemudian dihapuskan. Dan sekarang ini yang ada adalah istilah penghinaan," jelasnya.
"Saya kira yang penting untuk diperhatikan adalah memahami intensi (maksud) dari dibuatnya undang-undang itu memang tidak mudah. Karena intensi itu kan ada di dalam hati seseorang. Dengan kita mengupas secara tajam itu sebenarnya kita bisa meraba intensinya itu kemana," ujarnya.
Ia pun menduga, jika pasal-pasal tentang penghinaan terhadap pejabat ini sampai tidak ada ruang untuk melakukan kritik terhadap penguasa, maka kita bisa menduga bahwa intensinya itu sebenarnya mencegah kritik.
"Kenapa ko dimunculkan hari ini? Saya kira ini berkenaan dengan situasi yang sedang menghangat akhir-akhir ini menjelang 2024. Di tengah-tengah krisis akibat pandemi, kemudian ada ancaman terhadap krisis energi dan pangan, lalu utang yang menggunung, sempitnya ruang fiskal dan sebagainya. Akhirnya membuat banyak sekali perkara yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dengan benar, justru berjalan sebaliknya," bebernya.
Ia menyimpulkan, disitulah kritik itu bisa datang bertubi-tubi dari publik, dari Civil Society. Karena itu pemerintah merasa perlu untuk membangun brikade. Brikade yang paling tampak elegan ya dengan predikat hukum, atas nama pencegahan penghinaan terhadap aparat negara, pejabat negara, bahkan juga pemerintah.
"Saya kira, itu yang mungkin bisa kita baca dari RUU KUHP ini. Apakah benar seperti itu, saya kira waktu nanti akan menjawabnya. Hari ini saja sudah banyak RUU yang belum disahkan, tapi sudah banyak aktivis-aktivis yang dijerat perkara hukum dengan pasal-pasal yang begitu tampak dipaksakan," tegasnya.
"Apalagi kalau nanti ada RUU KUHP, saya kira ini akan menjadi ranjau-ranjau politik dan hukum yang sangat mengerikan. Karena dia akan dengan mudah menjerat setiap dinamika masyarakat, pikiran-pikiran alternatif, kritik kepada kebijakan dan langkah-langkah pemerintah yang sebenarnya itu sangat perlu didengar untuk perbaikan bangsa dan negara. Tapi ale-ale didengar, justru malah dibungkam," pungkasnya.[] Willy Waliah